Jilid 10/62

1.6K 17 0
                                    

Kalau saja Kian Lee bermaksud membunuh mereka berenam, tentu saja dia tidak akan membutuhkan terlalu banyak waktu. Namun pemuda ini tidak suka membunuh, maka ia hanya mempertahankan diri, kemudian kalau dia membalas, itu pun dilakukan dengan hati-hati agar jangan sampai membunuh orang.

Kian Lee adalah seorang pemuda yang selalu berhati-hati dan sikapnya bijaksana. Dalam keadaan marah sekali pun dia tetap tenang dan waspada, tidak mau diseret oleh arus kemarahannya dan ia masih sadar bahwa para murid Yang-liu Nionio ini hanyalah mentaati perintah guru mereka, maka dia pun bersikap lunak terhadap mereka. Yang diincarnya adalah Yang-liu Nionio, maka ketika dia memperoleh kesempatan baik, saat nenek itu menggerakkan ranting untuk melecutnya, dia tidak menangkis, membiarkan ranting itu melecut lehernya, dan dengan pengerahan tenaganya dia lalu menangkis cengkeraman tangan nenek itu yang ditujukan ke arah lambungnya.

"Plakkk! Aughhhhh...!"

Nenek itu melompat jauh ke belakang sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, mengaduh-aduh karena biar pun tulang lengannya tidak patah, namun hawa dingin yang menusuk tulang menjalar dari lengan itu sampai masuk ke dalam dadanya! Kemudian nenek itu lari keluar dari kepungan anak buahnya, menghampiri Tek Hoat yang masih menonton dengan sikap acuh tak acuh.

"Mengapa Sicu diam saja? Bantulah kami! Bukankah Sicu datang sebagai tamu kami?" katanya.

Tek Hoat tersenyum dan memandang ke arah Kian Lee yang masih dikepung anak buah Hek-eng-pang itu, kemudian menghadapi nenek itu. "Aku sanggup mengalahkan dia dan membantumu, akan tetapi aku tidak pernah membantu orang-orang seperti engkau tanpa imbalan."

"Apa imbalannya? Katakan!" Nenek itu mendesak karena melihat betapa anak buahnya kini telah mulai terlempar ke sana-sini oleh amukan Kian Lee.

"Kalian harus membantuku menyerbu Liong-sim-pang "

"Apa? Liong-sim-pang di puncak Naga Api?" Nenek itu terbelalak dan kelihatan khawatir sekali.

Siapa yang tidak mengenal nama Hwa-i-kongcu, ketua perkumpulan Liong-sim-pang yang amat lihai dan memiliki banyak anak buah dan memiliki tempat yang juga amat kuat seperti benteng istana itu?

"Aku hendak membebaskan seseorang yang tertawan di sana. Bagaimana, mau atau tidak?" Tek Hoat bertanya, sambil tetap tersenyum.

Terdengar suara menjerit dan tubuh Kim-hi Niocu yang terlempar itu jatuh berdebuk di depan kaki Yang-liu Nionio.

"Pangcu... aduhhhh... kami tidak kuat menghadapinya," Kim-hi Niocu mengeluh sambil mengelus pinggulnya yang tadi terkena ditendang kaki Kian Lee.

"Baiklah, kami menerima syaratmu, orang muda. Nah, kau robohkan dia dan kami akan membantumu menyerbu Liong-sim-pang!" Akhirnya nenek itu berkata dengan cepat.

"Mundurlah kalian semua!" Tiba-tiba Tek Hoat membentak dengan suara mengandung getaran khikang kuat sehingga biar pun yang memerintah mereka ini bukan ketua atau kepala mereka, melainkan seorang pemuda yang belum mereka kenal, akan tetapi bentakan Tek Hoat itu membuat mereka semua mundur, apa lagi karena memang mereka telah merasa jeri sekali terhadap Kian Lee.

Dua orang pemuda itu sekarang berdiri saling berhadapan. Keduanya sama tampan dan sama gagahnya, dan mereka kini bukan lagi pemuda lima tahun yang lalu. Ang Tek Hoat telah berusia dua puluh tiga tahun, dan Suma Kian Lee sudah berusia hampir dua puluh dua tahun. Mereka telah menjadi seorang laki-laki, seorang yang sudah dewasa dan matang, bukan lagi seorang pemuda remaja seperti ketika mereka pernah saling bertemu empat lima tahun yang lalu.

Keadaan menjadi penuh ketegangan dan ini dirasakan oleh Yang-liu Nionio dan semua murid dan anak buah mereka yang kini menjadi penonton, tidak bergerak. Bahkan mereka yang ditugaskan menjaga Cui Lan dan Hok-taijin, kini juga membawa dua orang tawanannya itu keluar di bawah todongan senjata, untuk menyaksikan pertandingan yang tentu akan terjadi hebat sekali antara Si Jari Maut yang nama besarnya telah mereka dengar melawan pemuda nelayan yang ternyata adalah saudara dari Suma-kongcu yang mereka cari-cari itu.

"Ang Tek Hoat, apa artinya ini? Benarkah engkau hendak membantu kaum sesat ini untuk menentang aku? Ketahuilah bahwa aku melindungi dua orang yang tidak berdosa itu!" Dia menunjuk ke arah Cui Lan dan Hok-taijin yang berdiri di sudut ruangan dengan pedang ditodongkan di punggung mereka.

Cui Lan memandang dengan penuh perhatian. Wajahnya yang cantik membayangkan kekhawatiran ketika dia memandang Kian Lee.

"Suma Kian Lee, dahulu kita bukan sahabat, sekarang bukan pula teman! Aku tidak membantu siapa-siapa melainkan saling menukar jasa. Kalau kau enggan bertanding melawan aku, penuhilah permintaan Hek-eng-pangcu."

"Ang Tek Hoat, tidak kusangka engkau ternyata sama sekali tidak berubah sejak dulu! Engkau tidak juga bertobat dan kembali menjadi orang baik-baik!" Kian Lee menegur dengan suara penuh penyesalan karena betapa pun juga, pemuda di depannya ini adalah cucu kandung ibunya sendiri!

Tek Hoat tertawa, tertawa yang pahit sekali karena matanya tidak ikut tertawa bahkan mulutnya menyeringai seperti orang menderita nyeri. "Ha-ha-ha, memang aku bukan orang baik-baik, tidak seperti keluarga Pulau Es yang bersih dan terhormat! Dan aku pun tidak ingin menjadi orang baik-baik yang sombong seperti keluarga Pulau Es! Tak perlu banyak cakap, Suma Kian Lee, kau menyerah dan memenuhi permintaan ketua Hek-eng-pangcu atau harus melawan aku."

"Hemmm, kau tentu mengira aku takut padamu! Majulah!" Kian Lee menantang, sedikit pun tidak merasa takut. Empat lima tahun yang lalu, memang Tek Hoat merupakan seorang tandingan yang lihai bukan main. Akan tetapi selama lima tahun ini dia telah melatih diri di bawah bimbingan ayahnya di Pulau Es dan telah memperoleh kemajuan pesat sekali.

"Kalau begitu terpaksa aku merobohkan engkau!" Tek Hoat berkata dan sebelum kata terakhir habis diucapkan, tangannya sudah menyambar dan sebuah tamparan yang seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kepala Kian Lee.

"Plak-plak-plak-plakkkkk!"

Empat kali Tek Hoat menyerang dan empat kali pula ditangkis oleh Kian Lee. Keduanya merasa betapa lengan lawan mengandung tenaga yang amat kuat, akan tetapi yang terkejut sekali adalah Tek Hoat. Dia maklum akan kelihaian putera Pulau Es ini, maka tadi serangannya sudah dilakukan dengan sepenuh tenaganya, dengan tenaga yang dinamakan tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Butek Siauw-jin datuk kedua dari Pulau Neraka. Namun, tangkisan Kian Lee mnembuat tenaga mukjijat itu buyar dan dia merasakan hawa dingin menghantamnya, membuatnya tergetar dan terguncang!

Akan tetapi, Tek Hoat dapat cepat mengusir hawa dingin itu dan sekarang dia telah menerjang dengan hebat dan dahsyat, mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang dahulu dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka dan Bu-tek Siauw-jin. Dia menyerang dan memang pemuda ini memiliki watak yang ganas, maka serangan-serangannya itu pun bukan hanya sekedar untuk mengalahkan lawan, melainkan mengandung cengkeraman maut untuk membunuh!

Menyaksikan keganasan sepak terjang Ang Tek Hoat, diam-diam Kian Lee mengeluh. Pemuda ini benar-benar telah tersesat dan seperti seekor harimau yang haus darah, pikirnya. Tentu saja dia tidak mau melayani nafsu membunuh Tek Hoat ini dan dia lebih banyak melindungi dirinya dengan menangkis atau mengelak, hanya kadang-kadang membalas dengan serangan yang hebat pula, tetapi serangannya selalu diperhitungkan agar jangan sampai membunuh orang. Dia tidak suka membunuh orang, apa lagi Ang Tek Hoat cucu ibu kandungnya sendiri, keponakannya sendiri. Dia ingin mengalahkan Tek Hoat tanpa membunuhnya. Dan inilah sebabnya mengapa pertandingan itu menjadi ramai dan seimbang.

Kalau dibuat perbandingan, kedua orang pemuda ini sama-sama mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dan tinggi, sukar dicari bandingnya di dunia ini. Hanya bedanya, sejak kecil Suma Kian Lee dibimbing oleh Pendekar Super Sakti, ayahnya sendiri, maka tentu saja ilmunya lebih matang dan murni, tidak seperti Ang Tek Hoat yang biar pun menemukan kitab-kitab yang mengandung ilmu-ilmu tinggi, namun dipelajarinya sendiri tanpa bimbingan langsung orang pandai, maka ilmunya tidak lagi murni tapi bercampur dengan ilmu-ilmu lain pernah di pelajarinya sebelum dia memperoleh kitab-kitab peninggalan dua orang datuk Pulau Neraka itu.

Maka, dalam kematangan ilmu, Kian Lee masih lebih menang setingkat. Akan tetapi kemenangan setingkat ini tidak banyak artinya karena Kian Lee tidak mau melakukan serangan yang mematikan, sedangkan Tek Hoat yang maklum akan kehebatan lawan telah bertanding dengan nekat. Baginya kali ini bukanlah merupakan pertandingan adu kepandaian, melainkan suatu perkelahian mengadu nyawa. Inilah yang membuat Kian Lee kehilangan kemenangan tingkatnya dan pertandingan itu berjalan seimbang dan amat hebatnya.

Angin pukulan yang didorong oleh tenaga sakti mereka terdengar bersuitan dan terasa oleh para anggota Hek-eng-pang yang berdiri jauh, membuat pakaian mereka berkibar dan kulit mereka nyeri, kadang-kadang terasa dingin sekali dan kadang-kadang juga terasa panas sekali. Hawa dingin dan panas ini timbul dari dua macam sinkang yang dipergunakan, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang. Menghadapi dua macam sinkang yang saling bertentangan ini, diam-diam Tek Hoat mengakui bahwa dalam hal kekuatan sinkang, dia benar-benar kewalahan menghadapi lawannya. Dan hal ini bukan karena kalah tekun berlatih, melainkan selain kalah bimbingan juga kalah murni.

Tek Hoat mengandalkan ilmu silatnya yang aneh, yang didapat dari peninggalan kitab kedua orang datuk Pulau Neraka. Mendadak dia berseru keras, suaranya melengking nyaring sekali sehingga ada empat orang wanita anggota Hek-eng-pang yang kurang jauh berdirinya roboh terjungkal dan pingsan karena jantung mereka tergetar! Tubrukan Tek Hoat ini merupakan jurus serangan yang amat dahsyat. Mula-mula tangan kirinya yang menyambar ubun-ubun lawan dengan membentuk cakar, akan tetapi dalam detik selanjutnya, tangan kanannya mencuat dari bawah lengan kiri itu menyambar ke arah ulu hati lawan dengan totokan dua jari tangan. Keduanya adalah serangan maut yang dilakukan hampir bersamaan waktunya.

Kian Lee menghadapi cengkeraman ke arah ubun-ubun kepala itu dengan miringkan tubuh atas yang agak ditarik ke belakang, tangan kanannya menangkis, lalu melihat tangan kanan lawan menotok ke arah ulu hatinya, dia cepat pula meloncat ke samping sambil menangkis dengan tangan kirinya.

"Hyaaattttt...!"

Tiba-tiba tubuh Tek Hoat meluncur dengan kaki kanannya, melakukan tendangan maut ke arah leher lawan. Tendangan ini sangat cepat dan kuat sekali datangnya, tubuhnya mencelat ke udara dan dari atas kakinya meluncur ke arah lawan.

"Haaaiiiiittttt...!" Kian Lee juga berteriak dan tubuhnya mencelat pula ke atas memapaki.

"Desssss...!"

Dua pasang kaki yang sama kuatnya bertemu di udara dan keduanya terlempar ke atas lantai lagi. Kian Lee berjungkir balik tiga kali dan Tek Hoat agak terhuyung, mukanya berubah pucat. Diam-diam Tek Hoat merasa menyesal mengapa dia tidak mempunyai lagi pedangnya yang diandalkannya, yaitu Cui-beng-kiam. Kalau dia masih mempunyai pedang yang dulu terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo, ketua Pulau Neraka itu, tentu dia dapat mempergunakan pedangnya itu menghadapi Kian Lee yang begini lihai.

Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi tetap saja mereka berimbang karena Kian Lee tetap tidak mau menggunakan tenaga sepenuhnya atau pukulan yang mematikan. Hal inilah yang membuat panas hati Tek Hoat. Dia tahu bahwa pemuda Pulau Es itu tidak mengerahkan seluruh tenaga, bahkan beberapa kali terasa olehnya Kian Lee sengaja mengurangi kecepatan dan tenaganya. Dia pun merasa penasaran dan marah sekali, karena dia merasa seperti dipandang ringan!

Saking marahnya, Tek Hoat lalu mengambil keputusan untuk mengadu nyawa! Mereka telah bertanding lebih dari seratus jurus tanpa ada yang kalah, dan mata nenek ketua Hek-eng-pang sendiri sampai silau menyaksikan pertandingan itu dan merasa bahwa sebenarnya tingkat kepandaiannya kalah jauh oleh dua orang pemuda perkasa itu.

"Suma Kian Lee manusia sombong! Bersiaplah untuk mampus!" teriak Tek Hoat dan dia menyerang makin ganas.

Melihat serangan ini, Kian Lee cepat-cepat menghindarkan diri dengan mengelak dan menangkis, kemudian untuk menahan serbuan lawan, dia membalas dengan pukulan ke arah dada Tek Hoat. Dia maklum dan yakin bahwa pukulan ini tentu membuat Tek Hoat mengelak atau menangkis sehingga dia akan dapat membalas dengan desakan pukulan-pukulan berantai.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika Tek Hoat tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan menerima begitu saja pukulannya itu, akan tetapi pada saat yang sama, kedua tangan Tek Hoat memukul ke arah paha dan lehernya.

Suma Kian Lee yang terkejut itu mengeluarkan bunyi melengking yang amat nyaring, membuat lima orang anggota Hek-eng-pang kembali terjungkal pingsan. Maklum bahwa tidak mungkin dia menghindarkan diri dari dua pukulan sekaligus karena tangan kirinya sedang memukul dada Tek Hoat, Kian Lee menggerakkan tangan kanan menangkis pukulan ke arah lehernya yang lebih berbahaya dan terpaksa membiarkan pahanya terpukul.

"Plakkk! Desssss...!"

Dada Tek Hoat terkena dorongan tangan Kian Lee dan pada saat yang sama, paha Kian Lee terkena pukulan keras dari tangan kanan Tek Hoat. Akibatnya, Tek Hoat terlempar ke belakang sampai tiga meter jauhnya dan dia terhuyung-huyung sedangkan Kian Lee roboh pingsan karena kakinya di bagian paha terkena pukulan beracun. Pukulan ini hebat sekali karena merupakan pukulan jari tangan Tek Hoat yang biasanya membunuh orang sehingga dia dijuluki Si Jari Maut, yaitu pukulan yang disebut Toat-beng-ci (Jari Pencabut Nyawa). Paha itu menjadi biru dan hawa pukulan berancun menyerang ke atas, membuat putera Pulau Es itu roboh pingsan.

Tek Hoat memejamkan mata dan mengatur pernapasannya. Kalau saja tadi Kian Lee tidak mengurangi tenaganya, tentu sudah putus nyawanya! Dia tahu akan hal ini dan menarik napas panjang, lalu menyusut darah yang menetes dari ujung bibirnya.

"Kongcu...!" Cui Lan yang ditodong pedang itu tidak peduli dan dia sudah lari menubruk tubuh Kian Lee yang disangkanya mati, berlutut sambil menangis. Kemudian, melihat Nenek Yang-liu Nionio dan Tek Hoat menghampiri, dia lalu bangkit berdiri dan dengan air mata bercucuran, dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Tek Hoat.

"Engkau... pemuda tiada guna! Engkau hanya menjadi tukang pukul orang! Sungguh malu hidup seperti engkau, pemuda yang tampan dan gagah namun di dalamnya jahat seperti sebutir buah yang berulat! Dan kau..." Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka Yang-liu Nionio, "Kau seorang wanita yang berhati busuk, dan engkau pengecut besar yang harus merasa malu karena beraninya hanya mengandalkan pengeroyokan saja!"

"Diam, bocah lancang mulut!" Seorang anak buah Hek-eng-pang yang tadi bertugas menjaga Cui Lan kini sudah mengejar dan tangannya diayun keras.

"Plakkk!" Pipi kiri Cui Lan kena ditampar.

Kulit pipi yang halus putih itu menjadi merah sekali dan dara itu terhuyung ke belakang, akan tetapi bibirnya tersenyum mengejek dan dengan keberanian luar biasa dara ini memandang mereka semua sambil berkata, "Kalian boleh membunuh aku dan aku akan mati sebagai seorang terhormat, tidak seperti kalian yang akan hidup sebagai manusia-manusia hina dan kotor!"

"Bangsat, tutup mulutmu!" Anggota Hek-eng-pang itu menjadi makin marah dan kini dia mengayun tangan, tidak menampar seperti tadi melainkan memukul ke arah mulut Cui Lan dengan kuat.

"Krekkk... aduuuhhhhh...!"

Anggota Hek-eng-pang yang memukul itu menjerit dan memegangi tangan kanannya yang patah tulangnya ketika bertemu tadi dengan tangkisan tangan Tek Hoat!

"Hemmm, apa artinya ini?" Yang-liu Nionio menegur dengan alis berkerut, memandang pada Tek Hoat dengan heran dan penasaran. "Dia memaki-maki kita, sudah sepatutnya dihajar!"

"Siapa yang memaki? Apa yang di katakannya itu benar belaka, kenapa kita mesti marah? Pangcu, janji kita hanya aku merobohkan Suma Kian Lee dan dia sudah roboh, aku tidak suka ditambah dengan penyiksaan atau pembunuhan orang! Dan sekarang juga engkau harus mengerahkan orang-orangmu untuk ikut dan membantuku." Di dalam suara Tek Hoat terkandung perintah yang mengancam.

Nenek itu menelan kembali kemarahannya dan memberi isyarat kepada Kim-hi Niocu. "Kau bawa mereka bertiga ke tempat tahanan. Pisahkan mereka dan pergunakan yang dua itu sebagai sandera agar pemuda ini tidak sampai lari." Kemudian setelah Kian Lee yang masih pingsan itu digotong pergi, Cui Lan dan Hok-taijin digiring meninggalkan ruangan itu.

Hek-eng-pangcu kemudian mengumpulkan orang-orangnya dan akhirnya memilih tiga pasukan. Pasukan Tanah yang dipimpin oleh Liong-li, Pasukan Kayu dan Pasukan Api, semua berjumlah tiga puluh enam orang ditambah ketiga orang kepala pasukan lainnya, mengiringkan dia sendiri dan Tek Hoat meninggalkan puncak Bukit Cemara.

Kiranya Ang Tek Hoat telah mendengar, bahkan sudah menerima undangan, bahwa Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang di puncak Naga Api, Pegunungan Lu-Iiang-san di dekat belokan Sungai Huang-ho, akan menikah dan calon isterinya itu adalah seorang puteri dari Bhutan yang amat cantik jelita! Mendengar ini, jantung Tek Hoat berdebar keras, timbul kekhawatirannya karena dia menduga keras bahwa Puteri Bhutan yang cantik jelita itu sudah pasti adalah Syanti Dewi. Kalau tidak, siapa lagi?

Memang banyak wanita muda, puteri-puteri Bhutan yang cantik jelita, akan tetapi puteri-puteri itu tidak akan meninggalkan istana Bhutan. Kemungkinan satu-satunya hanyalah Syanti Dewi yang entah mengapa dan bagaimana telah dapat sampai di tempat itu dan agaknya ditawan Liong-sim-pang.

Tek Hoat maklum akan kekuatan Liong-sim-pang, dan kalau hanya sendirian saja tidak mungkin dia akan dapat menolong Puteri Bhutan itu, maka dia lalu mengundang ketua Hek-eng-pang dengan maksud untuk minta 'bantuan' mereka. Kebetulan sekali dia melihat Suma Kian Lee dan ketika ketua Hek-eng-pang dan anak buahnya tidak mampu mengalahkan Kian Lee, timbul akalnya untuk memaksa mereka membantunya.

Akan tetapi sungguh tidak disangkanya, melawan Kian Lee hampir saja dia celaka dan biar pun akhirnya dia bisa merobohkan putera Pulau Es itu, dia sendiri juga menderita luka yang cukup parah dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja amat berbahaya kalau dia bertemu dengan lawan tangguh. Untungnya dia kini dibantu oleh pasukan-pasukan Hek-eng-pang dan ketua mereka.....

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang