14 - Collapse

874 130 75
                                    

"Kau dimana sekarang?"

"..."

"Aku ingin bertemu denganmu"

Perth, pemuda itu mendecih keras, ia duduk di ranjangnya yang sempit sambil menatap bayangannya di depan cermin. Sebelah tangannya membolak-balik lembaran halaman majalah yang sudah usang, sementara tangan yang satunya memegang ponsel yang menempel di telinganya.

"Kau ingin bertemu?"

"Ada yang ingin aku katakan tentang--"

"Kau bisa mengatakannya sekarang", Perth memotong dengan cepat ucapan pria di ujung telepon sana.

"Tidak. Aku ingin mengatakannya langsung.."

"Hanya semalam dan kau sudah berubah pikiran?", seringai tipis tergambar jelas di wajah tampan Perth.

"Aku masih ingat kemarin kau terus--"

"Tidak usah banyak bicara! Aku ingin bertemu langsung denganmu! Sekarang!"

Perth berdiri dari duduknya, berjalan menuju jendela kecil di dekat kepala ranjang yang tertutup tirai lalu menyingkap tirai berwarna putih itu, membuat cahaya matahari masuk ke dalam retinanya. Ia mendengar dengusan samar dari pria yang memintanya untuk bertemu.

"Cepat temui aku sebelum aku benar-benar berubah pikiran untuk tidak mengatakannya padamu!"

"..."

"Aku akan kirim alamatnya! Jika kau tidak datang, maka sampai mati pun aku tidak akan pernah memberitahumu!"

Perth terdiam, mencoba mencerna permainan seperti apa yang tengah ditawarkan orang itu padanya.

"Kau mengerti?"

"..."

"Aku menunggumu!"

Lalu sambungan telepon itu terputus.

Perth melihat layar ponselnya yang berlatar warna hitam. Tak lama satu pesan muncul memuat alamat sebuah kafe yang terletak di pusat kota. Perth hanya mematung menatap hamparan gedung yang tersaji di depan matanya namun bukan semata sedang menimbang apakah ia harus pergi menemui orang itu atau tidak. Ia hanya sedang berpikir, setelah bertahun-tahun terjebak dalam labirin masa suram, akhirnya sebentar lagi ia akan mengetahui siapa dalang dibalik tumpukan mimpi buruknya selama ini. Jika kau bertanya mengapa tidak sejak dulu Perth mencari tahu siapa senior itu? Jawabannya tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saat itu ia hanyalah pemuda naif yang tidak hentinya merutuki takdir. Pergolakan bathinnya hanya tentang mengakhiri hidupnya di hari ini atau di hari esok. Hanya tentang itu.

Pengalaman jatuh cinta pertamanya menjadi pengalaman paling buruk dalam hidupnya.

Namun bagaimana jika alur ceritanya tidak seperti ini?

Bagaimana jika bukan dia yang menjatuhkan majalah itu?

Bagaimana jika bukan seorang senior yang memergokinya saat itu?

ESCAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang