sembilan belas

749 56 19
                                    

Tangan kiriku terborgol pada pegangan di atas pintu mobil ketika tersadar dari pingsan akibat obat bius. Namjoon menyetir dengan wajah mengetat dan laju kendaraan di atas rata-rata. Ada ketegangan yang tak biasa dalam ekspresinya.

"Namjoon ...." Pria itu menoleh sekilas ketika aku memanggilnya. Dia melempar senyum seperti biasa.

"Kau sudah sadar, Sayang?" ucapnya lembut, menurunkan kecepatan mobilnya lalu menautkan jemari denganku.

"Apa ini? Kenapa kau memborgolku seperti ini?" Bukannya menjawab pria itu malah mengangkat dan mencium punggung tanganku dengan sangat lembut.

"Besabarlah, aku akan melepasmu setelah kita sampai nanti, Alana," ucapnya.

Namjoon berubah dari sosok yang biasanya. Ada ketakutan yang dalam di balik tindakanya, aku tahu itu. Ini mungkin disebabkan karena depresi dan trauma kehilangan orang yang dia cintai. Seperti katanya, kehilngan Jihye membuatnya hampir gila, bahkan dia harus tinggal di pusat rehabilitasi selama berbulan-bulan untuk menyembuhkan mentalnya.

"Joon, ak--"

"Tidak, kau tidak boleh pergi. Aku berjanji akan membuatmu aman." Namjoon memotong ucapanku. Gerakan tangannya sedikit gemetar ketika melepas genggamannya dan kembali memegang setir dengan dua tangan.

"Baik, Joon. Aku tak akan ke mana-mana. Tapi, bisakah kau lepas ini. Tanganku sakit, Joon." Namjoon melirik sekilas ke arahku dengan raut kacau tak seperti biasa. Seketika aku ingat apa yang dia katakan kemarin. Sampai seperti inikah Namjoon mengkhawatirkanku?

"Namjoon ...."

Sekali lagi Namjoon menoleh dan aku tersenyum meyakinkannya, barulah dia menepikan kendaraan. Masih tampak ragu dengan apa yang akan dilakukannya, akhirnya Namjoon pun melepas borgol di tanganku.

"Maafkan aku," ucapnya gugup. Titik-titik keringat muncul di dahi akibat ketakutan yang menguasai pemuda itu. Aku tahu, Namjoon sedang sangat kalut. Sebelum tubuhnya menjauh dariku, kubingkai wajah kacau itu dengan dua tangan. Lantas, tanpa permisi kusatukan bibir kami berdua.

Beberapa saat berlalu, wajah tegang Namjoon mulai melunak. Kami saling bersitatap dalam waktu yang lama. Kuselipkan jari-jari tangan di helaian rambutnya.

"Aku tak akan pergi, tak akan pernah meninggalkanmu seperti Jihye, jadi kau tak harus seperti ini."

"Tapi--"

"Sst ...." Jari telunjukku menghentikanya bicara. "Kali ini kau yang harus mendengarkanku. Kasus pembunuhan ini belum selesai Namjoon. Jika pembunuh itu marah karena tak mendapatkanku, lalu dia membunuh ibumu dan Taehyung, apa yang akan kau lakukan? Apakah kau rela menukar mereka demi aku."

Namjoon terdiam, dia bimbang. Ya, sorot matanya memancarkan kebingungan yang teramat dalam. Aku menarik kepala pria itu, membenamkannya di ceruk leherku sendiri. Namjoon berpindah tempat duduk, hingga kini dia tepat di sebelahku.

Tubuhnya perlahan mulai bergetar. Dia menangis. Menunculkan titik air di mataku sendiri. Sebesar inikah cinta yang kudapat darinya. Jika dia begitu mencintaiku, harusnya tak ada lagi yang disembunyikannya. Mungkinkah jika aku tahu kebenaran,  Namjoon berpikir kalau aku akan meninggalkannya? Tidak, aku sangat menyayangi pria ini.

Aku masih mengusap punggung Namjoon pelan ketika suara ponsel terdengar dari saku celana. Segera kuambil ponsel itu dan berbicara dengan Jun Pio di ujung telepon. Sementara itu Namjoon masih membenamkan kepalanya di perpotongan leherku.

"Bisakah kau abaikan dia, Alana," ucap Namjoon sesaat setelah aku memasukkan ponsel kembali ke dalam saku.

"Jun Pio sudah tahu di mana panti asuhan tempatku dirawat. Juga tempat Hendrick Scoot," sahutku mengabaikan ucapan Namjoon.

Namjoon mengangkat wajahnya, lalu menantap kosong ke arah depan melalui kaca jendela. "Lalu apa yang kau harapkan jika bertemu dengan Hendrik Scoot? Alana, pria itulah yang menandatangin izin penghapusan ingatanmu."

"Momy pernah mengatakan padaku kalau di antara lima bersahabat itu terjalin cinta yang rumit. Semua dikarenakan Sakura Nanase yang merasa diri terlalu cantik dan terlalu dicintai." Namjoon memulai kembali ceritanya, sementara aku hanya diam saja dan tanpa sepengetahuannya mengaktifkan perekam suara di ponsel.

Awalnya Sakura Nanase itu kekasih Dadyku---Park Minho, sementara Park Minji adalah kekasih Paman Sojung. Sampai suatu hari dady memergoki Sakura Nanase berselingkuh dengan Paman. Pertengkaran pun terjadi di antara keduanya. Hingga akhirnya ikatan keduanya berantakan.

"Untuk membalas pengkhianatan mereka, Dady dan Momy memilih menikah meski tak ada cinta di antara keduanya. Tapi, dady sangat bertanggung jawab, meski dia tak mencintai Momy, Dady tetap menerima kehadiranku dan Momy dengan sangat baik."

"Maksudmu? Kau bukan ...?"

Namjoon mengangguk. "Ketika Momy menikah, dia sudah dalam keadaan hamil. Paman Sojung adalah ayah biologisku."

"Ap--pa?!" Antara percaya dan tidak pertanyaanku tercekat bercampur keterkejutan yang luar biasa. Namjoon menoleh padaku, menatapku dengan tatapan sendu. Tangannya terulur menyentuh pipi kananku dan mengusapnya lembut di sana.

"Ketika melihat CCTV itu, hal pertama yang muncul di benakku adalah balas dendam padamu. Karena itulah pagi itu aku ingin membunuhmu. Aku tak benar-benar terkena hipnotis, pistol itu kosong, Alana. Maafkan aku ...."

Ck. Rasanya tak percaya mendengar pengakuan seperti ini dari pria yang kini bersamaku. Sementara tangannya masih mengelus pipiku, Namjoon kembali berucap, "Bodohnya diriku, sebab bukannya membalas dendam padamu, aku malah jatuh cinta dan berusaha mencari tahu kebenaran di balik peristiwa itu.

"Semakin kuperhatikan CCTV itu, aku menemukan satu keanehan. Wanita itu, yang membunuh Paman Sojung penampilannya lebih feminim dan lebih sexy darimu."

"Maksumu? Aku kurang sexy? Begitu, hah?" Aku memukul Namjoon membuatnya terkekeh. "Menyebalkan, kalau dia lebih feminim dan lebih sexy kenapa kau tak bercinta dengannya?"

"Itu karena aku tahu tipe sepertimu jauh lebih liar."

"Ya! Park Namjoon!" Aku mendengkus kesal. Memukul kedua tangannya yang mencubit pipiku.

"Kau jauh lebih menggemaskan," ucapnya sambil menarik hidungku.

Aku pun mencebik manja, hingga Namjoon menarikku dalam pelukannya.

"Kau tahu, berdasarkan atas kecurigaan itu aku pun tahu kalau kau sedang dalam bahaya. Ditambah lagi kematian wanita di Cathedral Grove yang memang sengaja ingin menjebakmu, maka bisa kusimpulkan adalah kau harus menyelamatkan dirimu sendiri."

Aku mendongak menatap rahang tegas Namjoon. "Jika kau benar lalu bagaimana dengan Nesy? Bukankah dia mengatakan kalau aku bisa menyelamatkan korban selanjutnya maka dia akan membebaskan Nesy. Apa itu artinya jika aku melarikan diri dan selamat maka dia akan membebaskan Nesy? Tapi kenapa? Apa hubungannya denganku?"

"Entahlah. Aku tak bisa memahami seluruh kasus ini. Tapi, kurasa dia memang menginginkanmu untuk lari. Lari dari kepolisian Kanada, sebab dia akan memburumu. Dan, satu-satunya hal yang bisa kusimpulkan adalah, dia  terlibat dalam kasus pembunuhan Sakura Nanase dan kau satu-satunya saksi yang tersisa. Jika kau mengingat peristiwa dua puluh tahun silam, dengan kewenanganmu sebagai kaki tangan hukum, kau bisa membuka kasus itu kembali untuk menyeretnya ke pengadilan."

"Saksi yang tersisa? Apa maksudmu selain aku masih ada saksi lain?"

"Daddy ...," jawab Namjoon pelan. "Daddy terbunuh dalam kecelakaan tunggal."

"Terbunuh?"

Namjoon mengangguk mengiyakan pertanyaanku. "Ada seseorang yang sengaja mengotak-atik rem mobilnya. Fakta itu kuketahui beberapa hari lalu ketika tengah menyelidikimu. Awalnya kupikir juga daddy meninggal karena kecelakaan biasa."

"Kalau begitu, dari lima sahabat itu, yang tertinggal hanya Park Minji dan Hendrik Scoot, bukan? Jangan katakan kau membuatku berhenti menyelidiki kasus ini, karena kau ingin melindungi ibumu ...."

The Salvation (Namjoon)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang