“Dia siapa Rev?" tanya Meira setenang mungkin padahal air matanya sudah luruh membasahi pipi.Pernyataan perempuan di sebelah seorang lelaki menohok hati gadis mungil itu. Berkali-kali mengenyah dan ia memastikan bahwa ini semua hanyalah mimpi. Tapi ini semua terasa nyata. Kenapa semesta menumpahkan kesedihan hanya padanya. Tak cukupkah dulu ia begitu menderita. Kenapa ketika ia mendapatkan kebahagiaan, semesta seakan tak setuju? Kenapa, kenapa yang gadis itu pertanyakan namun tak pernah ia dapatkan jawabannya.
“Dia mantan aku.” ucap sang lelaki dengan tatapan tak berbohong.
Meira menggeleng, ia tidak semudah itu untuk percaya. Bagimana ia percaya, perempuan itu tak menampakkan kebohongan dalam perkataanya. Bahkan ia sama sendunya dengan Meira.
“Mantan kamu bilang? Bahkan diantara kita gak pernah bilang putus.“ Gadis luruh terduduk lemas di bawah guyuran hujan.
“Terus kemana kamu selama ini? Kenapa kamu kembali ketika aku sudah menemukan penggantimu?”
Perempuan dengan penampilan tak karuan, rambut berantakkan dan wajah pucat itu terdiam. Tangisnya semakin pecah.
“Dan aku udah mutusin kita gak ada hubungan apa-apa semenjak kepergianmu.” Jelas sudah Rezvan memutuskan hubungannya dengan gadis itu.
“Semudah itukah?” tanya gadis itu lirih.
Rezvan terlihat mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan. Bagaimana bisa gadis itu kembali setelah ia menemukan yang baru. Padahal ia menanggap gadis itu sudah jauh dari hidupnya.
“Kenapa datang setelah lama menghilang? Kamu tak aku hampir prustasi nyari kamu. Setelah aku memenemukan pengganti, kenapa datang dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?"
Mendengar ucapan Rezvan, Sasha terdiam. Air matanya kembali luruh membasahi pipinya. Sedang, Meira merasa tertusuk mengetahui bahwa Meira adalah pengganti. Apakah karena itulah Rezvan mendekatinya?
“Ini semua gara-gara perempuan itu kan? Perempuan yang udah bikin kamu lupain aku secepat ini.” Telunjuk Sasha mengarah pada Meira yang terdiam lesu.
“Jangan pernah libatin dia!” perintah Rezvan meninggi. Ia tak suka ada orang yang melibatkan Meira dalam setiap masalahnya.
"Berhenti!" Meira sudah tak tahan mendengar pertengkaran mereka. Ia merasa semakin bersalah. Kuku-kukun jemarinya memutih, tangannya bergetar dan nafasnya naik turun.
Meira menghampiri Rezvan dan perempuan itu. Kemudian berkata, “lanjutin hubungan kalian.”
“Gak Mei, aku gak mau putus sama kamu. Ini salah paham, aku gak ada hubungan apa-apa sama dia,” sergah Rezvan.
“Apa kurang jelas yang dikatakan perempuan itu?” ucap Meira keras.
“Kamu lebih percaya dia daripada aku?”
Meira diam, ia kembali luruh. Entah siapa yang harus ia percaya. Dibandingkan dengan guyuran hujan, kenyataan yang terjadi lebih menyakitkan baginya.
Meira berlari menjauhi mereka. Ia seret kakinya kemanapun asalkan tidak bertemu dengan dua orang itu lagi. Hatinya belum siap menerima, apalagi harus kehilangan orang yang selama ini menemani hari-harinya.
Ya, sama halnya dengan Rezvan ia tak mau mengakhiri hubungan mereka. Namun, entah mengapa perkataan itu keluar dari mulutnya. Bukan kata “putus” yang terlontar. Tapi kalimatnya sudah mewakili kata putus disana.
Meira masih menyayangkan hubungan yang di jalinnya selama kurang lebih satu tahun. Selama itu hubunganya baik-baik saja. Bahkan pertengkaran pun tak pernah berselang lama. Lalu, haruskan hubungan manis mereka berakhir tragis. Rezvan yang melanjutkan hubungan yang sempat dengan wanita lain dan Meira kembali menyendiri ataukah mereka bisa memperbaiki hubungannya?
----
I know ini udah kali keberapa ganti prolog. Tapi semoga ini awal yang baik buat cerita ini.See you di chapter berikutnya, sobat bacaku.
Ig: @melisarahmaa
KAMU SEDANG MEMBACA
Mei dan Hujan (REVISI)
Ficção AdolescentePerempuan penuh luka dan derita. Membenci hujan setelah kematian sosok yang dicintainya. Sebut saja, Meira. Ia bertemu dengan seseorang yang berusaha menyembuhkan luka. Apakah berhasil dan siapa orang itu?