TIGA - Diantar Pulang

600 33 2
                                    

Rezvan mengamati seorang gadis yang berjalan seorang diri. Bel sudah berbunyi sejak tadi, akan tetapi gadis itu baru beranjak pulang setengah jam kemudian, seperti halnya Rezvan.

Rezvan segera meninggalkan lingkungan sekolah dengan mengendarai motor matic. Dibalik helm full face-nya, sekilas ia melihat Meira yang sedang duduk di halte sekolah.

Meira tak menyadari ada seseorang yang mengamatinya. Dia sedang menunggu angkutan kota. Hari ini, meski hari pertama masuk, ia akan mengikuti bimbel. Sedari kecil ia diharuskan mengikuti bimbel oleh ayahnya. Dia tetap menuruti, meski beliau telah tiada.

Setiba di tempat bimbel, ia melihat seseorang yang tidak asing baginya. Dia merasa pernah bertemu, entah dimana. Meira tak ambil pusing, ia segera duduk tepat di belakang Rezvan. 

Tidak ada siswa lain yang bimbel hari ini. Hanya Meira dan Rezvan. Mereka saling diam. Atmosfer diantara mereka terasa canggung.

Ketika sedang mengerjakan latihan oleh guru yang mengajar, Rezvan menoleh ke belakang, seperti mencari sesuatu. Matanya terus mencari sesuatu, entah apa. Kemudian pandangannya jatuh pada sebuah penghapus yang ada di meja Meira.

"Boleh pinjem penghapusnya?"

"Eh i ... iya boleh," Jawab Meira dengan gugup. Wajar saja, gadis itu jarang sekali bercengkrama dengan cowok.

Tangan mereka bersentuhan ketika Meira memberikan penghapus. Rasanya seperti ada sesuatu yang menyerang dada Meira. Seperti sengatan listrik yang menyerangnya tiba-tiba. Dan ini pertama kalinya tangan Meira bersentuhan dengan laki-laki selain ayahnya.

Mereka kembali menyibukkan diri. Cowok itu sibuk menghapus, sedangkan Meira sibuk menormalkan detak jantungnya.

***

Meira berdiri di depan tempat bimbel, berharap ada sebuah angkutan umum yang bisa ia tumpangan. Hari sudah hampir gelap, matahari sudah berada diujung barat. Membuat Meira mau tak mau harus berjalan kaki menuju rumah yang letaknya cukup jauh. Nasib memang kurang beruntung, ponsel yang lowbat tidak dapat menghubungi supir yang biasa menjemput, dan sialnya Meira meminta menjemput jika ia menghubunginya dan tidak bilang akan bimbel dulu.

Ketika Meira mulai melangkahkan kakinya menjauh dari tempat bimbel, terdengar suara deru motor yang kian mendekat dan kemudian berhenti tepat disampingnya, membuatnya sedikit kaget. "Kenapa dia berhenti?" Pertanyaan pertama kali muncul di kepala Meira.

"Ayo naik! Udah gelap," ajaknya.

Meira menggeleng. Dia tidak akan menerima tumpangan dari orang yang belum ia kenal, apalagi laki-laki. Ia cukup parno melihat berita-berita tentang penculikan anak. Namun, Meira seorang anak SMA dan orang yang mengajaknya pun anak SMA. Tidak mungkin dia akan menculik Meira, akan tetapi ia harus tetap berhati-hati.

Meira tidak mengindahkan ajakan Rezvan dan ia berjalan cepat. Ada kekhawatiran pada diri Rezvan ketika Meira lebih memilih berjalan daripada diantar pulang dengannya. Ia tahu gadis itu tidak akan menerima tawarannya. Namun, langit sudah hampir gelap dan jarang ada angkutan umum yang melintas.

Rezvan melajukan motornya pelan, tepat di depan Meira ia berhenti.

"Gue cuma bermaksud nganter lo pulang. Langit udah gelap , kalo lo nunggu angkutan umum sekarang, mana ada." Rezvan mencoba meyakinkan Meira.

Mei dan Hujan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang