PrologVancouver, Kanada.
Aku tak pernah tahu ini nyata atau tidak. Terjaga dengan tubuh gemetar dan tangan bersimbah darah membuatku panik, mimpi buruk itu menghantuiku.
Aku tak yakin, tapi sebentar lagi sirene polisi pasti akan terdengar lagi seperti saat itu. Segera kubenamkan diri di balik selimut, sembari berharap semua ini hanya halusinasi.
Namun, rupanya Tuhan berkehendak lain. Suara sirene polisi benar-benar terdengar. Tanganku gemetar meraih remote control televisi, menunggu dengan cemas pemberitaan media.
Seketika jantungku memacu cepat, berita itu menghantam dada membuat sesak. Kumatikan televisi dan semakin menelungkupkan wajah bersembunyi. Pembunuhan.
Pembunuhan itu kembali terjadi. Mungkinkah aku ... tidak, bukan aku pelakunya. Aku yakin bukan aku. Semakin panik aku menutup telinga dengan kedua tangan, seketika rambut pun basah oleh darah yang menempel di tangan.
Apa yang terjadi?
Apa?!
Aku berlari ke kamar mandi membersihkan diri, sembari menjejalkan seprai kamar hotel itu di bathtub dan menyiramnya dengan air mengalir, bercak darah itu tak boleh terlihat. Tidak, oleh siapa pun.
Syukurlah semua sudah beres, sekarang keadaan sudah aman, 'kan?
Sial! Suara dering telepon mengagetkanku. Jun Pio ... apa dia tahu? Apa dia akan menangkapku?
Tidak, bukan aku! Setidaknya aku harus tenang. Aku tahu apa yang harus dilakukan agar tak tertangkap. Sekarang semua sudah berubah, aku bukan bocah umur tujuh tahun lagi.
Tak akan ada yang bisa memaksaku masuk ke penjara atau pusat reehabilitasi seperti dua puluh tahun lalu. Tidak. Tak akan ada yang bisa menjebakku lagi. Tidak akan ada yang bisa!
Segera kugeser gambar telepon berwarna hijau pada layar ponsel, suara Jun Pio pun terdengar penuh tekanan.
"Aoi, kita harus ke Blok 3 rumah Park Sojung," ucapnya.
"Untuk apa? Kita sudah bertemu dengannya dua hari lalu, yang harus kita lakukan sekarang adalah melanjutkan penyelidikan yang kemarin."
"Tidak bisa, ada kasus pembunuhan di sana," terangnya lagi. Mendengar kata pembunuhan napasku seketika sesak. Tangan kembali gemetar, tapi masih coba kukendalikan. Bukankah aku harus tetap tenang?
"Memang apa urusannya dengan kita, ini bukan yuridiksi kita. Lagi pula kita ada di Kanada, bukan Korea."
"Masalahnya, yang dibunuh adalah Park Sojung." Bagai petir suara Jun Pio terdengar menggelegar. Seketika aku ambruk terduduk di atas ranjang. Ponsel itu jatuh begitu saja.
Kenapa Park Sojung? Kupandang kedua tangan, masih meyakinkan diri bahwa bukan aku pembunuhnya. Bukan!
Segera kukumpulkan seluruh tenaga, bangkit berdiri menyambar jaket dan kunci motor dalam waktu yang paling cepat yang bisa kulakukan.
Ponsel itu masih bersuara, kuambil kembali untuk menjawab Jun Pio sebelum memutus sambungannya.
"Tunggu aku di parkir, kita akan ke sana. Bersiaplah untuk menyamar menjadi keluarga korban."
***
Part 1. Ketakutan.
Dua hari lalu untuk pertama kalinya kupijakkan kaki di Bandara International Vancouver, Kanada. Sebenarnya, tak ada hal penting yang harus kulakukan di sini, selain mencari gadis belia yang hilang. Dia adalah cucu Park Sojung satu-satunya, seorang warga Korea Selatan yang sudah bertahun-tahun tinggal dan membangun bisnisnya di Kanada.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Salvation (Namjoon)
General FictionAdult, Romance- thriller. Ketidak becusan kepolisian Kanada dalam mencari jejak gadis belia yang hilang dua setengah bulan lalu, memaksa Alana Kim---Detektif wanita indio--ini terbang ke kanada. Menyamara untuk memecahkan kasus yang serupa. Namun...