16 - Starting Point

947 125 131
                                    

Saint akhirnya bisa sedikit bernafas lega setelah keluar dari kelasnya yang terasa sangat membosankan seperti biasa. Dengan tas yang ia biarkan tersampir di pundak, Saint segera bergegas meninggalkan gedung fakultasnya. Beberapa temannya menyapa, namun pemuda tampan itu hanya tersenyum simpul sambil mempercepat langkah kakinya. Sudah 5 hari Saint selalu tergesa-gesa seakan bersembunyi dari sesuatu yang terus mengejarnya. Ini bahkan lebih menyeramkan dari makhluk tak kasat mata, karena sesuatu yang mengejarnya ini bisa menghantui pikirannya hampir setiap saat.

Ya, belakangan ini Saint memang menghindari Perth dan Zee, termasuk segala hal yang berhubungan dengan keduanya. Maka ia lebih suka menghabiskan waktunya di apartemen daripada di tempat mana pun. Ketika di kampus, ia akan memastikan jika tidak ada wajah-wajah familiar yang ia temui, memilih untuk duduk di perpustakaan lebih lama sebelum kelasnya di mulai.

Kebohongan yang ia katakan pada kekasihnya beberapa hari lalu rupanya saat ini justru menjadi penolong. Dengan dalih dirinya sangat sibuk dengan kegiatan kuliah, Zee sangat konsisten untuk tidak menemuinya sama sekali, hanya mengirimi pesan dan sesekali menelepon itu pun hanya sekedar menanyakan kabar. Tidak ada percakapan penuh dengan kata cinta, apalagi pembicaraan yang berandai-andai. Saint sengaja melakukannya karena ia tidak ingin hatinya kembali dirundung perasaan gelisah.

Begitu pula dengan Perth. Saint tidak datang menemuinya lagi. Pertemuannya di rumah sakit 5 hari yang lalu sudah ia pastikan akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pemuda itu. Ia tidak tahu apakah Perth sudah keluar dari rumah sakit atau masih berada disana, karena ia sama sekali tidak mengetahui secuil pun kabar tentangnya. Karena satu-satunya orang yang selalu mengabarinya tidak lain adalah Plan, sahabatnya yang sudah pasti masuk ke dalam daftar segala hal yang sangat ia hindari saat ini.

Mungkin segelintir orang yang tahu kisahnya akan mengatakan jika Saint yang seperti ini benar-benar tidak punya pendirian dan seseorang yang membingungkan. Saint bisa saja membalikkan cibiran mereka, sejak kapan persoalan cinta semudah memecahkan rumus matematika? Cinta tidak hanya butuh perhitungan dan logika, karena ada hati yang memegang peranan penting untuk menyelesaikannya. Maka biarkan Saint memilih mana yang terbaik menurut hatinya.

Pun persetan dengan istilah cinta tidak butuh banyak alasan. Karena Saint tahu jika apa yang ia lakukan dengan menghindari keduanya bukan semata-mata untuk mencari pembenaran, ia hanya berusaha menenangkan hatinya yang bimbang karena cinta yang ia rasakan sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Ini bukan cinta yang sederhananya hanya digambarkan dengan adanya dua hati yang saling menyatu, ini menjadi rumit karena ada satu hati yang tiba-tiba datang di ujung persimpangan.

Saint mempercepat langkah kakinya berjalan di halaman depan gedung kampus. Di tengah langkahnya tiba-tiba seseorang menarik paksa tas yang ada di pundaknya. Meskipun hanya melihat sekilas bayangannya saja, Saint sudah tahu betul siapa pelakunya.

"Hey.. Kau mau kemana, Saint? Kenapa terburu-buru?"

Saint mengibaskan lengan Plan, pemuda yang ingin ia hindari saat ini. Ia sudah akan pergi namun Plan menahan lengannya cepat,

"Hey, jangan pergi! Ada sesuatu yang harus kita bicarakan!"

"Aku harus pergi, sialan!", hardik Saint sambil mencoba melepaskan tangan Plan.

"Kenapa kau menghindariku beberapa hari ini? Apa yang terjadi padamu?"

"Cih, itu bukan urusanmu! Aww.. Brengsek, sakit!", tanpa disangka, Plan mencengkram lengan Saint kuat, membuat pemuda tampan itu meringis.

Plan melepaskan cengkramannya dengan raut wajah bersalah. Tapi ia urung meminta maaf karena ada sesuatu yang lebih penting yang ingin ia katakan.

"..."

ESCAPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang