25 - The Countdown

990 113 51
                                    

Perth membuka matanya perlahan, dan yang pertama tertangkap manik hitamnya adalah tembok bercat kusam yang sudah mengelupas. Pemandangan yang biasa dilihatnya beberapa bulan belakangan, sudah barang tentu bukan sesuatu hal yang baru. Tapi tak berselang lama ia memilih kembali terpejam karena rasa pusing yang tiba-tiba menyerang kepalanya dengan begitu hebat, ia pun mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang dengan sebelah tangan menutupi kedua matanya. Dari kejauhan terdengar suara kicauan burung yang melintas di luar jendela, Perth langsung mendengus pelan, pagi datang terlalu cepat, ia merasa baru saja terlelap beberapa saat setelah semalaman terus menatap seorang pemuda tampan yang tertidur dengan sangat pulas di sampingnya.

Pemuda?

Ah, Saint!

Matanya yang semula terpejam itu langsung terbelalak sempurna, dengan gerakan secepat kilat Perth menoleh ke samping kirinya, namun tidak ada siapapun di sana. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke setiap sudut kamarnya yang sempit, melirik ke arah pintu yang memancarkan cahaya yang cukup terang, entah pukul berapa saat ini, baginya masih terlalu pagi. Alisnya sekilas bertaut, rasa pening di kepalanya yang semakin menjadi membuatnya berpikir apakah Saint yang menginap di flatnya hanya sekedar bagian dari mimpinya?

Sekali lagi ia ingin memastikan, matanya menyipit menatap sisi ranjang yang semalam ditempati Saint, hanya ada satu-satunya bantal miliknya yang seharusnya ada di bawah kepalanya, kini tergeletak begitu saja yang menjadi penanda jika kehadiran pemuda itu memang nyata, bukan hanya perasaannya saja.

Lalu kemana perginya pemuda itu?

Rasa kantuk yang semula masih menggelayuti pelupuk mata kini hilang sudah. Sekejap Perth duduk di ranjang sambil memegangi kepalanya yang terasa berputar, mencoba mengumpulkan semua tenaga dan kesadarannya, sebelum kemudian melangkah dengan gontai ke luar kamar. Tepat di ambang pintu langkah kakinya terhenti ketika pandangannya mendapati sang kekasih tengah berdiri menatap lurus ke luar jendela. Entah apa yang sedang dipikirkan pemuda tampan itu, ia tampak hanyut dalam dunianya sendiri. Wajahnya yang terlihat sempurna kini terbias sinar mentari pagi yang masuk membentuk sulur-sulur, dari tempat Perth berdiri ia bisa melihat tatapan sendu dari sang kekasih yang seolah menembus jendela berbentuk persegi itu.

Perth melipat tangan di dada dengan kepala yang bersandar di ambang pintu. Seperti semalam, ia tidak akan pernah jenuh memandang Saint dalam diam.

Satu helaan nafas dalam terdengar sebelum Saint tidak sengaja menoleh ke arahnya. Pemuda tampan itu terkejut ketika menyadari jika dirinya tidak lagi sendiri di ruangan flat ini.

"Kau sudah bangun?"

Perth hanya mengangguk sebagai jawaban namun itu sudah cukup membuat Saint menyunggingkan senyuman kecil di bibirnya yang kemerahan. Dengan gesture yang sama, Saint melipat kedua tangannya di dada dengan kepala yang bersandar di daun jendela, namun mata indahnya kembali menatap pemandangan yang ada di balik jendela, tidak menghiraukan Perth yang justru sedang memandangnya.

Hening.

Tidak ada lagi pembicaraan diantara sepasang kekasih yang sedang hanyut dalam kemelut pikiran masing-masing. Di luar sana suara ceria burung yang berterbangan menjadi latar pagi yang cerah bermandikan cahaya mentari.

Perth kembali memejamkan mata saat lagi dan lagi kepalanya terasa berputar, mungkin kurang tidur, pikirnya. Ia kini bersandar penuh pada dinding di sampingnya, tubuhnya terasa remuk redam.

"Perth, tidurlah lagi jika kau masih mengantuk..", Saint berkata dengan suara yang lembut ketika melihat Perth terpejam, namun sang kekasih sama sekali tidak bergeming. Hal itu membuat Saint berjalan menghampirinya,

"Perth, tidurlah lagi.. Umm.. Aku.. Aku akan pergi sebentar..", kalimat terakhir yang keluar dari bibir Saint membuat Perth tersentak, ia membuka matanya dan menatap tajam pemuda tampan itu.

ESCAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang