Sepiring omelet dengan irisan bacon diletakkan di depanku. Telurnya kuning kecokelatan dan wanginya tidak buruk, namun Aku tidak bisa memperkirakan rasanya. Aku menyuap sesendok dan mengunyahnya, kemudian memejamkan mata, berusaha mencerna rasa.
"Jadi, bagaimana?" Sasuke di hadapanku, menaikkan alis meminta penilaian, tampak tidak sabar.
"Jauh lebih baik dari yang kemarin," Aku membuka mata dan tersenyum.
Sasuke menghela nafas lalu mengambil sendok, menyuap untuk dirinya sendiri. Tidak sampai sedetik ia mengernyit dan meraih segelas air putih milikku, meneguk setengahnya.
"Astaga.. Rasanya seperti semen."
Aku tertawa terbahak-bahak, "Bagaimana bisa kau bandingkan ini dengan semen? Kau pernah mencoba menjilatnya sebelumnya?"
"Tidak. Tapi Aku bertaruh omelet sialan ini lebih buruk dari semen," dia mengernyit padaku, "dan kau wanita muda, sudah berbohong."
"Jika kubilang tidak enak kau pasti akan langsung membuangnya," Aku berdiri, mengangkat piring dan omelet semen untuk dibersihkan, "tidak akan adil kalau aku mencicipinya sendiri."
Sasuke duduk di meja makan, mengamatiku mencuci kekacauannya di bak. Tampak dia sedang berpikir dan membuatku mendengus geli. Empat hari yang lalu ketika insiden hujan romantis itu, Sasuke malamnya memasakkan omelet karena Aku mengeluh kelaparan. Bukan salahnya, Aku lupa membeli garam, hingga ia memasukkan soda kue ke dalamnya. Alhasih tiga hari berturut Aku tidak sanggup berdiri karena sakit perut dan pria besar ini bersikeras untuk belajar memasak, berjaga-jaga jika sesuatu kembali terjadi padaku.
"Tidak usah terlalu dipikirkan, kau hanya tidak bisa membuat omelet," Aku berbicara di balik punggung. "Walaupun omelet notabene masakan paling mudah yang bisa dibuat, tidak apa Sasuke.. Kau tidak payah."
"Kau meledekku."
"Tidak, hanya mengevaluasi."
Aku mendengar suara decihan, "Ini terakhir kalinya Aku memasak telur kurang ajar itu dihidupku."
Aku tergelak kemudian berbalik untuk melihat ekspresi kesalnya, seperti anak-anak yang merajuk. "Oh sweetie, kau tau ketika keningmu berkerut kau tampak menggemaskan."
Sasuke mendengus dan berdiri, Aku melangkah mendekat ke arahnya, kemudian mengalungkan lenganku di lehernya, dan ia meletakkan tangannya di pinggangku.
"Aku bisa memasak apapun selain telur. Kau sudah meminum sup buatanku kan?" Demi Tuhan.. dia masih bersikeras.
Aku mendekatkan wajah, sedikit berjinjit kepayahan karena ia lebih tinggi beberapa inchi dariku. Hidung kami bersinggungan, sedekat itu kami saat ini.
"Baiklah master chef, apa kita hanya akan mengutuki telur semenmu seharian ini, atau apa?"
"Kau ingin melakukan sesuatu?"
"Entahlah.. tergantung apa yang kau tawarkan."
"Kau. I want to do you, so bad." Dia menyeringai.
"Tentu. Setelah kau carikan sarapan mengganti telur buatanmu," Aku menggigit pucuk hidungnya pelan, "Aku kelaparan."
Ketika pelukan intim kami melonggar, Sasuke menghela nafas dan merengut. "Kau menyebalkan."
"Catch some food sweetheart," Aku mendorong dadanya dengan telunjuk sembari tertawa. Sasuke tidak bergumul lagi dan meraih coat cokelat miliknya, dia mengalah dan Aku mengulas senyum kemenangan yang lebar, berharap ia melihatnya.
"Jangan terlalu senang. Aku akan meminta imbalanku nanti." Sasuke mendengus sebelum ia menghilang dari balik pintu. Aku mengulum senyuman, biarpun pria itu menghinaku hingga ke akar-akarnya, dia tetap akan melakukan apa yang kuminta.

KAMU SEDANG MEMBACA
Paris Runaway
FanfictionKarena bersama dia, mungkin terasing bukanlah hal yang buruk.