Dua jam telah Meira habiskan untuk kembali belajar matematika yang semula diajarkan sekolah. Sebenarnya ia tak betul-betul belajar, karena pikirannya terus melayang pada Rezvan. Hingga tak sadar langit telah menghitam sempurna.
Menghela napas pelan, Meira berjalan ke depan tempat les yang langsung menghadap jalanan yang cukup sepi. Keadaan sekitar cukup sepi, membuat kaki Meira terus melangkah menjauhi tempat semula ia pijaki. Mencari angin malam setelah lelah dengan keadaan.
Semilir angin menambah rasa tenang pada diri Meira. Masalah-masalah yang menumpuk, perlahan mulai mereda. Lelah yang menemaninya, kini terganti dengan ketenangan. Matanya berbinar melihat lampu jalanan yang memancarkan sinarnya. Tak dipungkiri, jarang sekali Meira seperti ini. Malam-malam, sendirian di jalanan. Biasanya ia menghabiskan malam dengan mengerjakan tugas atau sekedar membaca novel.
Kini, Meira begitu menikmati pekatnya malam. Meski belum malam sempurna, namun cukup untuk seorang gadis yang selalu menghabiskan diri di kamar.
Waktu yang ditempuh untuk tiba di jalanan besar kurang lebih hanya lima belas menit. Akan tetapi, karena Meira begitu menikmati setiap langkahnya, untuk menempuh jarak setengah kilometer, cukup lama.
Meira melupakan sesuatu. Sesuatu yang akan mengancamnya. Bagaimana tidak, Meira harus melewati beberapa preman yang biasa nongkrong di tempat sepi. Tak lama, kakinya akan melangkah mendekati para preman itu.
Dada gadis itu naik turun, kakinya lemas seketika, badannya akan ambruk sebentar lagi. Meira tak tahu harus bagaimana. Memutar balik atau terus melanjutkan langkah.
Menghela napas pelan, Meira melakukan aksi nekatnya. Perlahan langkahnya kembali menyusuri jalanan sepi. Nampak, tiga orang preman sedang bermain uno.
Meira mempercepat langkah kakinya. Cepat namun terlihat tenang. Ia tak ingin menganggu konsentrasi para preman yang akan berujung pada nyawanya.Namun, rupanya salah satu preman melihat Meira. Ia memberi kode kepada dua preman lainnya. Berdirilah mereka dan mengejar Meira yang tak jauh di depannya.
Meira yang mendengar gerak-gerik para preman, segera mempercepat larinya. Ia berlari sekuat tenaganya.
Secepat apa perempuan berlari, akan kalah dengan seorang laki-laki. Kini para preman itu sudah berada disebelahnya.
"Hai cantik, mau kemana malam-malam begini?" tanya seorang preman berkepala botak.
Meira ketakutan. Kakinya sudah lemas, matanya sudah panas.
"Mau abang anter gak neng?" tanya seorang preman yang rambutnya kriting.
Meira tidak memperhatikan mereka, ia ingin berlari tetapi kakinya begitu lemas.
Tangan seorang preman hendak memegang pundak Meira, namun cepat-cepat Meira menepis tangan kotor itu.
"Eh gak usah galak gitu dong, cantik."
Demi apapun, Meira jijik."Tolong... tolong," teriak Meira kencang. Bukannya takut, para preman malah tertawa.
"Gak akan ada yang denger sekenceng apapun teriak." Para preman itu kembali tertawa. Menertawakan kebodohan Meira.
Tangan preman berambut kriting mulai memegang rambut Meira. Segera menepis tangan itu namun tangan Meiralah yang dipegang oleh preman itu. Meira memberontak. Tetapi, tenaga Meira tak sebanding dengan tenanga preman itu.
Air mata Meira mengalir deras. Napasnya memburu tak beraturan. Ketakutannya begitu besar. Tak henti-hentinya ia berteriak. Berharap akan ada orang yang menolongnya.
Dua preman lainnya ikut memegangi tangan Meira. Kemudian mereka tertawa melihat ketakutan Meira.
BRUG!!
Dua preman itu ambruk ke tanah bersamaan dengan suara motor. Seorang cowok segera turun dari motornya namun tak melepaskan helmnya. Preman yang semula memegang tangan Meira kini melawan cowok itu. Satu pukulan berhasil di tangkis oleh cowok itu. Kemudian ia melayangkan pukulan pada perut preman. Preman itu ambruk.
Dua preman tadi bangkit dan hendak menghajar cowok itu. Namun, segera cowok itu menghindar. Kaki cowok itu menendang dada kedua preman itu satu persatu.
Merasa kalah, ketiga preman itu lari terbirit-birit. Sedangkan tak jauh dari cowok itu, Meira menekuk lututnya ketakutan. Ia segera dihampiri gadis itu.
"Lo gak papa?" tanya cowok itu dibalik helm full facenya.
"Kamu siapa?" Seakan masih ada ketakutan, Meira bukannya berterima kasih, malah menanyakan siapa diri yang telah menolongnya.
Cowok itu melepaskan helmnya dan tersenyum pada Meira.
"Aldo?"
"Lo ngapain malem-malem di sini?"
"Les," jawab Meira dengan suara gemetar.
"Kenapa pulang jam segini? Bahaya tau gak lo lewat jalan ini, cewek, malem-malem, sendirian lagi." omel Aldo. Ya, Aldo khawatir pada Meira. Jika saja ia datang telat sedikitpun, entah bagaimana nasib Meira sekarang.
"Makasih ya," ujar Meira.
"Gue anter pulang," ujar Aldo kemudian berjalan ke motornya.
Meira mengikuti Aldo. Tak menolak karena iapun masih ketakutan.
Kemudian mereka melesat melepaskan ketakutan Meira. Dingin menyelimuti Meira yang hanya memakai seragam sekolah, sedang Aldo memakai jaket tebal. Tidak seperti film romantis, ketika si cowok akan memberikan jaketnya pada cewek yang kedinginan. Tidak, tidak ada perlakuan spesial karena memang tidak ada hubungan spesial diantara mereka.
Kesunyian menemani Meira ketika dirinya dibawa melesat menemui keramaian. Motor Aldo berhenti di sebuah kafe.
"Lo laper kan?" tanya Aldo setelah melepaskan helmnya.
Meira diam, ada ketakutan pada dirinya. Sepertinya pengunjung kafe begitu banyak dan Meira yakin akan banyak orang yang memperhatikannya.
Aldo menarik tangan Meira memasuki kafe yang tidak begitu besar. Tadinya Aldo akan membawanya ke kedai kopi tempatnya bekerja, namun sepertinya Meira akan merasa tidak nyaman sebab banyak orang disana.
Dugaan Meira salah, ternyata kafe nampak sepi. Hanya ada beberapa orang yang mengisi meja, dan tentunya tidak ada yang memperhatikannya.
Mereka memilih meja yang berada di pojok. Meira butuh ketenangan, setidaknya jauh dengan orang-orang membuatnya sedikit tenang. Harusnya sih ke tempat yang sepi pengunjung, tapi karena Meira belum makan, Aldo membawanya ke sebuah kafe.
"Kok diaduk-aduk aja makanannya?" tanya Aldo melihat Meira hanya mengaduk-aduk makanannya tanpa ia makan. Sedangkan ia sedang melahap makanan yang dipesannya.
Meira menggeleng, gadis itu menyembunyikan sesuatu.
"Gak usah mikirin yang tadi. Emang gue itu pahlawan paling hebat," aku Aldo dengan tampang sombongnya.
**
"Makasih ya Do," ucap Meira setelah turun dari motor Aldo."Sana masuk, yang tadi jangan terlalu dipikirin," titah Aldo. Meira mengangguk sambil tersenyum.
"Gue pamit ya, besok-besok gak usah pulang sendiri kalo malem tuh, bahaya lu kan cewe. Untung gue cepet kan datangnya, kalo gak udah abis kan lo," omel Aldo membuat Meira memutar bola matanya.
"Iya iya. Hati-hati!" ucap Meira ketika motor Aldo melesat menjauhi Meira bersamaan dengan angin malam yang membelai tubuh mungil Meira.
Menarik napas kasar, Meira memasuki rumah dengan perasaan sedikit takut. Namun, Meira sudah siap menerima segala omelan ibunya yang tidak pernah absen di telinganya.
***
Hallo guys, udah lama nih gak nyapa kalian di lapak ini. Maaf lama menghilang. Akhir-akhir ini rasanya males banget buat nulis.
Gimana part ini?
Kasih bintangnya, dong!
Typo bantu koreksi, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Mei dan Hujan (REVISI)
Novela JuvenilPerempuan penuh luka dan derita. Membenci hujan setelah kematian sosok yang dicintainya. Sebut saja, Meira. Ia bertemu dengan seseorang yang berusaha menyembuhkan luka. Apakah berhasil dan siapa orang itu?