Jilid 20/62

1.5K 16 0
                                    

"Hemmm, katanya mencari jamur, kiranya hanya mencari perempuan untuk dicumbu rayu. Huh, dasar laki-laki cabul!"

Kian Bu terkejut bukan main. Dia menoleh dan kiranya dara cantik jelita itu telah berdiri di atas batu dan burung garudanya hinggap di pohon yang tumbuh tinggi di dinding tebing. Tentu saja sukar mendengarkan suara halus dari gerakan sayap yang menahan peluncuran mereka tadi dan tahu-tahu gadis itu telah berada di situ, mengeluarkan kata kata yang mengejek dan dengan pandang mata yang marah dan mengandung hinaan pula.

"Ahh, jangan sembarangan bicara!" bentaknya marah, akan tetapi tentu saja dengan perasaan tidak enak dia melepaskan pelukannya yang tadi dilakukan untuk mencegah Cui-ma lari dan membiarkan wanita itu menangis.

Tiba-tiba Cui-ma menjerit nyaring sekali. "Siluman datang hendak mencabut nyawaku!" Dia menoleh ke arah dara itu, lalu melarikan diri dengan cepat berloncatan ke atas batu batu yang besar-besar dan berserakan di tempat itu.

"Cui-ma...!" Kian Bu berteriak mengejar. Akan tetapi seperti orang nekat Cui-ma telah lari cepat berloncatan membabi-buta. Tiba-tiba dia tergelincir dan terbanting jatuh ke depan.

"Prakkk!" terdengar suara dan tubuhnya terguling, tidak bergerak lagi.

"Cui-ma...!" Kian Bu melompat dan cepat berlutut di atas batu di mana Cui-ma roboh tadi. Dia memeriksa dan menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah dara cantik yang masih berdiri itu.

"Dia telah mati...," katanya seperti orang mengeluh.

"Mati...?" Gadis itu cepat berlari menghampiri, terbelalak memandang wanita setengah tua yang kini kepalanya pecah berlumuran darah.

Kiranya ketika terjatuh tadi, kepalanya menimpa batu keras dan pecah sehingga dia tewas seketika! Dan baru sekarang Hwee Li mendapat kenyataan bahwa wanita yang dipeluk oleh Kian Bu tadi ternyata adalah seorang wanita setengah tua yang mukanya kotor menjijikkan dan yang agaknya adalah seorang wanita yang tidak waras otaknya.

"Dia siapa? Kenapa?" tanyanya sambil memandang kepada Kian Bu.

Tetapi Kian Bu masih merasa marah, sedih dan kecewa melihat nasib Cui-ma sehingga dia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, malah tidak mempedulikannya lagi dan dia memondong mayat Cui-ma, dibawanya ke tempat yang ada tanahnya. Dia menggali lubang tanpa bicara sepatah kata pun, kemudian mengubur mayat Cui-ma di situ, di depan sebuah goa. Akhirnya dia membersihkan kedua tangannya sambil menghela napas.

"Suma Kian Bu, kau menganggap dirimu ini siapa sih? Sikapmu begitu sombong!" Hwee Li yang sejak tadi diam saja dan menonton semua yang dilakukan Kian Bu sambil duduk di atas batu besar, kini menegur dengan wajah cemberut karena dia merasa sama sekali tidak diacuhkan oleh pemuda itu.

Kian Bu menengok dengan alis berkerut. "Engkau telah membuat dia ketakutan dan menjadi sebab kematiannya, dan kau sama sekali tidak menyesal?"

"Ehh, ehh! Siluman Kecil, ngawur saja bicaramu! Bagaimana duduk perkaranya maka kau katakan bahwa aku menjadi sebab kematiannya?" Hwee Li berseru sambil bangkit berdiri dan bertolak pinggang, wajahnya merah karena marahnya.

"Hemmm, pemarah benar gadis ini," pikir Kian Bu. Akan tetapi dia tak mau kalah karena memang merasa kasihan sekali kepada Cui-ma dan mendongkol melihat kedatangan gadis itu yang mengejutkan Cui-ma.

"Kau telah mengejutkan dia, mengira engkau siluman maka dia lari lalu terjatuh. Apa kau tidak melihat itu?"

"Huh, kalau dia menganggap aku siluman, apakah itu kesalahanku? Kalau dia takut melihat aku lalu lari seperti gila, apakah itu juga kesalahanku? Kalau kau yang dekat dengan dia tidak mampu mencegah dia lari, apakah itu pun kesalahanku? Kalau memang wajahku jelek sekali seperti siluman sehingga membikin dia takut, apakah itu juga kesalahanku?" Diberondong oleh ucapan yang nadanya menantang dan mengejek, namun tak dapat dibantah kebenarannya itu membuat Kian Bu merasa tidak enak dan serba salah. Memang kalau dipikir benar-benar, tentu saja munculnya gadis itu tidak salah dan tidak sengaja hendak mengagetkan Cui-ma.

"Kau tidak berwajah jelek...," saking bingungnya dia membantah kalimat terakhir itu.

"Sudah jelas dia menyangka aku siluman sehingga dia ketakutan! Wajahku jelek seperti siluman, dan apa dayaku?"

Kalau dia diserang dengan kata yang mengandung kemarahan, agaknya Kian Bu akan dapat membalas karena dia pun terhitung seorang yang pandai bicara, bahkan dahulu sebelum dia menjadi Siluman Kecil, dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan pandai menggoda orang lain dengan kata-kata, akan tetapi sekarang melihat dara itu memburuk-burukkan diri sendiri, dia menjadi makin tidak enak.

"Tidak, tidak..., sebaliknya malah, kau cantik sekali..."

"Huh, sudah keluar pula sifat cabulnya!" Hwee Li mengejek.

Suma Kian Bu makin bingung. Celaka, gadis ini benar-benar membikin orang menjadi kewalahan dan mendongkol sekali! "Maksudku, kau tidak jelek dan karena cantik itu agaknya dia menyangka kau siluman. Tentu saja bukan salahmu, akan tetapi, ahh, aku kasihan sekali padanya. Nasibnya demikian buruk sampai matinya..." Dan pemuda itu memandang ke arah gundukan tanah campur batu yang menjadi kuburan Cui-ma itu.

Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari pemuda itu, rasa penasaran Hwee Li juga mereda dan dia bertanya sambil memandang ke arah kuburan itu, "Siapakah dia itu?"

"Namanya Cui-ma, dia pelayan dari Ang Siok Bi yang telah menjadi gila karena tekanan batin yang hebat dan dia sampai di sini karena dilempar ke Sungai Huang-ho dan hanyut oleh pusaran air."

"Ihhh...! Siapa yang melakukannya dan kenapa? Siapa pula itu Ang Siok Bi?"

"Dia adalah ibu Ang Tek Hoat."

"Ang Tek Hoat...? Ang Tek Hoat? Serasa pernah aku mendengar nama itu!" Hwee Li mengerutkan alisnya sambil mengingat-ingat.

"Mungkin saja. Dia pernah terlibat dalam urusan pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong. Dia terkenal dengan julukannya si Jari Maut, Ang Tek Hoat."

"Ahhh...! Benar! Wah, dia terkenal sekali dan orang itu amat menarik. Kau bilang bahwa wanita tadi adalah pelayan ibu si Jari Maut?"

Melihat betapa Hwee Li amat tertarik, maka dengan singkat Kian Bu lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Cui-ma dan tentang cerita Cui-ma bahwa ibu dari Tek Hoat telah dibunuh oleh orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh orang yang bernama Mohinta, seorang panglima dari Bhutan yang lihai. Hwee Li mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia kembali memandang ke arah kuburan itu.

"Maafkan aku, tadinya kusangka..."

"Kau sangka apa?"

"Dari atas tadi kulihat engkau memeluk seorang wanita, kelihatan kalian seperti sedang bercinta-cintaan dan bermesra-mesraan."

Kian Bu sudah mendapatkan kembali sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang. "Andai kata benar demikian, mengapa?"

Kedua pipi itu berubah merah dan matanya bersinar marah. "Aku sih tidak peduli! Akan tetapi karena kau bilang hendak mencarikan obat untuk Suma Kian Lee, dan melihat kau bermain gila, maka aku sudah menegurmu."

"Obat? Ahh, benar! Agaknya aku sudah menemukan tempatnya, berkat petunjuk dari Cui-ma," berkata demikian, Kian Bu lalu melangkah menuju ke goa yang ditunjuk oleh Cui-ma tadi.

Hwee Li cepat mengikutinya dan mereka berdiri di depan goa besar yang agak gelap karena sinar matahari tidak dapat langsung masuk ke dalamnya. Akan tetapi lambat laun mata mereka sudah menjadi biasa dan ketika mereka memasuki goa, kelihatanlah oleh mereka banyak sekali kerangka kecil di situ.

"Hemmm, Cui-ma bilang bahwa goa ini penuh tengkorak bayi dan anak kecil. Agaknya inilah goa Tengkorak itu...," kata Kian Bu sambil memandang tengkorak dan tulang tulang yang berserakan.

"Tidak ada tengkorak bayi atau anak kecil. Ini adalah tengkorak dan kerangka binatang, semacam monyet, hanya mukanya seperti anjing. Hemmm, tidak salah lagi, ini adalah kerangka binatang baboon yang tubuhnya monyet dan mukanya anjing. Ini agaknya menjadi kuburan mereka."

"Dan Cui-ma bilang di sini terdapat mata iblis...," kata pula Kian Bu.

Mereka masuk terus ke dalam goa yang agak panjang itu. Tiba-tiba Hwee Li berseru, "Ihhhhh..." dan otomatis tangannya memegang tangan Kian Bu.

Pemuda ini pun terkejut sehingga dia pun membalas pegangan tangan itu. Mereka saling berpegang tangan dan jantung mereka berdebar tegang. Jauh di sebelah dalam, di tempat gelap, nampak banyak mata yang mencorong dan bersinar-sinar memandang ke arah mereka! Bukan mata manusia, bukan pula mata binatang, dan agaknya itulah mata iblis yang ditakuti oleh Cui-ma.

Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan melepaskan tangannya. "Ahhh, memang benda yang berkilau dan mengeluarkan sinar, akan tetapi lihatlah, sinarnya tidak pernah bergerak. Bukan mata, melainkan benda-benda bersinar."

"Benar engkau, Nona. Dan agaknya inilah yang kucari-cari. Lihat, bukankah sinarnya berubah-ubah dan seperti warna pelangi? Inilah jamur panca warna itu! Dan menurut penuturan Sai-cu Kai-ong, jamur itu hanya mengeluarkan sinar di tempat gelap, kalau di tempat terang tidak bersinar."

Kian Bu mendekat, berjongkok dan menggunakan tangannya mencabuti jamur-jamur itu. Jamur-jamur itu masih bersinar-sinar di tangannya ketika dia bawa keluar, akan tetapi setibanya di luar, jamur-jamur itu kehilangan sinarnya dan berubah sebagai jamur biasa saja!

"Inilah obatnya, tidak salah lagi!" Kian Bu berseru dan menoleh ke arah kuburan Cui-ma sambil berkata, "Terima kasih, Cui-ma, engkau telah menyelamatkan kakakku."

"Belum tentu," tiba-tiba Hwee Li berkata. "Kalau kau tidak dapat keluar dari sini dan cepat-cepat memberikan jamur itu kepada kakakmu, mana bisa dia tertolong? Mari, kuantar kau naik."

Hwee Li mengeluarkan suara melengking dan burung garuda itu menyambar turun lalu hinggap di atas batu di depan gadis itu. "Siluman Kecil..."

"Namaku Suma Kian Bu, Nona."

"Sebaiknya sekarang kukenal sebagai Siluman Kecil saja. Kau akan kubantu agar dapat naik ke sana."

"Terima kasih, Nona. Akan tetapi..." Kian Bu meragu karena dia merasa 'ngeri' kalau harus duduk membonceng lagi. Dia tidak berani tanggung kalau tidak akan bangkit birahinya lagi duduk berhimpitan dengan nona yang amat cantik itu.

"Kau kira akan membonceng? Aku pun tidak mau...!"

"Kalau aku duduk di depan..."

"Huh, di depan pun berbahaya. Seorang cabul seperti engkau!"

"Kalau begitu kau tinggalkan saja aku di sini, Nona, aku akan mencari jalan ke luar sedapatku dan aku tidak mau menyusahkanmu."

"Sombong!" Hwee Li lalu meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung garudanya dan burung itu pun terbang ke atas. Hwee Li menjenguk ke bawah sambil berteriak, "Kau bergantunglah pada ini!" Dan sehelai sabuk sutera merah muda meluncur ke bawah.

Kian Bu tersenyum. Memang banyak akalnya nona ini, pikirnya dan karena dia harus cepat-cepat dapat kembali ke kakaknya, maka dia pun lalu meloncat dan menangkap ujung sabuk sutera itu, bergantung di udara. Gadis itu mengeluarkan suara melengking dan burungnya terbang ke atas dengan cepat sekali. Tubuh Kian Bu tetap bergantung dan diam-diam pemuda perkasa ini merasa ngeri juga. Ia tahu bahwa nyawanya berada di telapak tangan nona itu karena sekali saja nona itu melepaskan sabuk, betapa pun tinggi kepandaiannya, dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan nyawanya lagi.

Untuk keluar dari tempat itu, belum tentu akan dapat dilakukannya dalam waktu berhari hari karena dia harus akan mencari-cari jalan lebih dulu, tetapi dengan menggantung pada sabuk sutera itu, dalam waktu beberapa menit saja dia sudah tiba di atas tebing dan dia meloncat turun. Burung garuda itu terbang perlahan-lahan, berputaran di atas kepalanya dan gadis itu menjenguk ke bawah. "Siluman Kecil, kau cepat bawa obat itu kepada kakakmu!"

Kian Bu menjura ke arah gadis itu dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, "Engkau sungguh amat baik, Nona. Engkau telah menolong aku dan berarti engkau telah menyelamatkan nyawa kakakku. Aku menghaturkan terima kasih atas bantuanmu."

"Aku tidak membantumu! Kalau tidak ingat kepada kakakmu, apa kau kira masih hidup setelah apa yang kau lakukan di atas punggung garuda kemarin?"

Wajah Kian Bu terasa panas dan menjadi merah sekali. "Nona, semua itu terjadi tanpa kusengaja, apakah kau tidak dapat memaafkan aku?"

"Sudahlah, cepat pergi dan obati kakakmu."

"Tapi tinggalkan dulu namamu, Nona."

"Aku tidak ingin menjadi kenalanmu."

"Akan tetapi kalau kakakku bertanya siapa adanya dewi kahyangan yang menolongnya bagaimana aku akan menjawab?"

Disebut dewi kahyangan, Hwee Li tersenyum. "Engkau memang perayu besar! Katakan saja bahwa lima enam tahun yang lalu aku pernah mengobati luka di paha kakakmu!" Setelah berkata demikian dia menepuk punggung garudanya yang terbang cepat ke atas.

Kian Bu menjadi bengong. Pernah kakaknya dahulu bercerita betapa ketika kakinya terluka parah, terkena ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, paha kakaknya yang terluka itu diobati dan disembuhkan oleh seorang gadis cilik yang bernama Kim Hwee Li, yaitu puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Jadi gadis cantik jelita itu adalah puteri ketua Pulau Neraka!

"Engkau Kim Hwee Li dari Pulau Neraka?" Dia berseru nyaring ke arah burung garuda yang sudah terbang tinggi. Tidak ada jawaban kecuali suara melengking nyaring yang makin menjauh, entah lengking gadis aneh itu ataukah lengking garuda.....

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang