LIMA

405 25 4
                                    

Mata Meira tak henti-hentinya memandangi karya-karya seni yang menurutnya sangatlah indah. Ada karya dua dimensi dan tiga dimensi, yang semua sangat menggiurkan untuk dibawa pulang. Ada lukisan seperti lukisan bunga, kehidupan masyarakat tradisional hingga masyarakat modern. Jika saja pameran ini bersifat komersial, pasti sudah Meira bawa pulang semua.

Setelah satu jam berkeliling, Meira menemukan sebuah lukisan yang menarik perhatiannya. Sebuah lukisan dengan aliran abstraksionisme membentuk bumi yang diatasnya terdapat seorang wanita, duduk menyendiri. Meira rasa lukisan itu mirip dengan hidupnya. Sendiri, bahkan ia mengasingkan diri di langit. Dunia seperti tidak mau menerimanya lagi. Dia sudah tidak berarti. Hidupnya abstrak, abu-abu, dan tidak jelas. Meira jadi tertarik untuk memilikinya. Iapun langsung menghampiri seniman yang baru saja selesai wawancara dengan apresiator.

"Permisi Pak, saya Meira. Maaf mengganggu sebentar. Apa pameran yang diadakan bersifat komersial?"

"Untuk pameran kali ini, tim penyelenggara mengadakan pameran dengan tujuan kemanusiaan, dengan harapan karya-karya yang kami pamerankan dapat menambah nilai-nilai budaya."

"Saya liat lukisan Bapak sangat bagus, saya tertarik untuk membeli lukisannya. Apakah saya bisa membelinya?"

"Silahkan datang toko lukisan saya di daerah Bundaran HI. Disana saya menjual berbagai lukisan."

Meira mengangguk dan pamit untuk pulang. Sedikit kecewa karena tidak bisa mendapatkan lukisan yang ia inginkan.

------

Sang fajar telah berada di ujung barat, menciptakan warna merah bercampur ungu; lembayung. Meira melirik arjoli, jarum panjangnya sudah menunjukkan pukul enam sore. Memang benar, waktu berputar begitu cepat, apalagi ketika kita sedang bahagia.

Terlalu memanjakan diri dengan karya seni rupa, membuat Meira tak menyadari akan keadaan Rezvan. Tunggu, bukannya tadi dia di sampingnya? Lalu kemana dia? Apa dia pulang duluan? Bagaimanapun dia harus bertanggung jawab atas keberadaan Meira disini. Maksudnya, dia kan yang membawa Meira ke sini, dia juga harus membawanya kembali.

Meira pun merutuki diri yang terlalu asik memanjakan mata dengan karya-karya, hingga melupakan sosok laki-laki itu. Bagaimana jika dia telah pulang karena terlalu bosan menungguku? Waktu sudah hampir gelap, Meira harus segera pulang, tapi bagaimana dengan Rezvan?
Ekor mata Meira terus saja mencari sosok Rezvan, kakiku terus melangkah mencari keberadaannya. Hatinya tidak karuan. Bagaimana jika Rezvan mengerjainya dan dia pulang duluan? Otaknya mencoba berpikir positif, namun pikiran negatif terus saja memenuhi kepala.

Setengah jam sudah Meira mengelilingi semua stand, berharap menemukan sosok yang terus menghantui pikiran. Ia menyerah. Sepertinya memang Rezvan mengerjainya. Tidak kusangka, dia yang Meira pikir orang baik ternyata tak sebaik yang Meira pikirkan. Hatinya bagaikan ditusuk seribu duri. Tak terasa, sebulir air mata menetas. Segera ia usap. Tidak pantaskan seorang wanita menangisi laki-laki hanya karna hal sepele. Tidak, ini tidak sepele. Bayangkan saja, dia yang mengajak Meira kesini dan dia meninggalkan. Jika masih siang tidak masalah, ini sudah hampir malam dan Meira ditinggalkan sendirian, keterlaluan.

Meira menulusuri jalan, tidak sedikitpun berniat mencari taksi. Keadaan hati memang sedang memburuk dan Meira butuh sendiri. Menenangkan atau menangisi hati. Harusnya ia tidak terlalu percaya kepada laki-laki. Seandainya Meira tidak menerima ajakannya, mungkin tidak akan seperti ini. Seandainya saat bel ia langsung pulang, mungkin ia sedang berbaring di kamar dengan setumpuk novel. Perandaian-perandaian yang mengakibatkan penyesalan.

Langit sudah menghitam sempurna, Meira terus melangkahkan kaki yang terasa berat, menjauhi dunia. Entah sekarang Meira ada dimana, ia tak peduli. Sekalipun ada yang menculiknya pun ia tidak peduli. Ia hanya ingin sendiri.

Semakin jauh, kakinya mulai lelah. Meira berhenti lalu bersandar di dinding, kemudian tubuhnya luruh, jatuh terduduk. Sebetulnya masalahnya sepele, namun hati ini belum menerima perlakuannya.

Suara motor yang berhenti di depan Meira, membuatnya yang semula menunduk kini mengangkat kepalanya. Ia melihat seorang tengah melepaskan helm. Aldo, cowok itu menghampiri Meira dengan kebingungan.

"Meira, lo ngapain disini?" tanyanya namun tidak di jawab oleh Meira. Hal itu membuat Aldo bingung terlebih wajah Meira yang terlihat sedang menangis.

"Mei, lo gak papa kan?" tanyanya lagi.

Meira hanya menggeleng. Ia tidak ingin bicara dengan siapapun.
Aldo segera menghampiri Meira. Dengan gerakan tiba-tiba, Aldo memeluknya. Seketika Meira terkejut, namun ia tetap diam.

"Lo boleh pake pundak gue buat numpahin air mata lo." Tangis Meira kembali pecah.

Sekitar lima menit Meira menangis dipelukan Aldo. Ini kedua kalinya ia menangis dipelukan laki-laki. Meira merasa lega berbagi masalah dengan orang lain.

"Sekarang kita pulang ya?" ajak Aldo begitu lembut.

Meira mengangguk, karena iapun ingin pulang. Hatinya terluka dan raganya lelah. Sebelum mereka pulang, Aldo memberikan jaketnya kepada Meira. Awalnya Meira menolak, namun Aldo tetap bersikukuh. Mau tak mau Meira harus menerimanya, lagi pula udaranya juga dingin.

Tunggu, tadi siang Rezvan menghampiri Meira dan menenangkannya ketika sedang menangis. Sekarangpun Aldo melakukan hal yang sama. Rezvan memberikan jaketnya dan Aldopun melakukannya. Apakah ini semesta? Kenapa engkau memberikan kejadian yang sama dengan dua orang sekaligus.

***
Meira cengeng ya, kalian pun kalau di posisinya bakal gitu kayaknya.

Mohon maaf chapter ini pendek. Tapi semoga kalian suka, ya.

Jika kalian suka, boleh tekan bintangnya.

Kritik dan saran terbuka kok untuk siapa aja.

Bantu aku koreksi typo, ya.

Terima kasih sudah membaca chapter ini.

Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Mei dan Hujan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang