"Darimana jam segini baru pulang?" tanya mamanya, Risa ketika Meira baru saja membuka pintu.
"Maaf Ma, Meira abis les." Meira tahu, mamanya akan marah karena tidak menuruti permintaannya agar berhenti les.
"Les pulang jam segini? Kamu bohong kan?"
"Bener Ma, Meira tadi lesnya udah sore banget, jadi pulangnya malem." Meira berusaha meyakinkan Risa.
"Alesan aja ya kamu, Mama liat kamu pulang sama cowok, abis ngapain kalian?"
"Dia nganterin Meira pulang aja kok Ma,"
"Emang ya kamu gak bisa dipercaya," ucap Risa membuat dada Meira sesak ketika mendengarnya.
"Gak usah les lagi, diem di rumah." Risa meninggalkan Meira.
Bagaimanapun, Meira tak akan mendapati kepercayaan dari mamanya. Ada rasa sakit yang semakin banyak membekas. Rasanya sulit sekali mendapat kepercayaannya lagi. Padahal Meira tidak pernah berbohong. Karena kejadiaan menyedihkan itu Meira sudah merasa tak berarti.
Setetes air mata membasahi pipi tirus Meira. Dengan cepat Meira mengusap air matanya dengan menggunakan jemarinya. Ia berjalan menuju lantai atas dimana kamarnya berada.
Meira menutup rapat-rapat pintu kamarnya. Menyimpan tasnya dan membaringkan tubuhnya di tempat tidur berukuran cukup kecil, hanya muat untuk seorang. Ia memang sengaja tidak menggantinya. Selain masih bisa dipakai, kasur itu menyimpan kenangan dengan ayahnya. Ia menatap langit-langit kamar. Putih, bersih seperti hati papanya. Meira jadi teringat kenangan dengan papa. Dulu ia begitu menjadi anak yang bahagia. Mendapati kasih sayang orang tua sepenuhnya.
Ketika hendak tidur, papanya selalu menceritakan dongeng penghantar tidur. Meira tipe orang yang susah tidur, apalagi jika ia tidur sendirian. Kehilangan ayahnya, mau tak mau Meira harus tidur tanpa dongeng-dongeng yang membuatnya pulas.
Ah kenangan itu, tak pernah benar-benar menghilang. Tak apa, Meira selalu menunggu kehadirannya. Sudah lama ayahnya tidak lagi ada hadirnya di sela tidur malam. Hanya kenangannya saja. Itu cukup membuat rindunya semakin memberontak ingin menemui temu. Apa harus mati dulu agar Meira bisa bertemu?
Setetes cairan bening kembali membasahi pipi Meira. Meira menghela napas berat. Ia merasa badannya sangat lengket mengingat ia belum membersihkan diri. Meira pun bangkit dan menuju kamar mandi. Membasahi tubuhnya dengan air hangat. Berharap beban yang dipikulnya sedikit ringan.
Kini tubuh Meira telah segar. Ia tengah mengeringkan rambut dengan hair dryer. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Selesai mengeringkan rambut, Meira menutupi telinganya dengan earphone. Mendengarkan alunan lagu menenangkan sambil tiduran di kasur. Membawanya pada ketenangan yang selama ini sulit didapat.
Meira merasakan perutnya lapar. Ia belum makan nasi dari pagi. Saat di kafe pun hanya beberapa suapan yang ia makan. Meira bangkit, melepas earphone yang menempel ditelinganya kemudian teringat sikap mamanya membuatnya mengurungkan niatnya mengambil makanan. Jam segini mamanya pasti sedang menonton televisi. Itu artinya Meira harus melewati mamanya untuk pergi ke dapur. Meira butuh tenang, bukan lagi makian. Meira yakin jika dirinya ke bawah, sederet pertanyaan dan makian keluar dari mulut sang mama.
Meira kembali menyumpal telinganya dengan earphone, memutar lagu sendu dan menarik selimut. Memejamkan mata berharap segera menemui alam bawah sadar. Tapi rasa sakit di perutnya tetap saja menganggu. Sudah beberapa kali mengatur posisi tidurnya namun tak membuat matanya terpejam.
Terdengar suara ketukan pintu meski telinga tertutup earphone. Meira menyadari mamanya akan kembali memberikan ceramah yang hanya membuat emosinya memuncak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mei dan Hujan (REVISI)
Novela JuvenilPerempuan penuh luka dan derita. Membenci hujan setelah kematian sosok yang dicintainya. Sebut saja, Meira. Ia bertemu dengan seseorang yang berusaha menyembuhkan luka. Apakah berhasil dan siapa orang itu?