dua puluh satu

682 35 2
                                    

'P. N' inisial nama itu terus berulang di pikiran. Bahkan ketika aku menaiki tangga kayu yang rapuh menuju lantai dua rumah kayu itu pun aku masih berusaha menduga siapa pemilik mainan kalung itu.

Mainan liontin itu sudah kubungkus dan kini tersimpan dengan aman di kantong celana. Banyak praduga yang bermunculan tentang benda kecil itu. Terutama tentang pembunuh yang menghabisi Khatalia Gregory.

Apa mereka sempat bertengkar dan Khatalia berhasil memutus kalung si pembunuh? Atau mungkinkah ada kemungkinan lain? Misalnya kalung ini putus dan jatuh ketika Namjoon datang ke TKP untuk mencariku? Bukankah dia tahu tentang mayat wanita itu.

Benarkah dia pembunuhnya, atau benarkah mainan liontin ini miliknya? Bagaimana jika ada orang lain memiliki inisial nama yang sama? Tentu akan jadi sangat tidak adil jika aku terus mencurigai Namjoon.

Langkahku terhenti di ujung tangga teratas. Kulihat ada dua kamar dengan posisi sejajar di koridor. Pada unjung tangga teratas aku memilih berbelok ke kanan menuju kamar pertama.

Ketika aku ingin membuka pintu kayu yang lapuk di hadapan, kudengar suara gemeretak di ujung koridor. Seperti suatu benda yang saling bergesekan hingga menyebabkan bunyi-bunyian yang membuat bulu kuduk merinding.

Kreet, kreet, kreet.

Suara itu makin jelas terdengar. Kulangkahkan kaki mendekati jendela kaca yang masih utuh. Sebuah bayangan melambai-lambai samar tertangkap indra penglihatan. Aku pun mengeluarkan revolver meski tahu itu tak akan mempan jika yang kuhadapi adalah sosok hantu.

Sampai di ujung koridor, aku memindai grendel jendela yang sudah lapuk hingga jendela itu tak lagi terkunci. Sesekali ketika angin bertiup cukup kencang, akan timbul bunyi hentakan yang cukup keras dari sana. Aku menghela napas, suasana hutan di luar masih saja gelap, meskiku yakin matahari pasti sudah muncul ke permukaan.

Suara gesekan itu kembali terdengar mengembalikan konsentrasiku. Setelah menimbang beberapa saat, aku pun mendorong jendela, mengacungkan senjata api dan memindai ke arah luar. Mungkin ada yang mengintai, tapi rupanya dugaanku salah.

Tak ada siapa pun di sana. Aku terdiam sesaat mencari tahu apa yang sebenarnya menimbulkan bunyi gemeretak dan gesekan tadi. Hingga kemudian aku mengutuk diri sendiri, sebab yang kutakutkan hanya suara gesekan jendela yang tertutup dengan palang kayu dan ranting pohon mapel yang tertiup angin.

"Sial!" desisku sambil melangkah kembali ke dalam kamar yang jadi tujuanku semula. Pintu yang rapuh itu pun berderit disusul serpihan debu yang beterbangan ketika aku mendorongnya. Kamar ini tak seterang ruangan di lantai bawah. Aku mencoba menyalakan lampu, tapi sepertinya sakelarnya sudah bermasalah. Akhirnya aku hanya bisa mengandalkan cahaya dari lampu senter.

Sebuah dipan reot langsung menjadi tumpuan pertama penglihatanku. Matras di atas ranjang itu pun sobek di beberapa bagian dengan pirnya yang bermunculan ke permukaan. Aroma debu dan udara yang lembab juga pengap langsung menyapa hidung.

Aku menyibak beberapa sarang laba-laba yang berjatuhan di atas rambut. Sialnya binatang kecil itu malah jatuh dan menggerayangi kulitku. Untung saja aku bisa segera menepiskannya. Kalau tidak bisa-bisa aku jadi Spiderwoman menggantikan si Spiderman bikinan Marvel. Sungguh itu tidak lucu.

Ruangan ini tak sebesar kamar Park Yoongi tapi juga tak sekecil kamarku di Seoul. Kalau tak salah tebak, dengan memperkirakan panjang temboknya ketika melewati koridor tadi mungkin sekitar 8 x 8 meter.

The Salvation (Namjoon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang