DELAPAN BELAS

318 16 3
                                    

Saat bel sekolah berbunyi, Rezvan sudah menunggu Meira di depan kelasnya. Ia akan menyusun rencana untuk menemukan pelaku kematian mamanya.

Sebenarnya Rezvan tidak begitu yakin rencananya yang akan disusunnya berhasil. Tapi ia berharap pelaku bisa menerima balasan yang sepadan.

Kelas Meira belum juga bubar. Sementara kelas Rezvan sudah bubar sebelum bel berbunyi. Alhasil, ia bisa menunggu Meira.

Lima menit kemudian, satu persatu murid keluar dari kelas Meira. Rezvan terus memantau, melihat Meira keluar. Kemudian ia melihat Meira, Aldo dan Dinda keluar bersamaan. Aldo yang melihat Rezvan bersandar di tembok, seketika emosinya memuncak. Ia tahu pasti Rezvan menjemput Meira. Begitu dekatkah mereka. Aldo tidak suka keduanya dekat.

"Ngapain lo di sini?" tanya Aldo ketus. Meski ia tahu kedatangan Rezvan untuk menjemput Meira.

"Bukan urusan lo," jawab Rezvan ringan.

"Eh lo ditanya baik-baik." Aldo terlihat emosi. Orang yang ia kira anak baik-baik ternyata tidak sesuai dengan pemikirannya. Hal ini membuat kebenciannya menjadi besar apalagi Rezvan sudah mendekati Meira.

"Yuk kita pergi sekarang," ucap Rezvan pada Meira kemudian mengandeng tangannya, membawanya pergi.

"Aku duluan, ya," pamit Meira pada kedua temannya. Meira melihat ada ketidaksukaan pada wajah Aldo. Ada rasa bersalah meninggalkan kedua sahabatnya. Tapi, iapun tak bisa menolak ajakan Rezvan. Ia tahu saat ini Rezvan sedang membutuhkannya.

Ia tidak tahu alasan kenapa Rezvan meminta bantuan padanya padahal mereka tidak terlalu dekat. Meira kira Rezvan punya teman di kelasnya yang bisa membantunya. Tapi, itu tidak masalah. Selagi ia bisa, ia akan membantunya. Seperti apa yang dikatakan Ayahnya.

Rezvan tidak melepas gandengan tangan Meira saat di perjalanan menuju parkiran. Meira tidak begitu nyaman tangannya di gandeng oleh laki-laki.
"Van, malu loh diliatin orang," ujarnya berharap Rezvan melepaskan genggamannya.

Rezvan mengkerutkan dahi heran, "Kenapa?"

Meira mengangkat tangannya yang digenggam Rezvan, otomatis tangan Rezvan pun terangkat.

"Sorry," ucap Rezvan gelagapan.

"Its oke."

Sambil mempersiapkan motor, Rezvan memberitahu tujuannya.

"Gue mulai nyelidik pelakunya. Lo mau ikut kan?" tanya Rezvan dengan harapan Meira akan ikut. Sebenarnya ia bisa saja menyelidik sendiri, tapi ia rasa ia perlu bantuan seseorang. Barangkali ketika ia salah mengambil tindakan, ada seseorang yang akan mencegahnya.

Meira mengangguk dan berkata, "Rencana kamu sekarang apa?" Meira tidak begitu yakin dirinya bisa membantunya. Ia sadar tidak punya keberanian yang cukup besar.

"Gue mau ke kamar Mama, nyari bukti yang lebih kuat." Rezvan akan memulai dari tempat kejadian, mungkin di sana ia menemukan sesuatu yang menjadi bukti. Rezvan yakin ada sesuatu yang bisa ia temukan sebagai titik terang.

Meira mengangguk-anggukan kepala,"Aku harap bisa secepatnya ketemu pelakunya."

Rezvan mempersilakan Meira untuk segera naik ke motornya. Namun, Meira tetap diam dengan raut qajah yang berubah seperti orang yang bersalah.

"Lo baik-baik aja kan?" tanya Rezvan khawatir melihat Meira yang tetap diam, apalagi ada perubahan raut wajah pada Meira.

Meira teringat pelaku kematian ayahnya yaitu ia sendiri. Meski bukan sepenuhnya salahnya, tetap saja ada rasa bersalah menyelimutinya. Apalagi mamanya yang mengklaim ia sebagai seorang pelakunya. Jelas menimbulkan penyesalan dalam diri Meira.

Mei dan Hujan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang