"Nam--joon ...." Aku menangis dalam rengkuhan pria itu. Rasanya menyakitkan mengetahui fakta bahwa sekarang yang kuselidiki justru diriku sendiri. Gambar yang terekam dalam video itu tak bisa dibantah, meski aku menyangkalnya mati-matian.
Aku masih tak mengerti kenapa semua bisa seperti itu. Tetapi, jika dikaitkan kembali dengan peristiwa di kamar hotel, semua justru terlihat logis jika akulah sang tersangka utama. Jika ada team forensik yang mengambil sampel darah di tanganku waktu itu, pasti akan ditemukan jenis darah yang sama dengan darah korban.
"Tenanglah, aku percaya bukan kau pelakunya," ucap Namjoon mendekapku erat.
Sampai beberapa menit lalu aku masih mencurigai Namjoon sebagai dalang yang membawaku ke dalam petaka ini. Tetapi, merasakan betapa tulusnya pria itu, aku jadi semakin ragu untuk membuktikan kebenaran dari pemikiranku sendiri.
Namjoon mengurai pelukannya, menangkup wajahku dengan dua tangan dan menghapus air mata yang masih mengalir dengan ibu jarinya. Sungguh aku tak sanggup menatap netranya yang memancarkan ketulusan.
"Alana, lihat aku," ucap pria itu memaksaku menatapnya. "Sekali lagi aku minta padamu, Alana. Lupakan kasus ini dan pergilah bersamaku. Akan kuurus semuanya, agar kau bisa keluar dari Kanada dengan bebas. Kita bisa pergi ke manapun yang kau mau, Alana. Selama kau aman, aku akan menyetujuinya."
Mungkin ini adalah pilihan terbaik yang harus kuambil. Semakin dipikirkan masalah ini jadi semakin rumit. Jika aku tertangkap, sebagai pelaku pembunuhan beruntun, maka hukuman seumur hidup sudah siap menanti di balik jeruji.
Selain itu, masih ada si pelaku sendiri yang juga mengincar nyawaku. Jadi jika aku bisa lolos dari polisi, mungkin aku tak akan pernah bisa lolos dari penjahat sialan itu.
"Namjoon, aku ...."
"Sst ... kali ini jangan membantahku. Meski kau belum mencintaiku sekarang tapi akan kubuat kau untuk segera jatuh cinta padaku. Jadi, ayo kita pergi bersama, Alana. Aku janji kau akan bahagia bersamaku."
Sekali lagi Namjoon berhasil membuatku bungkam. Bahkan ketika dia menurunkan wajah dan menyatukan bibirnya pun, aku memilih menerima dan mengimbanginya. Membiarkannya mengunci pergerakan kelapaku, dengan netra terpejam, aku malah mengalungkam kedua tangan di lehernya.
"Alana, aku menyukaimu, menikahlah denganku ...," lirih Namjoon. "Mari kita bahagia bersama."
Hampir saja aku menjawab 'iya' atas tawaran Namjoon. Aku tahu untuk saat ini, itulah pilihan terbaik yang aku punya. Pergi melarikan diri dan melupakan semuanya.
Tetapi, baru saja aku membuka mulut hendak bersuara, attensi kami teralihkan ketika terdengar suara dari monitor CCTV yang menyala. Rupanya video yang awalnya menayangkan semua sudut rumah Park Sojung kini telah berganti siaran. Salurannya diretas seseorang.
Aku mengerutkan dahi, memandang tanpa suara seorang pria bertopeng yang berbicara di balik layar kaca.
"Hallo, Alana Kim. Bagaimana hadiah yang kusiapkan di Chatedral Grove? Apakah itu sudah cukup untuk mengembalikan nafsu membunuhmu? Atau kau masih merasa kurang?"
Aku berdiri, memandang layar televisi lebih dekat lagi. Namun, bukan suara bajingan itu yang jadi fokusku, tapi ruangan tempatnya melakukan siaran.
Pria itu terduduk sambil memainkan belati di tangan kanan. Posisinya tepat di depan tembok kosong berwarna biru muda, dengan bayangan pohon besar tergambar di tembok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Salvation (Namjoon)
General FictionAdult, Romance- thriller. Ketidak becusan kepolisian Kanada dalam mencari jejak gadis belia yang hilang dua setengah bulan lalu, memaksa Alana Kim---Detektif wanita indio--ini terbang ke kanada. Menyamara untuk memecahkan kasus yang serupa. Namun...