dua pulu dua

569 40 4
                                    

Aku terdiam, bersandar pada headbed dengan wajah tertunduk dan jemari tangan saling bertautan. Sementara selimut tebal yang menutupi seluruh kaki hingga ke atas perut. Namjoon menyelamatkanku dari Chatedral Grove dan membawaku pulang.

Pria itu bahkan memanggilkan dokter pribadinya untuk memeriksa keadaanku yang terguncang hebat akibat ingatan masa laluku yang bermunculan secara serempak.

Kini, setelah keadaanku membaik dan percakapan panjang lebar yang terlontar di antara kami, Namjoon pun hanya berdiri dengan wajah tertunduk lesu bersandar pada lemari pakaian. Lama kami sama-sama terdiam. Terjebak dalam pikiran dan kekecewaan masing-masing.

Tak ada pertengkaran di antara kami, tapi juga rasanya tak ada hal lain yang perlu kami bahas lagi, hingga hanya detak jam dindinglah yang mengusik kebungkaman ini. Kudengar Namjoon menghela napas panjang sebelum kulihat dia menegakkan badan.

"Kau istirahatlah dulu, akan kusiapkan makan malam," ucapnya berderap menjauh.

"Aku akan pergi malam ini."

Namjoon terdiam, tungkainya berhenti melangkah. Aku tahu dia hancur, sebab itu juga yang kurasakan sekarang. Namun, mendapati fakta bahwa ayahnyalah yang menjebakku atas pembunuhan Sakura Nanase yang tak lain adalah ibuku, aku pun tak punya pilihan lain lagi selain mengakhiri hubungan dengannya.

Ikatan yang terjadi di antara kami terlalu rumit. Jika Namjoon adalah putra Park Sojung--suami Sakura Nanase yang notabene adalah ibuku sendiri, bukankah ada kemungkinan kalau aku dan Namjoon sebenarnya bersaudara tiri.

Aku tahu sulit bagi Namjoon menerima kenyataan ini, karena hal ini juga tak bisa kuterima dengan mudah. Aku sudah terlanjur mencintainya. Kueratkan rematan pada selimut tebal di atas paha, ketika Namjoon kembali melangkah. Sejenak dia pun berdiri di ambang pintu, seakan menimbang sesuatu dalam pikirannya.

"Pergilah setelah kau makan malam," ucapnya kemudian. Dia tak menoleh sedikit pun dan langsung bergegas pergi. Suaranya bahkan terdengar bergetar, sebab dia juga tengah menahan luka. Luka dan rasa sakit yang sama-sama ada di antara kami.

Setelah dia menghilang di balik pintu,  aku pun hanya bisa menangis. Kunaikkan kedua kaki dan menyembunyikan wajah di antara lutut, seolah dengan begitu semua akan baik-baik saja. Namun, nyatanya tak mengubah apa pun.

Namjoon, rasanya aku ingin mengejarnya keluar dan memeluknya erat sambil berkata, "Tak masalah kita saudara, tak masalah ayahmu menghabisi ibuku, aku tak peduli sebab aku hanya ingin bersamamu. Ingin menjadi ibu dari anak-anakmu seperti yang kau minta."

Namun, logika ini mematri tubuhku, hingga tak sejengkal pun aku beranjak. Membiarkan rasa sakit mencabik-cabik hati dan pikiranku. Kebisuan Namjoon akan fakta yang kubeberkan seolah menjadi jawaban bahwa selama ini dia tahu segalanya dan mendiamkannya. Itu menyakitiku.

Jika saja, ya, jika saja dia berkata jujur, aku mungkin tak akan membiarkan diri ini menyerah dalam hasrat cintanya. Tak akan membiarkan terjebak dan masuk terlalu dalam di samudra kasihnya. Aku, sudah terlanjur tenggelam.

Tidak, sejatinya ini bukan salahnya. Seandainya saja aku tetap mengandalkan logika dalam tindakanku, mungkin aku akan mengerti dan memahami tiap reaksi yang dia tunjukkan selama ini. Bahwa mungkin dia tahu siapa diriku ketika kukatakan namaku Milana.

Bahwa mungkin itulah sebab dia melarangku mengusut kasus ini, karena dia tak ingin aku terluka. Dia tak ingin aku kecewa seperti sekarang. Namjoon hanya ingin melindungiku, tapi dengan bodohnya aku menganggap dia ingin melindungi ibunya dan terus-menerus menaruh curiga padanya.

The Salvation (Namjoon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang