enam belas

796 49 2
                                    

Sekian tahun dedikasi dan profesionalisme kerjaku di kepolisian Seoul seakan tak berarti setelah apa yang kulkukan bersama Namjoon. Padahal dari beberapa orang yang ada, Namjoon adalah orang yang paling kucurigai menjadi dalang kasus ini.

Inikah yang sering dikatakan kalau cinta itu buta? Dari dulu aku tak mempercayai ungkapan seperti itu, sebab menurutku bahkan jatuh cinta pun butuh logika. Aku sering menyangkal sebuah film laga, yang membuat kisah antara detektif yang berakhir jatuh cinta pada buruannya. Itu imposible, menggelikan. Mana mungkin orang berpendidikan seperti sang detektif malah jatuh cinta pada penjahat. Kecuali detektifnya yang bodoh dan terlalu emosional.

Kalau pun itu ada aku yakin paling hanya satu dari sejuta dan mungkin sekarang akulah detektif bodoh dan emosional itu.

"Ada apa?" Aku tersentak. Tanpa kusadari tangan Namjoon malah sudah melingkar manis di perutku dengan kepala bertengger di bahu. Aku ingat terakhir kali Namjoon melakukan hal ini, aku hampir mati sesak napas, apalagi ketika bibir tebalnya menyapa leherku.

Alana, ayolah berhenti berfantasi liar. Kau sudah melakukannya sekali, sekarang tahan dirimu.

"Kau marah, ya?" Namjoon mengeratkan pelukannya. "Maafkan aku, percayalah aku akan bertanggung jawab. Kalau kau mau, kita temui ibu sekarang agar bisa mempersiapkan lamaran untuk memintamu pada keluargamu. Kita berangkat ke Korea. Mau, 'kan?"

Pantulan diriku di cermin besar di ruangan pribadi itu jelas sekali menampilkan kebimbangan, berbeda dengan Namjoon yang terlihat begitu bahagia. Netra hitamnya berbinar penuh pengharapan dan cinta.

Aku menghela napas meninggahkan tangan yang memegang sisir di punggung tangan Namjoon. "Kasusnya belum selesai, Joon, bagaimana mungkin aku melepas tanggung jawab dan pergi begitu saja, sementara aku tahu dua minggu lagi akan ada dua korban meninggal dan Nesy termasuk salah satunya."

Kulihat Namjoon mendengkus tak suka. Pelukannya yang semula hangat perlahan melonggar. Dia pasti kecewa, sudah berulangkali Namjoon memintaku melepas kasus ini, tapi aku menolaknya.

Helaan napas berat terdengar darinya, ketika melepaskan pelukannya dan berderap menjauh. Aku menoleh, Namjoon melangkah kecewa mendekati pintu. Tindakannya tanpa terasa membuat hatiku tersayat.

Sebenarnya sudah sejak lama aku merasakan kekosongan dalam hati. Ada sesuatu yang berbeda, ada yang hilang dari ingatan dan aku sangat menyadarinya. Seseorang yang merawat dan menjagaku di Daegu hanya orang tua asuh dan mereka tak tahu apa-apa tentangku. Itulah kenapa, selama ini rasa kesepian seolah menjadi teman dan sahabat terbaik bagiku.

Namun, sekarang semua berbeda. Kehangatan dan perhatian Namjoon, seakan memberi warna baru yang membuatku ingin selalu tersenyum dan berani bermimpi tentang sebuah kebahagiaan. Sungguh aku tak mau kehilangan hal itu. Aku mencintai pria itu, membutuhkannya dalam hidup dan aku ingin berpegangan padanya.

"Ayo kita pulang," ucap Namjoon membuka pintu membuatku berlari dan memeluknya erat.

"Maafkan aku, kumohon."

Namjoon terdiam, membiarkan kepalaku jatuh dipunggungnya. "Namjoon, aku ... aku mencintaimu ...." Kalimat itu jadi satu-satunya pilihan yang harus kukatakan agar dia bersedia bertahan sebentar lagi untuk menungguku.

"Aku tahu," ucap Namjoon dengan intonasi rendah. Dia masih memendam kecewa di hatinya, aku bisa merasakan hal itu. "Jika kau tak mencintaiku, kau tak mungkin menyerahkam dirimu padaku, Alana. Tapi--"

The Salvation (Namjoon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang