"Semalam lo gak papa kan?" tanya Rezvan ketika ia tiba di depan rumah Meira.
"Lah lagi ngapain kamu disini?" Bukannya menjawab, Meira malah balik bertanya. Meira cukup terkejut melihat Rezvan berada di depan rumahnya.
Tanpa ada aba-aba, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Rezvan sedang bersender pada motornya sembari nunggu Meira keluar.
Meira cukup terkejut melihat Rezvan berada di depan rumahnya.
"Gue jemput lo," ucap Aldo. "Yakin lo gak papa? Semalam hujan gede dan keadaan lo pasti kayak dulu," tanya Rezvan meyakinkan.
Ketika hujan mengguyur bumi, pikiran Rezvan langsung teringat pada Meira. Jujur saja, Rezvan sangat khawatir dengan keadaan Meira ketika hujan. Ia tahu, betapa rapuhnya Meira ketika mendengar suara hujan. Ia tahu bahwa Meira sangat takut pada hujan. Betapa terlukanya gadis itu ketika hujan turun. Apalagi pada saat malam hari, Rezvan takut Meira akan melukai dirinya sendiri.
"Iya Rezvan, aku gak papa kok." Meira kembali meyakinkan Rezvan. Meira menampilkan senyum terbaiknya. Ia tidak mau membuat orang lain khawatir. Ia tidak mau dikasihani. Cukup ia saja yang merasakan luka yang selama ini ia terima.
"Yaudah yuk berangkat," ajak Rezvan.
"Yuk." Meira menaiki motor Rezvan dan mereka melesat menuju SMA Garuda.
Sebenarnya Rezvan tahu Meira berbohong. Ia tahu pasti Meira akan seperti yang ia temui ketika hujan. Meira pasti akan menangis histeris.
Kejadian ketika hujan dulu pasti terulang kembali tadi malam.
***
"Pinjem hp lo," kata Rezvan setibanya mereka di sekolah. Sekarang mereka sedang berjalan menuju kelas mereka yang ada di lantai dua."Buat apa?" tanya Meira.
"Apa aja."
"Ih Rezvan buat apa? Yaudah gak bakal aku kasih," tanya Meira.
"Sini aja dulu," jawab Rezvan.
Ragu-ragu Meira menyodorkan benda pipih itu kepada Rezvan. Diambilnya ponsel itu oleh Rezvan dan ia memasukkan nomor teleponnya lalu mem-miscol nomor tersebut. Alhasil menyebabkan ponselnya bergetar. Setelah itu ia menutup sambungan telepon dan mengembalikan ponsel Meira kepada pemiliknya.
"Kamu nyimpen no hp aku?" tanya Meira polos.
"Bukan gue tapi lo," jawab Rezvan yang membuat Meira termenung.
"Kalo lo ketakutan atau lo butuh gue, hubungi aja nomor gue." Meira hanya tersenyum kemudian menangguk.
Tak terasa langkah mereka telah sampai di koridor kelas sepuluh. Mereka terpisahkan oleh belokan.
"Udah nyampe. Masuk gih, jangan mikirin gue ya," kata Rezvan.
Meira memutarkan bola matanya jengah. Kemudian ia berbelok ke sebelah kanan sedangkan Rezvan ke sebelah kiri. Senyuman mengembang di wajah mungil cewek itu.
Dari belakang, seseorang tengah memperhatikan Meira dan Rezvan. Tangannya mengepal melihat kedekatan mereka, apalagi ketika melihat Meira tersenyum karena cowok itu.
Entah mengapa, ada ketidaksukaan ketika Meira dekat dengan cowok selain dirinya. Apa ini artinya cemburu? Lantas apakah Aldo pantas merasa cemburu sedangkan ia tidak ada hak untuk cemburu?
Setelah Rezvan menghilang di belokan, Aldo segera mempercepat langkahnya, menyusul Meira.
"Abis ngapain lo sama Rezvan?" tanya Aldo to the point.
Senyuman Meira luntur ketika mendengar pertanyaan dari Aldo. "Berangkat barenglah."
"Pulang sekolah bareng gue," ajak Aldo yang menampilkan ekspresi datar. "Oh ya, gue gak nerima penolakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mei dan Hujan (REVISI)
Fiksi RemajaPerempuan penuh luka dan derita. Membenci hujan setelah kematian sosok yang dicintainya. Sebut saja, Meira. Ia bertemu dengan seseorang yang berusaha menyembuhkan luka. Apakah berhasil dan siapa orang itu?