SEPULUH

307 17 0
                                    

"Kemana aja jam segini baru pulang?!" tanya Risa; mama Meira dingin.

"Meira abis les Ma." Meira menunduk. Ia tak berani menatap Mamanya.

"Ngapain les? Gak akan buat kamu pinter!" Meira tak berani menjawab pertanyaan Mamanya.

"Besok gak usah les lagi! Buang buang uang." Mamanya tampak menyulut emosi.

"Tapi Ma ...."

"Turutan apa mau Mama. Dasar anak gak tau diuntung!"

Seperti ada serangan listrik menghantam dadanya. Lagi-lagi perkataan mamanya membuat dadanya sesak. Perlahan kristal bening keluar dari matanya. Apakah salah ia mengikuti les? Bukankah mamanya mrngharuskan Meira menjadi perempuan pintar. Ah, apapun yang dilakukan Meira tak akan disetujui mamanya.

"Gak usah cengeng! Cepet ganti baju," perintah Mamanya.

Meira berjalan gontai ke kamarnya dengan air mata yang mengalir ke pipi mungilnya.

Gadis itu memasuki kamarnya dan duduk di depan meja belajar. Air matanya sudah tidak lagi mengalir. Namun, perkataan Mamanya masih terngiang di telinganya. Ia mengusap pelan matanya, menghilangkan jejak air mata.
Meira mengambil pulpen dan buku hitam yang tergeletak di meja belajarnya. Kemudian ia mulai menuliskan sesuatu.

Sampai kapan ini semua berakhir?

Aku ingin seperti dulu

Berada dalam kelurga yang harmonis
Ketenangan, perlindungan

menyelimuti keluarga kecil
Tawa menghiasi ruangan tempat berkumpul

Menghilangkan beban yang dipikul sendiri

Diceritakan sebuah dongeng hingga mata ini terlelap

Lalu kening ini terkecup manis
Ah sungguh indah hidup seperti itu
Penuh kebahagiaan meski dengan hal-hal sederhana

Akankah masa itu kembali datang?
Atau harus selamanya menghilang?

***
Sinar matahari masuk menelusuk indera penglihatan seorang gadis yang sedang terlelap. Ia terperengah, lalu terbangun.
Meira melirik jam nakas dan tersentak. Gawat ia kesiangan. Semalam ia tidak bisa tidur dan terus teringat kata-kata Mamanya. Buru-buru ia ke kamar mandi disebelah kamar tidurnya. Dan melakukan 'mandi bebek' karena waktu yang begitu mepet.

Sepuluh menit kemudian Meira menuruni anak tangga dengan langkah sedikit berlari. Ia menggendong tas sedangkan tangannya mengikat rambutnya asal
.
"Non, sarapan dulu!" perintah Bi Inah.

"Aku buru-buru Bi, udah telat nih," kata Meira yang masih berjalan cepat.

Mata Meira mencari security rumahnya untuk mengantarkannya. Namun, sepertinya pak Joko sedang mengantarkan Mamanya ke kantor.
Meira berlari ke depan rumahnya dan berdiri menunggu taksi atau angkutan umum mengantarkannya ke sekolah.

Meira terlihat cemas. Bayangkan saja, baru pertama kali ia terlambat seperti ini. Sesekali mata gadis itu melirik arloji ditangannya.

Sudah dua menit ia menunggu, namun belum ada kendaraan yang bisa ia tumpangi. Meira semakin cemas, pikirannya tak karuan. Jam sudah menunjukkan 06.40. Artinya, lima menit lagi gerbang akan ditutup.
Dari arah utara, sebuah sepeda motor berhenti di depan Meira. Ia mengernyitkan dahi. Kemudian seorang cowok yang berada diatas motor membuka helm fullface-nya.

"Naik buru bentar lagi gerbang ditutup!" Meira langsung menuruti perintah Aldo.

Motor itu melesat dengan sangat cepat. Membelah jalanan ibu kota. Meira yang merasa takut dengan kecepatan tinggi, memegang pinggang Aldo sedangkan cowok itu tersenyum dibalik helm fullface-nya.

Mei dan Hujan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang