Jilid 22/62

1.5K 15 0
                                    

Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang tersembunyi, dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan. Goa besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap. Goa itu terletak di antara batu-batu karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai.

Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang dan malam, merupakan dendang yang tiada hentinya sehingga menciptakan suasana yang aneh dan berbeda sekali dari suasana di darat dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas goa itu adalah sebuah bukit batu karang yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri goa terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang merupakan berkah bagi penghuni goa karena memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan. Goa itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.

"Jangan terlalu jauh meninggalkan goa," kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai. "Sekarang belum aman benar. Siapa tahu orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapa pun mereka, jangan harap akan dapat merampasmu dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka."

Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini bekerja membersihkan goa, kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biar pun dia seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja Bhutan membuat dia tidak canggung melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di dalam dapur!

Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam goa. Heran dia mengapa di sebelah dalam goa itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan goa, angin bersilir tiada hentinya. Namun di dalam goa, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali! Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang berlubang dan ada tembusannya. Goa itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa lain dari luar mengalir masuk.

Setelah mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati tenang dan perut lapar ditambah tubuh yang lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.

Namun Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat berjumpa dengan Siang In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas panjang. Apa lagi yang akan dialaminya selanjutnya?

Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang gagah perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram.

Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan! Dia menarik napas panjang. Dia amat mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi orang tersesat, bahkan membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan benar? Betapa pun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.

"Syanti Dewi...!" Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Goa Tengkorak.

Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?

"Enci Syanti Dewi...!" Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular.

Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah Siang In? Dia curiga sekali. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari luar goa? Bukankah goa ini adalah tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri? Mengapa gadis itu tidak mau langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara mencurigakan?

Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia kang-ouw amat licik dan curang, dan oleh karena itu dia tetap saja diam mendengarkan, tidak mau tergesa-gesa keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tidak lama kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biar pun masih dengan suara mendesis agar tidak terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.

"Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi berada di sini!"

Syanti Dewi terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari kamarnya, terus berjalan keluar goa yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di kamar See-thian Hoat-su saja.

Di luar goa juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia melihat sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar goa itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra Dewi atau Ceng Ceng adanya!

Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia ramai, jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang! Mereka mencium jejak putera mereka itu dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu. Kini Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu.

Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang terculik oleh seorang penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada 'Puteri Bhutan' dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Jangan-jangan Syanti Dewi yang lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini!

Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Goa Tengkorak pada malam hari itu. Tetapi dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu menggunakan tenaga khikang-nya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.

"Adik Ceng...!" Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.

"Enci Syanti...!"

Dua orang wanita ini saling rangkul.

"Aihhh, kiranya benar engkau, Enci Syanti!"

"Adik Candra... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu..."

Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat-cepat mendorong tubuh Syanti Dewi, "Enci, menjauhlah!" katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.

"Desssss...!"

Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mukjijat. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang sekarang menjadi suaminya, telah berhasil memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, walau pun untuk itu Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu.

Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia telah memperoleh tenaga mukjijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mukjijat itu dengan baiknya, di samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.

Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka saling bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya.

Tadi kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak berani sembrono menyerbu ke dalam goa dan hanya menanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri. Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar goa membuat dia terheran-heran, akan tetapi giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam goa dan cepat dia lalu menerjang wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya terlempar ke belakang sampai jauh!

Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam goa sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka Ceng Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran yang amat seru dan dahsyat di depan goa, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua lebih mengandalkan ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan dari pada ketajaman pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu.

Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek botak dari dalam goa, dia terkejut. Kakek itu adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhenti berkelahi karena mereka bukanlah musuh, akan tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat memondongnya dan menyelinap pergi di dalam kegelapan malam.

Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.

"Plak-plakkk!"

Untuk ke sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali, maklum bahwa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mukjijat dan kalau saja pertandingan itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat tergetar dan rusak!

Maka dia kemudian mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihirnya untuk mengalahkan lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir, akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir oleh karena sekali saja terkena pukulan wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, akan sangat berbahaya baginya.

Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ternyata adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.

Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan kawan-kawannya yang tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja dan tidak pernah dipergunakannya.

Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi, melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.

"Ihhhhh...!" See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitaman yang mendirikan bulu roma itu.

"Penculik hina dina!" Ceng Ceng lalu memaki. "Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, maka engkau pun akan tewas di tanganku!" Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban dengan ganasnya!

"Heiii... nanti dulu...!" See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, "Nanti dulu, nanti dulu!"

"Kau mau bicara apa lagi?" Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar seperti mata seekor naga berapi hingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa ragu-ragu apakah dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya.

"Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Aneh... sungguh aneh sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan benarkah dia ini adikmu?"

Akan tetapi, tentu saja tak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh dan mencari Syanti Dewi.

"Enci Syanti Dewi...! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!" teriaknya pula.

Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari cari, namun Puteri Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

"Celaka...!" See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya. "Selagi kita berdua saling hantam, ada orang ketiga yang datang dan membawanya lari!"

Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu. "Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan mengejar!" Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat dan mencari-cari.

Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam berganti pagi. Akhirnya mereka kembali ke depan goa dan saling berjumpa di depan goa dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut putih itu.

"Siapakah Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?" tanyanya sambil memandang tajam.

See-thian Hoat-su bersungut-sungut. "Kalau kau benar-benar adiknya, mengapa datang malam-malam seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian mengerikan?"

Ceng Ceng membelalakkan matanya. "Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!" Tentu saja dia pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya pergi.

"Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan. Sekarang saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir."

"Aaahhhhh...!" Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini."

"Sayalah yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini perbuatan dewa hitam itu!"

"Dewa hitam? Apa pula maksudmu, Toanio?" See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, "Mari kita bicara di dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tuturkan."

Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lenyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini ditambah lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa semakin gelisah dan berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia masuk ke dalam goa besar, dia hanya mengangguk dan mereka lalu memasuki tempat itu.

Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat seorang dara cantik dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat. Penghuni dusun lalu menyebar luaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.

"Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, dan menduga bahwa Enci Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil Enci Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan sempat berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga dia terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul dan menyerang saya. Karena mengira bahwa tentu Locianpwe adalah sekutu dari penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti."

See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. "Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?"

"Pesta apa yang Locianpwe maksudkan?" Ceng Ceng bertanya.

Kakek itu menarik napas panjang. "Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya," katanya. "Ketika itu aku sedang bertapa dan mengundurkan diri di goa ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah menjadi isteriku itu..." dia berhenti dan menghela napas panjang.

"Nenek Durganini...?" Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah nenek itu.

"Siapa lagi kalau bukan dia?" Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang dan marah-marah, katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi."

"Ahhh...? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada di sini lagi."

"Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini dan hendak menghajarnya." Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan muridnya.

"Nenek gila itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu meninggalkan nenek gila itu dan pergi ke puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap hendak menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi."

Ceng Ceng mengerutkan alisnya. "Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada di tempat ini?"

"Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga tunangannya, Ang Tek Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang mengunjunginya dan muridku itulah yang sudah membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak mencari Tek Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang."

"Hemmm, sungguh kasihan Enci Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?"

Kakek itu mengepal tinjunya. "Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi, Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya terdapat dalam dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?"

Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. "Sudah berbulan-bulan saya dan suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang."

"Hilang?"

"Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami belum berhasil."

"Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan berpikir panjang untuk melakukan hal itu," kata See-thian Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang yang berani menculik puteranya?

"Buktinya ada yang menculiknya!" kata Ceng Ceng gemas. "Kalau saja aku dapat menangkap penculik hina itu!" Dan dia mengepal tinjunya.

See-thian Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah merasakan kelihaian nyonya muda ini, apa lagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!

"Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagai mana ciri-cirinya?"

"Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe," kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya. "Nama putera kami itu adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan matanya lebar, di bawah telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya."

"Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku akan berangkat hendak mencari jejak Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu."

"Terima kasih, Locianpwe."

Mereka keluar dari dalam goa dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di sepanjang jalan See-thian Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya, sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan. Tadinya, setelah muridnya Siang In meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai, bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat pertapaannya, di Goa Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia! Dan setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa bersalah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.

"Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai..." gerutunya, namun tetap saja dia melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat goanya, dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang