Jilid 27/62

1.6K 14 0
                                    

Kini, membayangkan Hwee Li mandi di sumber air, menimbulkan keinginan besar di hatinya untuk mengintai dan melihat kekasihnya itu mandi. Setidaknya tentu dara itu akan menanggalkan pakaian luarnya! Dengan hati-hati pangeran ini lalu menghampiri sumber air, lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan semak-semak. Jantungnya berdebar makin tegang ketika dia mendengar suara kekasihnya bersenandung dan mendengar suara air berkecipakan!

Sementara itu, Hwee Li sejak tadi memang menanti munculnya Liong Bian Cu. Sudah berhari-hari dia mengatur siasat ini. Siasat itu timbul ketika dia lewat di lorong kecil yang menuju ke sumber air itu dan sebuah batu runtuh dari tebing di sebelah kiri lorong dan hampir menimpanya. Dia melihat bahwa tebing itu hampir longsor, tanahnya sudah retak-retak dan di atas tebing terdapat sebongkah batu sebesar kepala gajah! Untung hanya batu sebesar kepala manusia saja yang runtuh dan hampir menimpanya. Kalau batu besar itu yang runtuh, tentu akan membawa semua batu yang berada di atas dan tepi tebing, dan dia akan teruruk oleh batu-batu besar karena lorong di tempat itu terhimpit tebing dan sempit sekali.

Peristiwa itu menimbulkan siasat kepada Hwee Li yang amat cerdik. Berhari-hari dia mempelajari keadaan tebing dan batu besar itu. Ternyata bahwa yang menahan batu besar itu tidak sampai longsor ke bawah adalah sebatang pohon kecil yang tumbuh di tebing, juga ada beberapa buah batu yang tidak begitu besar merupakan pengganjal. Kalau pohon itu diambil, atau batu-batu kecil itu runtuh, tentu pohon itu tidak kuat menahan dan batu besar itu akan runtuh ke bawah.

Dia mencari akal dan mulailah dengan diam-diam dia menggali dan melubangi tanah di atas tebing, tepat di bawah batu besar itu, menyingkirkan beberapa batu pengganjal dengan hati-hati sekali. Pekerjaan ini dilakukannya secara diam-diam selama beberapa hari. Kemarin, ketika seorang pegawal melihatnya dengan heran di situ, Hwee Li cepat menangkap seekor jengkerik dan bermain-main dengan binatang itu sehingga pengawal yang melihatnya di situ mengira bahwa dara remaja tunangan pangeran itu mencari jengkerik dan bermain-main seperti seorang anak-anak saja. Dan memang dara remaja itu masih bersikap lincah seperti anak kecil!

Setelah membuat persiapan secara menyakinkan, Hwee Li lalu mengikatkan tali pada batang pohon kecil yang kini seolah-olah merupakan pengganjal utama bagi batu besar tadi, serta menyembunyikan tali panjang itu melalui belakang batu-batu besar, terus menurun dan disembunyikan di dekat sumber air. Dan pada senja hari itu, dia sengaja mandi di situ. Meski dia mendengar teriakan-teriakan suara Liong Bian Cu memanggil manggilnya, dia sengaja tidak menjawab dan membiarkan pangeran itu mendatangi sumber air.

Liong Bian Cu juga bukan seorang yang bodoh. Begitu dia tiba di luar lorong dan mengintai dari jauh, dia melihat dara itu duduk di bawah pancuran air dan benar saja hanya memakai pakaian dalam, akan tetapi dara itu kelihatan tegang dan tidak mandi! Dan dara itu bersenandung sambil matanya diarahkan ke bawah sumber air, seolah olah menanti kedatangannya! Dia teringat bahwa dia tadi telah menggunakan khikang ketika memanggil-manggil. Mustahil kalau gadis itu tidak mendengar panggilannya. Akan tetapi gadis itu tidak pernah menjawab. Dan kini Hwee Li seolah-olah menantinya, kedua tangannya disembunyikan di dalam air yang membentuk kolam jernih di bawah pancuran. Air terjun kecil itu datang dari sumber air dari batu-batu di atas pancuran. Apa yang akan dilakukan gadis itu? Agaknya akan menyerangnya lagi, pikir pemuda itu. Demikian mencurigakan sikapnya.

Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa sepasang mata yang tajam sekali dari Hwee Li telah dapat melihatnya ketika dia menyelinap di balik pohon dan mengintai. Hwee Li juga maklum akan kecerdikan Liong Bian Cu. Mengapa pemuda itu tidak terus naik melalui lorong? Tentu timbul kecurigaannya, pikirnya. Tidak ada gunanya membujuk Bian Cu untuk naik. Satu-satunya jalan adalah memancingnya naik melalui lorong itu dan dia tahu umpan terbaik untuk memancingnya, yaitu bukan lain adalah tubuhnya sendiri.

Maka, dengan sikap biasa, setelah pura-pura menengok ke sana-sini untuk meyakinkan bahwa di sekitar tempat itu tidak ada orang, Hwee Li lalu mulai menanggalkan pakaian dalamnya dengan berdiri membelakangi tempat di mana Bian Cu mengintai. Nampaklah tubuh belakangnya yang mulus.

Melihat adegan strip-tease (tarian menanggalkan pakaian) yang terjadi di alam terbuka ini, Liong Bian Cu berkali-kali menelan ludahnya dan matanya tidak pernah berkedip satu kali pun, pandang matanya melotot seolah-olah dia hendak menelan tubuh itu bulat-bulat dengan sinar matanya! Liong Bian Cu bukanlah seorang pemuda hijau.

Tidak, dia adalah seorang pangeran dan di Nepal sudah biasa bagi seorang pangeran untuk mengambil selir sebanyak mungkin. Dia sudah banyak bergaul dengan wanita wanita cantik, akan tetapi belum pernah dia jatuh cinta seperti yang dirasakannya sekarang terhadap Hwee Li. Kini melihat dara yang dicintanya itu, yang dirindukannya siang malam, melepas busana di depan matanya, tentu saja membuat dia menjadi seperti cacing terkena abu panas!

Lebih-lebih lagi ketika dengan gerakan tanpa disengaja Hwee Li miringkan tubuhnya sehingga nampak dari samping sebagian dari bukit dadanya, darah Bian Cu tersirap dan seperti terkena pesona, terkena sihir yang amat kuat. Dengan semangat seperti terbang meninggalkan tubuhnya, kedua kakinya melangkah ke dalam lorong dan matanya masih tanpa berkedip memandang ke arah tubuh itu. Dia seperti terbetot oleh kekuatan rahasia, kekuatan yang mengandung semberani, yang membuat kedua kakinya bergerak dan berjalan memasuki lorong menuju ke tempat Hwee Li.

Hwee Li yang memutar tubuh miring tadi melirik dan ketika melihat Bian Gu memasuki lorong, dia merasa betapa jantungnya berdebar keras sekali. Dia menanti sampai pangeran itu tiba tepat di bawah batu besar, kemudian tiba-tiba dia menarik tali yang dipegangnya sejak tadi, mengerahkan seluruh tenaganya.

"Braakkk... bruuuuukkkkk...!"

Suara ini disusul suara hiruk-pikuk saat batu sebesar gajah itu menggelinding menuruni tebing, membawa batu-batu lainnya ikut pula runtuh dan longsor! Pohon kecil itu tadi digerakkan oleh tali dan jebol, tidak kuat lagi menahan batu besar dan karena sebelah bawah batu sudah digerowongi, maka tanpa dapat dicegah lagi batu itu menggelinding turun.

Liong Bian Cu terkejut bukan main, berteriak keras dan berusaha untuk menyingkir. Akan tetapi, dia tidak mungkin dapat meloncat ke kanan atau kiri yang merupakan tebing tinggi, maka jalan satu-satunya baginya hanya meloncat ke belakang. Namun, gerakannya kurang cepat dan biar pun dia berhasil menghindarkan diri dari tindihan batu sebesar gajah itu, dia tidak dapat terhindar dari hantaman batu-batu kecil lainnya yang datang bagaikan hujan. Dia berteriak lagi, terpelanting dan tubuhnya ditimpa banyak batu yang menguruknya. Debu mengebul tinggi dan suara hiruk-pikuk dari batu batu yang runtuh itu terdengar sampai jauh.

Sementara itu, dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Hwee Li sudah cepat mengenakan kembali pakaiannya dan dia lalu berloncatan menghampiri tumpukan batu. Dia melihat sebelah kaki dan sebelah tangan Bian Cu tersembul dari tumpukan batu. Dia bergidik ngeri, mengira bahwa tentu pemuda ini telah tewas.

Dan memang demikianlah perhitungannya. Kalau Bian Cu mati, dia tidak lagi terancam bahaya untuk dipaksa menjadi isterinya. Dan banyak kemungkinan dia akan selamat. Pertama, orang-orang tidak akan tahu bahwa kematian Bian Cu disebabkan oleh dia. Kedua, kalau dia dapat membebaskan garuda, dia akan dapat meloloskan diri dari tempat itu. Ketiga, andai kata dia tidak dapat membebaskan garuda, setelah pangeran itu mati, orang-orang di lembah itu tentu tidak membutuhkan lagi dia dan mungkin saja dia dibiarkan lolos dari situ. Semua kemungkinan itu tidak mungkin ada selama Liong Bian Cu masih hidup!

Cepat dia berusaha mencari kunci kurungan garuda yang menurut pemuda itu berada di sakunya. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan, "Apa yang terjadi? Minggir kau!" dan tubuh Hwee Li terdorong ke samping.

Dara ini terkejut sekali melihat seorang kakek bermantel merah sudah berada di situ. Dorongan dari jarak jauh yang dilakukan oleh Ban-hwa Sengjin, kakek itu, amat hebat sehingga Hwee Li terdorong mundur. Kini, dengan kecepatan dan tenaga yang luar biasa, kakek itu membongkar batu dan melempar-lemparkan batu yang menindih tubuh muridnya. Tubuh itu penuh dengan luka-luka dan berdarah.

Ban Hwa Sengjin memondong tubuh muridnya dan lari cepat sekali menuju ke gedung di tengah lembah. Hwee Li berdiri bingung. Kunci itu belum berhasil dia temukan. Akan tetapi, selagi semua orang sibuk mengurus Liong Bian Cu, sebaiknya dia berusaha untuk membebaskan garudanya. Maka berlarilah dia menuju ke taman di belakang gedung untuk menuju ke tempat di mana garuda itu dikurung, sebab selama ini dia telah menyelidiki dan tahu bahwa burung itu dikurung di sudut taman di belakang gedung.

Tetapi, baru saja dia muncul, bukan pengawal-pengawal yang menyambutnya dan yang sudah dia rencanakan untuk dirobohkan semua baru dia akan berusaha membebaskan burungnya. Yang berdiri di situ adalah Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi! Hwee Li maklum bahwa terhadap dua orang kakek ini, percuma saja kalau dia melawan. Maka dengan suara dibuat gugup dia bertanya, "Bagaimana keadaan Pangeran...?"

Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang kakek itu tiba-tiba menerjangnya!

Hwee Li terkejut dan berusaha untuk mengelak dan membela diri, namun diserang oleh dua orang sakti itu secara berbareng, tentu saja dia tak mungkin dapat menyelamatkan diri dan sebuah totokan mengenai pundaknya, membuat dia roboh terguling, Hek-tiauw Lo-mo mengempit tubuhnya dan membawanya masuk ke dalam gedung.

Dapat dibayangkan betapa kaget, kecewa, dan penasaran rasa hati Hwee Li ketika dia dibawa masuk ke dalam kamar besar mewah itu, dilempar ke atas kursi oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia melihat Liong Bian Cu sedang duduk di atas pembaringan dengan muka pucat dan masih nampak obat kuning di atas luka-luka di seluruh tubuhnya. Akan tetapi dia telah memakai baju bersih dan sinar matanya memandang lembut kepada Hwee Li sedangkan mulutnya tersenyum.

"Kau... kau...?" Hwee Li menggagap, tetapi melihat senyum itu melebar dia melanjutkan, "Kau tidak apa-apa, Pangeran...?"

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo membentaknya, "Dasar anak durhaka! Engkau hampir saja membunuhnya dan untung Ban Hwa Sengjin masih sempat menyelamatkannya karena beliau kebetulan datang! Kalau tidak, dan Pangeran sampai meninggal dunia, tentu kau sudah kami bunuh sejak tadi!"

"Locianpwe, jangan bicara begitu...!" Mendadak pangeran itu berkata, suaranya lemah menandakan bahwa peristiwa tersebut benar-benar sangat berbahaya baginya dan membuatnya menderita, sungguh pun tidak sampai berbahaya bagi nyawanya. "Hwee Li tidak bersalah!"

"Muridku, Pangeran yang mulia. Saya sendiri melihat dia berada di sana ketika Paduka tertindih batu-batu itu, bagaimana Paduka dapat mengatakan bahwa dia tak bersalah?" Terdengar Ban Hwa Sengjin yang duduk di dalam kamar itu pula menegur, mata kakek ini dengan tajamnya menatap wajah Hwee Li.

"Tidak, Suhu. Dia tidak bersalah dan aku perintahkan agar dia dibebaskan dari totokan. Hek-tiauw Lo-mo locianpwe, bebaskan dia!"

Tiga orang kakek itu saling pandang, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menghampiri dara itu dan membebaskan totokannya. Hwee Li cepat menghampiri pangeran itu dan duduk di tepi pembaringan, wajahnya pucat dan matanya terbelalak. Dia maklum bahwa dengan satu gerakan saja dari pangeran itu, tiga orang kakek sakti itu tentu akan turun tangan membunuhnya.

"Pangeran, maafkan saya. Akan tetapi saya melihat tali mengikat pohon kecil itu. Tentu ada yang menarik tali itu merobohkannya sehingga batu besar itu menggelinding turun!" kata Hek-hwa Lo-kwi.

"Pangeran, harap Paduka tidak membahayakan diri sendiri dan melindungi orang yang berdosa," Ban Hwa Sengjin juga memperingatkan.

Liong Bian Cu memandang wajah dara itu dan tersenyum, lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan menggoyang-goyangnya, akan tetapi dia menyeringai karena lengan kirinya terasa nyeri sekali.

"Jangan gerakkan lengan kiri Paduka dulu, baru saja sambungan tulang pundak saya benarkan," kata Ban Hwa Sengjin.

"Sam-wi (Anda Bertiga) harap jangan salah sangka. Sungguh peristiwa itu terjadi karena kesalahan saya sendiri. Tali itu adalah saya sendiri yang mengikatnya. Saya melihat tempat itu dapat menjadi perangkap yang baik, perangkap rahasia untuk melindungi diri kalau-kalau ada musuh berani datang. Hwee Li cerdik sekali, dia membantuku dan kami sedang mengatur perangkap itu. Akan tetapi, ketika aku mendaki di bawah tebing untuk mencarikan tempat rahasia untuk menaruh tali, dan berpegang pada pohon itu, pohon itu tidak kuat, jebol dan aku jatuh ke bawah, lalu batu-batu itu menimpa turun."

"Ah, tapi..." Ban Hwa Sengjin hendak membantah.

Liong Bian Cu mengangkat tangan kanan ke atas menyetopnya. "Sudahlah, Koksu, aku sudah bicara. Peristiwa itu hanya kecelakaan dan aku melarang siapa pun untuk menggangu kekasihku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang itu. Sekarang, harap kau ceritakan tentang perkembangan usaha kita."

Kakek bermantel merah itu kembali menoleh ke arah Hwee Li, menarik napas panjang dan berkata, "Baiklah, Pangeran. Saya baru saja mengunjungi Gubernur Ho-nan dan dia sudah menyanggupi untuk melindungi tempat ini dan dia pun setuju kalau tempat ini dijadikan sebagai markas untuk sementara. Selain itu, sesuai dengan perintah Paduka, Gitananda sedang pergi menjemput tawanan itu untuk dipindahkan ke sini."

"Bagus! Memang sebaiknya puteri itu berada di sini. Di sini dia lebih aman dan terjaga, selain itu, juga dia dapat menjadi teman tunanganku. Betapa pun juga, dialah orangnya yang dapat mengajarkan kepada Hwee Li tentang tata susila kerajaan dan hal-hal lain yang patut diketahui oleh seorang calon puteri kerajaan."

Hwee Li tidak turut bicara sungguh pun semua percakapan tidak ada yang terlewat oleh perhatiannya. Dia masih merasa tegang dan terkejut, dan diam-diam dia merasa heran sekali mengapa pangeran ini menolongnya, padahal sudah jelas pangeran ini tentu tahu bahwa peristiwa itu sama sekali bukan kecelakaan, namun usahanya untuk membunuh Liong Bian Cu.

Setelah percakapan itu selesai, Liong Bian Cu lalu berkata, "Sekarang harap Sam-wi meninggalkan kamar ini. Aku lelah dan ingin beristirahat, biar Hwee Li menemaniku."

Kembali tiga orang itu bangkit dan memandang dengan ragu-ragu. "Maaf, Pangeran. Apakah itu bijaksana?" tanya Ban Hwa Sengjin.

"Berbahaya sekali membiarkan dia di sini sendiri bersama Paduka!" berkata Hek-tiauw Lo-mo sambil memandang ke arah dara itu dengan mata melotot. Agaknya dia masih marah sekali atas perbuatan 'bekas anaknya' itu.

Akan tetapi pandang mata Liong Bian Cu menjadi keras. "Siapa pun tidak boleh menilai calon isteriku! Pergilah kalian!" bentaknya.

Ban Hwa Sengjin dan dua orang kakek itu lalu menjura dan pergi. Biar pun Ban Hwa Sengjin itu seorang Koksu Nepal, seorang yang berkedudukan tinggi, dan juga guru dari Liong Bian Cu, akan tetapi betapa pun juga, terhadap pemuda itu dia adalah seorang petugas terhadap atasannya, maka sikapnya selalu menghormat dan taat.

Setelah mereka pergi dan pintu kamar ditutupkan dari luar dengan amat hati-hati oleh seorang pelayan yang atas isyarat Pangeran Liong Bian Cu lalu ke luar lagi, mereka kini tinggal berdua saja di dalam kamar itu. Hwee Li lalu mundur dan duduk di atas bangku, agak jauh dari pembaringan di mana Liong Bian Cu duduk. Gadis itu mengangkat muka dan memandang Bian Cu. Pemuda ini kelihatan pucat, mukanya hampir penuh dengan warna-warna kuning, yaitu obat cair yang dipergunakan oleh Ban Hwa Sengjin untuk mengobati luka-lukanya. Sepertinya obat itu manjur bukan main karena luka-luka itu kelihatan sudah mengering.

Liong Bian Cu juga memandang kepadanya, kemudian mulutnya tersenyum dan dia mengejapkan sebelah matanya, seolah-olah memberi tanda kepada seorang sekutunya. Melihat sikap ini, Hwee Li merasa makin heran. "Pangeran, mengapa engkau malah menolongku?" tanyanya, tidak tahan dia melihat sikap itu.

Kalau pangeran itu marah-marah tentu dia akan menerimanya dengan tenang saja, akan tetapi melihat pangeran itu bersikap demikian baik terhadap perbuatannya yang hampir saja mengakibatkan pangeran ini tewas, benar-benar sukar dapat diterimanya.

"Kenapa? Tentu saja karena aku cinta padamu, Hwee Li! Dan mengapa engkau tadi bermaksud membunuhku?"

"Perlukah kujawab itu?"

"Tentu saja. Karena aku merasa penasaran kalau tidak mendengar sebabnya."

"Karena aku membencimu, Pangeran."

"Ahhh! Engkau membenciku karena aku mencintamu?"

Hwee Li menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku belum segila itu. Akan tetapi aku benci kepadamu oleh karena engkau memaksa aku untuk menjadi isterimu, karena engkau mengurung aku di sini, karena biar pun engkau bersikap ramah dan baik, akan tetapi pada hakekatnya engkau melakukan penekanan dan paksaan kepadaku."

"Hemmm, semua itu kulakukan demi cintaku padamu, Hwee Li. Tahukah engkau bahwa sebagai seorang pangeran, belum pernah ada wanita yang bagaimana pun menolak cintaku? Dan engkau tidak saja menolak, bahkan sudah beberapa kali engkau nyaris membunuhku!"

"Dan aku akan masih terus berusaha membunuhmu!" kata Hwee Li terus terang.

"Ha-ha-ha, sikapmu inilah yang membuat aku semakin tergila-gila dan semakin cinta kepadamu, sayang. Kalau saja engkau menangis merengek-rengek minta ampun, atau engkau merayuku, agaknya cintaku akan menipis. Akan tetapi tidak, engkau melawan, engkau menggunakan kecerdikan, engkau tabah, berani, cerdik dan gagah. Itulah sebabnya maka aku mau mengorbankan apa saja demi untuk mendapatkan cintamu."

"Aku tidak akan mencintamu, Pangeran."

"Ha-ha-ha, kita sama lihat saja nanti. Dengan cintaku yang murni, dengan kebaikan kebaikan yang kulimpahkan, pada suatu hari aku berharap akan dapat mencairkan kekerasan hatimu, dewiku, dan aku akan mengecap kenikmatan dan kebahagiaan itu sebagai hasil jeri payahku selama ini."

"Aku akan berusaha untuk minggat!"

Pangeran itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, Hwee Li. Dan bukankah engkau senang tinggal di sini? Bukankah di sini semua orang mentaati perintahmu dan segala keinginanmu dapat terpenuhi? Bukan itu saja, engkau bahkan akan memperoleh seorang kawan yang tentu akan menyenangkan hatimu, seorang puteri yang cantik jelita dan terkenal. Dia akan diantar oleh Gitananda ke sini."

"Siapakah dia?"

"Dia adalah Puteri Syanti Dewi, Puteri Bhutan."

Diam-diam Hwee Li menjadi terkejut sekali mendengar nama ini. Biar pun dia sendiri tidak pernah mengenal puteri itu, namun nama puteri itu sudah kerap kali didengarnya. Gurunya, Nyonya Kao Kok Cu yang dulu bernama Lu Ceng atau Ceng Ceng itu, sering kali menceritakan tentang Puteri Syanti Dewi ini yang menjadi kakak angkat gurunya. Akan tetapi di depan Pangeran Nepal itu, dia bersikap tenang saja.

"Apakah dia itu tamumu?" tanyanya.

"Bukan, dia adalah tawanan kami. Dia secara kebetulan dapat tertawan oleh Gitananda, selama ini disembunyikan karena banyak orang pandai mencarinya, dan kini atas perintahku, puteri itu di bawa ke sini untuk menemanimu."

"Dia kau tawan pula? Pangeran, memang tepatlah kalau dia yang menjadi jodohmu. Engkau pangeran dan dia puteri. Pula, bukankah Nepal dan Bhutan itu bertetangga?"

"Ha-ha-ha, mana mungkin begitu? Aku cinta padamu, Hwee Li. Dari kenyataan bahwa Puteri Bhutan itu kutawan, jelas membuktikan bahwa Bhutan dan Nepal bukanlah sahabat. Mungkin saja kelak dia akan menjadi selirku, tapi ahh, sementara ini, aku tidak ingin memandang atau membicarakan wanita lain kecuali dirimu, sayang."

Sejak peristiwa itu, biar pun sikap pangeran itu masih biasa, masih ramah kepadanya, namun Hwee Li maklum bahwa penjagaan terhadap dirinya makin diperkuat. Dia selalu dibayangi, kalau tidak oleh Hek-tiauw Lo-mo tentu oleh Hek-hwa Lo-kwi atau para pembantu lain. Dia merasa penasaran dan kebenciannya terhadap Liong Bian Cu tidak berkurang. Biar pun dia telah mencela dirinya sendiri sebagai orang kurang mengenal budi, mengakui sendiri bahwa pangeran itu benar-benar cinta kepadanya, tidak sakit hati biar pun nyaris tewas oleh perbuatannya, namun tetap saja dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan cinta kepada pangeran itu. Bahkan dia merasa makin gemas karena dia menuduh pangeran itu sengaja hendak 'melepas budi' agar dia merasa berhutang budi kepadanya.

Dan memang dia merasa canggung sekali, sukar baginya kini untuk memperlihatkan sikap kasar terhadap pangeran yang selalu baik kepadanya itu. Dan ini berbahaya, dia tahu akan hal itu. Merasa betapa kebenciannya makin mengendur, Hwee Li menjadi takut dan dia memperkuat pula perasaan benci itu sambil mengingat satu hal pokok, yaitu bahwa kemerdekaannya dihalangi oleh Liong Bian Cu.

Pada keesokan harinya, benar saja Gitananda muncul bersama Syanti Dewi. Seperti telah kita ketahui, Gitananda berhasil menculik Syanti Dewi ketika terjadi perebutan antara Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su karena salah duga sehingga Syanti Dewi tidak terlindung dan mudah diculik dan dilarikan oleh Gitananda. Karena maklum bahwa banyak orang pandai yang akan mengejarnya untuk merampas kembali Syanti Dewi, maka Gitananda lalu menyembunyikan puteri itu di suatu tempat dalam hutan besar, menyuruh anak buahnya menjaga dengan ketat dan dia hanya melaporkan saja kepada koksu, yaitu atasannya. Kemudian koksu menceritakan hal itu kepada muridnya, yaitu Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya Liong Bian Cu memerintahkan agar puteri itu dipindahkan saja ke lembah Sungai Huang-ho itu, selain untuk dapat menjaganya lebih kuat, juga puteri itu dapat menemani tunangannya.

Setelah Syanti Dewi yang kelihatan kurus dan agak pucat itu disambut oleh Liong Bian Cu dengan sikap hormat dan disuruh antar ke kamarnya, Liong Bian Cu lalu mengajak gurunya berunding. Sementara itu, Hwee Li yang sepintas lalu melihat puteri itu, diam diam merasa kagum sekali. Benar cerita gurunya. Puteri Syanti Dewi amat cantik jelita, sikapnya agung dan tenang. Menurut penuturan gurunya, puteri itu tentu sudah berusia dua puluh tiga tahun lebih, akan tetapi kelihatan seperti dara remaja belasan tahun saja. Hanya sikapnya, pandang mata dan gerak-geriknya yang lemah lembut membayangkan bahwa puteri itu adalah seorang wanita yang sudah matang, tenang, dan memiliki kepribadian yang amat kuat.

Hwee Li lalu mengunjungi kamar itu. Para penjaga yang berdiri di luar kamar dengan senjata di tangan, cepat memberi hormat dan tak ada seorang pun berani menghalangi Hwee Li memasuki kamar itu. Hwee Li dianggap sebagai tunangan pangeran dan tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, sungguh pun tidak akan ada pula yang berani membantunya andai kata Hwee Li minta mereka membantu dia lolos dari tempat itu. Mereka tahu bahwa sekali saja nona ini mengadu kepada pangeran, tentu pangeran tak akan segan-segan untuk menghukum orang yang diadukan, atau mungkin langsung membunuhnya seketika!

Hwee Li memasuki kamar dan melihat puteri itu rebah telentang, menatap langit-langit kamar dengan sikap termenung. Ada dua orang pelayan wanita duduk bersimpuh di atas lantai. Melihat Hwee Li, dua orang pelayan itu cepat memberi hormat.

"Keluarlah kalian berdua dan jangan masuk kalau tidak kami panggil!" kata Hwee Li dengan sikap kereng.

Dua orang pelayan itu menghormat, lalu keluar dari dalam kamar. Mereka bersama para penjaga berkelompok di luar pintu, bingung dan khawatir. Mereka diperintahkan untuk menjaga sang puteri, akan tetapi mereka disuruh keluar oleh tunangan pangeran dan mereka tidak berani membantah karena sudah berkali-kali ditekankan oleh pangeran dan para pembantunya, bahwa tunangan pangeran itu harus ditaati dan jangan sampai marah. Pula, mereka semua tahu bahwa tunangan pangeran itu adalah seorang dara yang memiliki tangan baja, memiliki kepandaian tinggi dan sekali pukul saja dapat menghancurkan kepala mereka!

"Bibi Syanti Dewi...!" Hwee Li melangkah maju dan menjura ke arah wanita yang masih rebah dan menyambut kedatangannya dengan pandang mata penuh selidik itu.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya dan bangkit duduk. Dia tidak pernah diganggu selama diculik oleh Gitananda, dan dia tahu bahwa Gitananda adalah kaki tangan Kerajaan Nepal, bahwa dia terjatuh ke tangan musuh negaranya. Maka, biar pun dia merasa berduka karena putus harapannya bertemu dengan kekasihnya, Ang Tek Hoat, namun dia tahu bahwa dia aman berada di tangan orang-orang Nepal ini. Hanya karena terlalu berduka memikirkan Tek Hoat, maka dia tidak suka makan, kurang tidur sehingga badannya lemah dan mukanya pucat.

Kini, setelah disambut oleh Pangeran Liong Bian Cu yang dia dengar adalah cucu Raja Nepal, dia tahu bahwa dia akan dijadikan sandera. Maka tentu saja dia terkejut dan terheran-heran melihat munculnya seorang dara remaja yang sangat cantik dan yang menyebutnya bibi ini. Melihat sikap dara cantik ini terhadap para pelayan, dan melihat betapa para pelayan mentaati perintahnya, dia maklum bahwa dara ini tentu orang penting yang besar kekuasaannya di tempat itu. Ditatapnya wajah Hwee Li dengan tajam dan penuh selidik.

"Engkau siapakah, Nona?" tanyanya sambil bangkit duduk.

"Namaku Hwee Li," jawab Hwee Li sambil tersenyum dan duduk di atas pembaringan di dekat Puteri Bhutan itu. "Engkau tentu tak mengenalku dan merasa heran mengapa aku menyebutmu bibi. Ketahuilah, Bibi Syanti Dewi, bahwa guruku adalah adik angkatmu yang bernama Lu Ceng atau Candra Dewi."

Dari subo-nya, dara ini memang sudah mendengar banyak tentang riwayat subo-nya bersama Syanti Dewi. Candra Dewi adalah nama yang diberikan oleh Puteri Bhutan ini kepada Ceng Ceng yang menjadi adik angkatnya.

Mendengar disebutnya nama Ceng Ceng, Syanti Dewi terkejut dan gembira bukan main. Wajahnya berseri dan dia meloncat turun dan berdiri di depan Hwee Li, langsung saja memegang lengan dara itu dan bertanya, "Di mana dia? Di mana Candra Dewi? Dan bagaimana engkau dapat berada di sini?"

Hwee Li merasa kasihan melihat kegembiraan dan sinar mata penuh harapan dari puteri itu. Dia menarik napas panjang dan menjawab lirih, "Aku tidak tahu di mana adanya Subo sekarang ini, Bibi. Dan aku sendiri pun menjadi seorang tawanan di sini."

"Ahhhhh...!"

Syanti Dewi masih memegang tangan Hwee Li, tetapi dia kini duduk kembali di samping dara itu, memandang dengan sinar mata khawatir. Seketika dia sudah melupakan keadaan dirinya sendiri karena semua perhatiannya tercurah kepada dara murid adik angkatnya itu, mengkhawatirkan keadaan Hwee Li yang menjadi tawanan. Demikianlah memang watak Puteri Bhutan ini, mudah melupakan penderitaan sendiri akan tetapi selalu peka terhadap penderitaan orang lain.

Hwee Li kemidian menceritakan keadaannya dan bagaimana dia bisa menjadi seorang tawanan di tempat itu, sungguh pun dia, kelihatan sebagai seorang tamu agung yang dihormati dan ditaati oleh para pengawal dan pelayan. Ketika Syanti Dewi mendengar bahwa dara remaja yang cantik jelita ini akan dijadikan isteri oleh Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga kagum. Tentu ada puluhan, bahkan ratusan ribu gadis yang ingin menjadi isteri Pangeran Nepal itu, yang akan menyambut pinangan pangeran itu dengan penuh kebanggaan dan kegirangan hati. Akan tetapi, dara remaja murid Ceng Ceng ini kelihatan sama sekali tidak gembira!

"Aku benci dia, Bibi! Aku ingin membunuhnya dan nyaris aku berhasil, akan tetapi dia memang lihai sekali, apa lagi dia dibantu oleh Hek-hwa Lo-kwi yang sakti, belum lagi gurunya yang amat lihai, Ban Hwa Sengjin yang mempunyai banyak pembantu. Bahkan ayahku sendiri kini juga menjadi pembantunya."

"Ayahmu?" Syanti Dewi bertanya heran. Bagaimana ayah seorang dara yang tidak suka dipaksa menjadi jodoh pangeran itu malah menjadi pembantu pangeran itu?

"Ya, ayahku adalah Hek-tiauw Lo-mo...!"

"Ahhhhh...!"

Bukan main terkejutnya hati Syanti Dewi mendengar nama ini. Tentu saja dia sudah mendengar dan mengenal baik nama ini, raksasa jahat yang banyak mengambil peran dalam keributan pemberontakan dua orang Pangeran Liong dulu. Dara cantik jelita ini, yang menjadi murid Ceng Ceng, adalah puteri dari majikan Pulau Neraka itu? Sungguh mengherankan dan mengejutkan sekali. Dan mendengar bahwa dara ini adalah puteri iblis itu, otomatis Syanti Dewi segera melepaskan pegangan tangannya dan duduk agak menjauh.

Gerakan Syanti Dewi ini tidak terlepas dari pandang mata Hwee Li. Dara itu menarik napas panjang, lalu cepat berkata, "Harap Bibi jangan kaget. Hek-tiauw Lo-mo memang kini menjadi pembantu utama dari Pangeran Nepal itu, dan Hek-tiauw Lo-mo juga memaksaku untuk menjadi isteri Pangeran Liong. Justeru itulah yang dikejarnya. Agar aku menjadi isteri Liong Bian Cu dan dia dapat membonceng kedudukanku dan menjadi seorang yang mulia dan terhormat. Akan tetapi, aku tidak sudi..."

Syanti Dewi mengerutkan alisnya yang berbentuk indah itu, lalu kembali mendekat dan memegang tangan Hwee Li. Makin besar rasa iba di dalam hatinya terhadap dara yang malang ini. Betapa banyaknya dara di dunia ini yang dipaksa oleh ayah mereka dalam urusan perjodohan! Bukan hanya Hwee Li ini, juga dia sendiri malah! Bukankah dia sudah memilih Tek Hoat sebagai calon jodohnya, akan tetapi juga kini gagal karena ayahnya yang tidak menyetujui pemuda pilihannya itu menjadi mantu?

Betapa banyak gadis dari yang paling miskin sampai yang paling kaya, dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi kedudukannya, harus tunduk kepada ayah mereka dalam urusan memilih jodoh! Dan betapa banyaknya hati yang hancur karena paksaan harus menikah dengan orang lain. Dalam hal perjodohan, meski pun berlainan sifatnya, dia merasa senasib dengan Hwee Li, maka timbullah rasa sayang di dalam hatinya terhadap murid adik angkatnya ini.

"Hwee Li, sungguh engkau patut dikasihani! Aku merasa heran sekali mengapa ayahmu sampai hati memaksamu? Padahal, aku tahu bahwa ayahmu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh besar yang amat terkenal dan berilmu tinggi..."

"Akan tetapi dia jahat, Bibi. Jahat sekali dan aku sangat benci padanya! Aku pun ingin membunuhnya kalau bisa!" Hwee Li mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar berkilat.

Syanti Dewi mengerutkan alisnya. "Hwee Li," katanya dengan suara kereng. "Engkau adalah murid adikku Candra Dewi, oleh karena itu engkau patut mendengarkan kata kataku pula. Engkau telah menyeleweng dari kebenaran! Mana boleh seorang anak membenci ayahnya sendiri, bahkan hendak membunuhnya?"

"Dia bukan ayahku! Dia bukan ayah kandungku! Dia malah musuh besarku!" Hwee Li berseru dan sepasang mata itu menjadi merah.

"Ehhh, bagaimana pula ini, Hwee Li?" Syanti Dewi bertanya dan tiba-tiba saja Hwee Li menangis tersedu-sedu.

Syanti Dewi terkejut. Dia cepat memeluk dara itu dan Hwee Li menangis di atas dada puteri itu. Hwee Li adalah seorang dara yang berhati keras seperti baja. Penderitaan batin yang dideritanya selama ini, apa lagi ketika mendengar bahwa Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahnya, dan betapa seluruh keluarganya, yaitu keluarga Kim, telah binasa, membuat batinnya tertekan oleh duka yang amat besar. Namun, di depan orang-orang yang dibencinya di lembah itu, dia menggunakan kekuatan batinnya, menggunakan kekerasan hatinya, untuk menahan tekanan batin itu.

Kini, berhadapan dengan Syanti Dewi yang lemah lembut, yang bersikap begitu baik dan penuh perasaan kepadanya, apa lagi mengingat bahwa puteri ini adalah bibi gurunya, Hwee Li merasa seolah-olah menemukan tempat penumpahan segala derita batinnya dan setelah kini bendungan itu dibuka, menangislah dia, sewajarnya tangis yang amat memilukan hati sehingga Syanti Dewi yang lembut hati itu pun tidak dapat pula menahan air matanya dan dia mengusap-usap rambut kepala Hwee Li penuh rasa sayang dan iba.

Dia membiarkan dara remaja itu menangis sepuasnya. Syanti Dewi sendiri bukanlah seorang wanita tua, sama sekali bukan. Usianya baru dua puluh dua tahun, akan tetapi pengalaman dan penderitaan hidup telah menggemblengnya sehingga kini menghadapi Hwee Li yang baru berusia tujuh belas tahun ini, dia merasa seolah-olah menjadi bibi atau ibu dara remaja ini.

Setelah tangisnya mereda dan hatinya terasa ringan sekali setelah dia menangis sepuasnya, Hwee Li lalu menceritakan apa yang didengarnya tentang Hek-tiauw Lo-mo yang ternyata bukan ayahnya, bukan apa-apanya itu, dan tentang keluarganya yang terbasmi karena dianggap sebagai keluarga pemberontak.

Syanti Dewi mengangguk-angguk. "Aku telah mendengar tentang keluargamu itu. Aku mendengar bahwa ayah kandungmu yang sesungguhnya, Panglima Kim Bouw Sin itu, memang telah memberontak terhadap kerajaan. Betapa pun juga, sikapnya itu tentu ada alasannya, dan biar pun oleh kerajaan dia dianggap berdosa, namun sebagai manusia dia tidaklah sejahat seperti halnya Hek-tiauw Lo-mo yang terkenal sebagai seorang manusia iblis itu. Tadi aku sudah merasa heran bagaimana seorang dara seperti engkau, murid adik angkatku, juga dapat menjadi puteri iblis Hek-tiauw Lo-mo. Kiranya engkau bukan puterinya! Hwee Li, engkau memiliki kepandaian, engkau harus berusaha untuk meloloskan diri dari tempat berbahaya ini!"

"Ahhh, tidak mudah, Bibi." Hwee Li lalu menceritakan keadaan lembah itu dan betapa semua daya upayanya gagal. "Malah Liong Bian Cu sudah bersiap-siap, pernikahan akan diadakan beberapa pekan lagi. Aku khawatir, Bibi, apa lagi melihat Bibi ditawan pula. Aku harus dapat menolong Bibi dari tempat ini!"

"Tak perlu engkau mengkhawatirkan diriku, Hwee Li. Pangeran Liong Bian Cu, sebagai cucu Raja Nepal, adalah musuh dari negaraku. Dia menawanku tentu dengan maksud menjadikan aku sebagai sandera untuk memukul negaraku. Tetapi engkau..., engkau menghadapi bahaya langsung yang sudah makin dekat saatnya, maka kau harus dapat lolos dari sini."

Demikianlah, dua orang wanita itu sekarang menjadi akrab sekali dan bercakap-cakap mencari jalan untuk dapat lolos dari tempat itu. Akan tetapi, mereka akhirnya maklum bahwa jalan untuk lolos sama sekali buntu. Agaknya, tanpa ada bantuan dari luar, tidak mungkin bagi mereka untuk meloloskan diri. Akan tetapi Hwee Li tidak putus harapan. Dia masih mempunyai harapan untuk lolos, yaitu pada saat pernikahan di mana dia percaya tentu banyak hadir tokoh kangouw yang lihai. Siapa tahu, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang mau membantunya, dan dia percaya pula bahwa orang orang seperti suhu-nya dan subo-nya, seperti Suma Kian Bu si Siluman Kecil, Suma Kian Lee, dan orang-orang gagah lainnya tidak akan tinggal diam kalau mendengar bahwa dia dipaksa menikah dengan Pangeran Liong Bian Cu!

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang