12

1.2K 228 28
                                    

"Sakura, kau melihat kaos kakiku?"

Aroma bacon dan telur untuk sarapan menyeruak memenuhi ruangan. Aku mematikan kompor dan mengangkat makanan kami sebelum terlalu matang, suara maskulin itu kembali terdengar dari dalam kamar. 

"Laci kedua Sasuke, dia selalu ada di laci kedua!" Aku balas berteriak. Membawa sepiring sarapan ke atas meja. 

"Dari atas atau bawah?"

Aku menghela nafas, kenapa itu jadi hal yang penting? tidak bisakah dia diam dan mencari saja? Lagipula lemari kami tidak besar dan hanya ada dua laci di sana. 

"Oh lupakan, aku sudah dapat!" 

Aku mendudukkan diri di meja makan, membaca koran sembari menunggu roti di dalam toaster selesai. Sasuke menampakkan diri di ruang makan tidak lama setelah proses pencarian kaos kakinya, dia mengenakan pakaian pekerja, aku hanya menatapnya sekilas. 

"Kau tidak marah, kan?" Dia duduk di depanku, memasukkan sedikit gula ke dalam kopinya dan mengaduk, masih menatapku.

"Ini akhir pekan Sasuke," Aku menghela nafas. Toaster berbunyi dan rotiku menyembul keluar. Aku segera bangkit berdiri, "Aku tidak mengerti kenapa bos mu masih mempekerjakan orang di akhir pekan."

"Akhir-akhir ini omzet penjualan tidak terlalu bagus. Maaf Sakura, kami memang harus bekerja lebih ekstra jika soal ini."

Aku sudah mendengar itu beberapa kali, artinya memang itu keadaan yang harus dihadapi Sasuke saat ini. Aku mendudukkan diri dan mengoleskan roti dengan selai, "oke. Aku mengerti."

"Jangan mencebik, aku bisa menciummu dengan keras," Aku melotot ketika ia berucap demikian dan Sasuke tertawa. Dia sangat lihai memainkan perasaanku dan sepertinya aku menyerah saja. 

"Amavi tutup hari ini?" Sasuke melirik jam tangannya, dia mengunyah makanan dengan cepat. 

"Begitulah, semua orang beristirahat pada akhir pekan," Aku mendengus, menyindirnya. Sasuke tertawa kecil namun mempercepat makannya. Dia mengabiskan sarapan dan selesai dengan kopi pahitnya. Aku sebagai wanita yang baik merapikan dasi dan memberi dompet yang ia jatuhkan di meja makan ketika mengantarnya hingga pintu. Sasuke adalah lelaki yang mandiri, tetapi bagaimanapun dia bisa jadi sangat teledor dan harusnya ia bersyukur memilikiku. 

Sasuke menciumku lembut dan mengacak rambutku, "hati-hati di rumah. Aku akan selesaikan pekerjaan dengan cepat supaya kau tidak usah cemberut setiap hari."

"Aku tidak cemberut setiap hari," Aku memukul lengan atasnya, "hati-hati di jalan!" 

Dia menyelipkan satu ciuman manis lagi sebelum benar-benar pergi. Aku menutup pintu dengan dada yang mengembang seakan ingin meledak. Sasuke memperlakukanku dengan sangat baik, bisa kurasakan panas di pipiku menjalar hingga telinga. Pria yang satu itu, benar-benar.. Aku menepuk pipiku sendiri. Benar, Sasuke memang pria sejati dan aku jatuh cinta padanya. Akan tetapi dia tetap pria sama yang meninggalkanku sementara ia bekerja ketika yang kuinginkan adalah bermanja ria dengannya di tempat tidur atau bermalas-malasan di depan televisi. 

Seperti pekan-pekan yang sudah berlalu, tampaknya aku harus mengisi waktuku sendiri... lagi.

Tilda mengirimkanku berbagai resep yang bisa kucoba untuk lakukan sembari menunggu Sasuke pulang. Undangannya untuk nongkrong di Amavi juga menggiurkan, tapi yang ingin kulakukan hari ini hanyalah berkeliling di rumah dengan kaos Sasuke yang kebesaran dan bersantai. Harusnya bersama Sasuke tetapi bosnya menculik dia dariku. 

"Kau yakin tidak mau ke sini Sakura? Temari ada di sini membawa temannya Shion, kami akan membuat kue nanti."

"Urgh, itu tawaran menggiurkan Tilda, tapi aku tidak apa-apa," Aku meringis ketika dia menghela nafas. Bagaimanapun wanita itu sudah sangat dekat denganku dan kuanggap seperti mama. "Mungkin lain kali, besok setelah gereja?" 

Paris RunawayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang