Masih bisa kulihat Namjoon berusaha mengembalikan ekspresinya. Dia tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan tentunya.
"Alana, benarkah kau Milana? Bagaimana kau bisa berpikir kalau dirimu itu Milana, sedang kau sendiri lupa masa lalumu?"
Aku mengalihkan pandangan dari Namjoon yang menatapku dengan kegugupan di matanya. Pikiran pun mengembara dan merutuki diri-sendiri. 'Jika memang Namjoon tahu, harusnya tak seperti ini carakau membongakar identitas. Kenapa tak kuungkapkan setelah menyelidikinya lebih jauh lagi. Bodoh!' umpatan itu pun terus terngiang di kepala, sampai kurasakan tangan Namjoon mengelus suraiku lembut.
Aku menoleh padanya. Namjoon pun tersenyum hangat. Wajahnya yang semula pias kini kembali normal dengan dua dimpel yang sangat mempesona bertengger manis di pipinya.
"Jangan berpikir yang macam-macam tentang reaksiku tadi. Aku hanya terkejut mendengar pengakuanmu. Kau tak sedang bepikir aku menyembunyikan seseuatu tentang kematian Bibi Sakura, bukan?"
"Bagaimana kau bisa tahu aku memikirkannya." Kutatap lekat netra hitam di depanku, yang sayangnya tak kutemukan sedikit pun kebohongan di sana. Bagaimana dia bisa mempermainkan perasaanku begitu rupa.
Dari rambut tangan Namjoon beralih menyentuh pipiku, mengusap lembut dengan ibu jarinya. Sungguh, Namjoon sangat tahu bagaimana cara melumpuhkan seluruh impuls sarafku hingga aku melupakan semuanya.
"Aku tahu, aku tahu kau bahkan curiga padaku," bisiknya dengan bariton rendah.
Netraku pun terkunci dalam kejujuran di matanya. Namjoon seperti aktor peraih piala Oscar. Dia bisa berubah seperti bunglon. Sesaat ketika proses kamuflase dalam dirinya terganggu maka Namjoon akan menampakkan wajah aslinya. Aku semakin curiga, tapi aku juga semakin terbawa arus bersamanya.
"Bagaimana kau bisa tahu? Apa kau cenayang? Atau kau pernah mempelajari ilmu tentang teori pysikologi manusia? Atau kau memiliki kecerdasan setaraf Albert Einstein hingga bisa menggabungkan semua teori dan mengambil keputusan yang pas dari analisis logikamu?"
Namjoon terkekeh. Tanpa aba-aba menyambar bibirku dengan cepat. Hanya sesaat, tapi cukup mampu memberiku efek kejut yang mematikan.
"Kau lucu," ucapnya mengacak-acak poniku lalu menjauhkan badan dan kembali menyalakan mesin mobilnya. "Kita akan bercerita banyak hal setelah beristirahat di rumah Momy. Jujur saja aku lelah sekali."
Kendaraan roda empat itu pun mulai melaju kembali ke jalurnya. Sesekali Namjoon masih menoleh padaku yang mengerucutkan bibir karena kekesalan yang menumpuk dalam hati dan tidak mendapat jawaban. Aku menoleh ketika tangan kiri Namjoon terulur dan kembali bertautan dengan tangan kananku.
"Aku memang secerdas Einstein jika kau ingin tahu. IQku 148 hanya dua tingkat di bawahnya, jadi jika mau, harusnya aku bisa jadi penemu atau ilmuwan sepertinya. Tapi sayangnya daripada berusaha menemukan rumus fisika baru, rasanya lebih menyenangkan ketika menemukan rona merah di pipimu."
"Namjoon ...." rajukku terdengar menggelikan, tapi aku menyukainya. Ya, sangat menyenangkan bersikap manja padanya.
"Satu lagi," Ucapannya terjeda ketika dia harus berkonsentrasi untuk berbelok ke kanan. Membunyikan klakson mobil dua kali dan menunggu seorang penjaga membukakan gerbang untuknya. Rupanya kami sudah sampai di rumah Park Minji---ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Salvation (Namjoon)
General FictionAdult, Romance- thriller. Ketidak becusan kepolisian Kanada dalam mencari jejak gadis belia yang hilang dua setengah bulan lalu, memaksa Alana Kim---Detektif wanita indio--ini terbang ke kanada. Menyamara untuk memecahkan kasus yang serupa. Namun...