Meira mengalihkan pandangannya ke pintu kantin. Matanya menyipit dan keningnya berkerut. Ia melihat Rezvan nampak menahan amarah.
Seketika mata mereka bertemu namun hanya beberapa detik. Kemudian Rezvan membalikkan badan dan berjalan begitu cepat dengan tangan mengepal.Meira semakin dibuat bingung. Ia merasa sikap yang ditunjukkan Rezvan itu bertuju padanya. Namun, ia pun merasa tidak ada ikatan apa-apa antara mereka sehingga tidak memungkinkan sikapnya tertuju padanya.
"Lo lagi liatin siapa si Mei, bengong gitu?" tanya Dinda penasaran."Eh enggak kok," jawab Meira.
"Lagi mikirin gue ya?" tanya Aldo dengan wajah bak detektif, "emang ya wajah ganteng gue selalu jadi pikiran orang." Aldo memamerkan wajah tampannya
"Mikirin kenapa level kepedeanmu itu kenapa tinggi," kata Meira yang membuat ia dan Dinda tertawa.
"Harus pedelah punya wajah ganteng," sergah Aldo.
"Percuma ya lo ganteng tapi kerjaannya nyakitin banyak cewek."
"Gak papalah, nanti mah kalo gue udah nikah gak mungkin gue nyakitin banyak cewek."
"Seharusnya cowok itu menjaga ceweknya bukan malah nyakitin," tukas Dinda.
Meira hanya menjadi penonton perdebatan Dinda dan Aldo. Begitu mereka, selalu saja bertengkar bahkan karena hal-hal kecil. Sebegitu dekatnya mereka. Dari kecil hingga sekarang mereka selalu bersama. Hanya saja ketika masuk SMA, tempat duduk di kelas mereka terpisah karena jika disatukan mereka layaknya kucing dan anjing. Selalu saja bertengkar. Meski begitu mereka selalu menjaga satu sama lain.
***
"Deketin, jangan, deketin, jangan, deketin, jangan, deketin, jangan?" Rezvan menghitung jemarinya.
"Argh!"
"Gak! Dia cuma mirip Sasha, gue gak harus samakan dia sama Sasha ...," ujarnya kemudian terhenti, "dan gue gak harus menyimpan rasa sama dia."
Namun, hati Rezvan menginginkan Meira. Bukan karena ia mirip Sasha-pacarnya dulu-. Sejak awal bertemu hingga beberapa kali mereka bertemu, Rezvan tidak menganggapnya sama dengan mantan pacarnya, ralat; pacar yang meninggalkannya tanpa alasan. Entah sebutan apa yang pantas untuk Sasha karena jika pacar ia telah meninggalkannya dua tahun lalu, jika mantan, tidak ada kata putus diantara mereka.
***
Meira masuk ke ruangan yang tidak terlalu besar dan langsung duduk di kursi tempat biasa ia duduki. Disana sudah ada beberapa orang yang akan memulai aktivitas seperti Meira.Setelah menyiapkan alat tulis, Meira termenung-karena memang belum ada guru masuk- memikirkan Rezvan yang bersikap aneh, atau memang dugaannya saja.
Matanya beralih tatkala suara langkah kaki terdengar. Mata mereka bertemu dan cepat-cepat Meira mengalihkan pandanganya pada buku diatas meja.
Rezvan berjalan melewati Meira dan duduk dibelakangnya. Ia mengeluarkan buku dan pulpen kemudian menuliskan beberapa kata disana. Lalu ia merobek dan menjatuhkannya bulatan kecil. Rezvan melempar gulungan kertas tersebut ke meja Meira.
Meira yang sedang menulis, kebingungan ketika sebuah gulungan kertas mendarat di hadapannya. Ia mengambil gulungan kertas tersebut dan memperhatikannya beberapa detik.
Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Takut-takut gulungan kertas itu bukan untuknya yang tak sengaja malah salah sasaran ke mejanya. Namun, tak ada raut-raut wajah yang melihatnya seperti itu.
Perlahan Meira membuka gulungan kertas tersebut dan mendapati sebuah kalimat.Pulang bimbel gue anter lo pulang.
Kening Meira berkerut ketika membacanya. Ia masih bingung siapa orang yang melemparnya. Ia tidak mengenal teman-teman bimbelnya kecuali Rezvan dan cuma Rezvan yang tau rumahnya.Seriously? Rezvan yang ngajak?
Meira memutarkan kepalanya ke belakang. Dilihatnya Rezvan yang sedang menulis. Ia ingin menanyakan, namun kedatangan guru mengurungkan niatnya.Ia kembali menghadap ke depan. Matanya tertuju pada seorang guru yang sedang menjelaskan Invers. Namun, pikirannya berkeliaran kemana-mana.
Setelah dua jam memaksakan otak untuk berpikir, Meira berjalan keluar menjauhi ruangan itu. Dia masih ingat isi kertas yang berada di atas mejanya. Ia ingin tahu, setelah ia keluar adakah orang menghampiri dan mengajaknya pulang.
Meira terus berjalan hingga tiba di depan tempat bimbel. Tidak ada orang yang mengajaknya pulang. Ia berasumsi bahwa gulungan kertas yang ia dapatkan bukan untuknya.
Akan tetapi, ketika Meira menunggu sebuah taksi, dari arah belakang, sebuah sepeda motor berhenti disebelahnya."Ayo naik!" perintah seorang cowok dibalik helm full-pace.
Meira terpaku sejenak. Pikirannya bimbang. Mereka tidak terlalu dekat tapi Rezvan mengajaknya pulang bareng seakan mereka punya kedekatan.
Hatinya bersuara untuk menerima perintahnya tapi otaknya berpikir untuk menolaknya. Ia jadi teringat seorang guru pernah berkata, "ikuti kata hati, sebab hati tak pernah berbohong."
Diliriknya Rezvan yang sedang memperhatikannya. Kemudian cowok itu menangguk lalu dibalas anggukan oleh Meira. Ia naik ke motor Rezvan. Lalu mereka melesat membelah jalanan ibu kota.
Motor itu berhenti di sisi jalan disebelahnya banyak pedagang kaki lima. Meira turun dengan keheranan. Apa yang akan dilakukan Rezvan? Jangan-jangan Rezvan menurunkannya disini. Tidak, Rezvan itu anak baik. Tapi untuk apa Rezvan berhenti di pinggir jalan.
Rezvan membuka helmnya dan ikut turun. Kemudian mengenggam tangan mungil Meira dan berjalan ke pedagangan ketoprak. Meira melirik pergelangan tangannya yang digenggam oleh Rezvan. Kemudian menatap Rezvan yang sedang menatap lurus ke depan. Senyuman terbit di bibir tipis Meira. Kemudian pandangannya lurus ke depan. Sedangkan Rezvan yang kemudian menatap senyuman Meira. Ada kebahagiaan baginya. Perlahan perasaan sukapun menghampiri keduanya.
"Bang, dua ya," pesan Rezvan yang dibalas anggukan oleh pedagang ketoprak itu.
"Kita makan dulu, ya," ujar Rezvan memecahkan kebingungan Meira.
Meira hanya mengangguk tak membantah perkataannya."Maaf, gue gak bisa ajak lo makan ditempat yang mewah. Gue harap lo bisa makan di sisi jalan gini," ucap Aldo terkekeh.
"Aku udah biasa kok makan ditempat gini," balas Meira.
Rezvan menghela napas lega. Akhirnya ia tidak salah bertindak. Namun, ia tetap merasa bersalah telah bertindak seperti ini. Ia merasa ini terlalu cepat mendekati gadis itu.
Lima menit kemudian pesanan mereka datang.
"Silahkan dimakan Mei."
Meira menangguk dan mulai menyantap ketoprak. Ia nampak jaim makan bersama orang lain. Sesekali mata Rezvan memperhatikan Meira makan. Ia tersenyum lega, nampaknya Meira tak merasa malu makan di tempat ini.***
"Makasih atas tumpangannya," kata Meira ketika ia sudah turun dari motor.
"Gue yang harusnya bilang terima kasih karena lo udah mau nerima ajakan gue." Bibir Rezvan melengkung yang menampilkan lesung pipitnya.
Seperti ada ribuan kupu-kupu hinggap di perutnya. Wajahnya bersemu merah dan senyuman terbit di bibirnya.
"Gue balik," ujar Rezvan.
"Hati-hati."
Motor itu melesat menjauhi Meira. Ia masih memandang punggung pemilik motor itu yang sukses membuat perasaan asing hinggap dihatinya. Perlahan suara deru motor itu tidak terdengar. Dengan perasaan senang-yang tidak bisa dijelaskan- Meira memasuki rumahnya. Senyuman tak hilang darinya sebelum pintu rumahnya itu terbuka.
***
Terima kasih sudah membaca chapter ini.Semoga kalian suka, ya.
Jika kalian suka, sila di tekan bintangnya.
Sampai ketemu di chapter berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mei dan Hujan (REVISI)
Fiksi RemajaPerempuan penuh luka dan derita. Membenci hujan setelah kematian sosok yang dicintainya. Sebut saja, Meira. Ia bertemu dengan seseorang yang berusaha menyembuhkan luka. Apakah berhasil dan siapa orang itu?