Jilid 46/62

1.4K 14 0
                                    

"Kau...! Kau boleh sekalian maju membelanya, boleh dikeroyok dua aku tidak akan surut selangkah pun!" bentaknya dan pedangnya sudah digerakkan menyerang Siang In.

"Bocah bermulut lancang dan kurang ajar!" Siang In juga sudah marah sekali dan dia menganggap dara berpakaian hitam itu benar-benar tidak tahu sopan santun serta sombong sekali, maka dia cepat menggerakkan payungnya dan menangkis.

"Cringgg... Tranggg...!"

Bunga api berpijar ketika ujung payung bertemu dengan ujung pedang dan berkali-kali mereka sudah mengadu senjata dan saling serang dengan hebatnya!

"Eh-eh, apa yang terjadi ini...?" Tiba-tiba Kian Bu telah datang dengan loncatan kilat, di tangan kirinya dia memegang seekor kelinci gemuk.

"Bu-te...!"

"Ohhh, Lee-ko...!" Kian Bu girang bukan main melihat kakaknya, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada dua orang dara yang sedang bertanding hebat itu.

Dia kagum juga melihat Siang In yang dapat mengimbangi gerakan pedang Hwee Li yang ganas, dan melihat gadis itu memainkan payungnya dengan gaya yang demikian indah seperti orang menari, teringatlah dia. Gadis berpayung! Tentu saja! Mana mungkin dia dapat melupakan seorang gadis seperti Siang In? Apa lagi seorang gadis yang pernah diciumnya? Gadis itu kini makin dewasa dan makin cantik jelita!

Karena bingung dan khawatir melihat pertandingan dengan senjata itu, Kian Bu tanpa disadarinya sendiri melepaskan kelinci yang tadi dengan susah payah ditangkapnya dan dia mendekati tempat pertempuran itu sambil berseru, "Nanti dulu! Tahan senjata! Aihhh, berbahaya sekali...!"

Siang In meloncat ke belakang dan tentu saja dia segera mengenal Siluman Kecil! Dan setelah kini dia melihat wajah Siluman Kecil, hampir dia menjerit! Itulah dia orang yang dicarinya selama ini! Suma Kian Bu! Tapi dia itu Siluman Kecil. Lihat rambutnya yang putih semua!

"Kau... Siluman Kecil ataukah Suma Kian Bu...?" tanyanya dengan suara tertahan-tahan dan mukanya berubah agak pucat.

Kian Bu tersenyum dan menjura. "Kedua-duanya, boleh pilih yang mana pun..."

Kini tahulah Siang In bahwa orang yang selama ini dicari-carinya bukan lain adalah Siluman Kecil! Dan Siluman Kecil kini agaknya bersama dara cantik berpakaian hitam ini, buktinya kini Siluman Kecil berdiri di dekat dara berpakaian hitam itu, kelihatan memihaknya. Sungguh aneh sekali, dia merasa betapa hatinya panas bukan main, panas dan marah.

"Bagus! Kau boleh maju sekalian mengeroyokku!" katanya dan dengan hebat dia sudah menerjang maju dengan payungnya, menyerang Hwee Li.

"Siluman jahat!" Hwee Li juga memaki dan pedangnya bergerak menangkis, lalu dia balas menyerang yang juga dapat ditangkis oleh Siang In.

Terjadilah pertandingan yang amat seru, sengit, namun sedemikian indah gerakan kedua orang dara yang sama cantiknya ini sehingga dua orang kakak beradik dari Pulau Es itu sampai melongo dan amat tertarik. Terdapat persamaan gerakan dari kedua orang dara itu, keduanya seperti sedang menari-nari, bukan sedang berkelahi, apa lagi karena senjata Siang In adalah sebatang payung yang dapat terbuka dan tertutup. Dan gerakan Hwee Li juga indah sekali. Hal ini tidaklah aneh karena selama dia tinggal bersama Puteri Syanti Dewi, Hwee Li diajari menari oleh Puteri Bhutan itu dan memang Hwee Li suka sekali menari sehingga gerakan silatnya tanpa disadarinya sendiri telah kemasukan gerak tari yang indah, namun tidak kehilangan keganasannya!

Kakak beradik itu saling pandang dari jauh dan keduanya mengangguk, seolah-olah dengan pandang mata mereka itu keduanya sudah sepakat untuk membiarkan dua orang dara yang sama cantik jelita dan sama pandainya menari dan bersilat itu melanjutkan pertandingan mereka dan mereka berdua diam-diam menjaga untuk melindungi dan mencegah kalau sampai ada bahaya mengancam keduanya dari perkelahian itu!

Siang In yang sudah menjadi marah dan kini juga penuh dengan hati panas melihat betapa Kian Bu yang dicari-carinya selama ini ternyata berduaan dengan dara cantik ini, membuat kemarahannya bertumpuk-tumpuk, kini mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, permainan payungnya yang didapatnya dari gurunya, yaitu See-thian Hoat-su kakek yang bertapa di Goa Tengkorak. Memang senjata payung adalah senjata yang istimewa dan karena keanehannya ini maka membingungkan lawan. Apa lagi ketika payung itu terbuka tertutup seperti permainan pedang yang dilindungi tameng, bahkan batangnya yang bengkok itu dipergunakan oleh Siang In untuk mengait leher lawan, sejenak Hwee Li menjadi terdesak dan dibikin kacau permainan pedangnya. Akan tetapi tentu saja Siang In tidak dapat merobohkannya, apa lagi menerobos lingkaran sinar pedang yang hebat itu, hanya mampu mendesak dara pakaian hitam itu.

"Serang gagang payungnya, serang bagian tengah tubuhnya!" Tiba-tiba Kian Bu berkata lirih namun terdengar jelas oleh Hwee Li dan juga tentu saja oleh Siang In.

Mendengar ini, Hwee Li melihat lowongan itu dan begitu gagang pedang menyambar ke arah gagang payung, Siang In menjadi sibuk dan cepat dia menarik payungnya ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hwee Li dengan baik.

"Haiiittttt...!" bentaknya dan dia menekuk lengan kirinya, menyikut perut Siang In!

"Ihhhhh...!" Siang In terkejut dan mengangkat kakinya mengelak.

Nyaris perutnya kena disikut! Hwee Li menang angin dan terus mendesak dengan pedangnya sehingga Siang In terpaksa mundur-mundur sambil memutar payungnya yang terbuka seperti perisai. Kini berbalik terdesaklah Siang In dan hatinya makin panas, makin sakit melihat kenyataan betapa Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari carinya sampai dia jauh-jauh pergi ke Bhutan, pemuda yang seringkali membuatnya bangun dari tidur karena mimpi, pemuda yang pernah menciumnya, selain gulang gulung dengan dara pakaian hitam yang cantik jelita ini, juga membantu dara ini dan memberi petunjuk sehingga hampir saja dia mati! Betapa kejam hati pemuda itu! Siang In merasa kedua matanya panas dan dia menahan air matanya ketika dia terus memutar payungnya melindungi tubuhnya dari serangan pedang yang amat ganas dari lawannya.

Mendadak terdengar Kian Lee berkata, "Pertahanan bawahnya lemah, pergunakan tendangan untuk menghalau desakan!"

Juga suara Kian Lee ini jelas terdengar oleh kedua orang dara itu. Siang In menjadi girang dan cepat dia menggunakan kedua kakinya menendang secara bertubi-tubi dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-twi. Kedua kakinya bergerak dengan cepat sekali dan payungnya tetap menahan pedang Hwee Li di bagian atas. Terkejutlah Hwee Li. Terkejut dan juga marah bukan main. Kian Lee telah membantu perempuan ini! Hampir dia menjerit dan menangis! Jelas bahwa Kian Lee mencinta perempuan cantik ini, tentu Kian Lee telah terpikat oleh kegenitan wanita ini! Dia terpaksa mundur lagi agar jangan sampai terkena tendangan.

Pertandingan itu menjadi makin seru dan makin indah, juga lucu. Kadang-kadang Kian Bu memberi petunjuk kepada Hwee Li, dan sebaliknya Kian Lee memberi petunjuk kepada Siang In. Sebetulnya, kedua orang kakak beradik ini memberi petunjuk tanpa maksud untuk mencelakakan seorang di antara kedua dara itu, melainkan merasa sudah sepatutnya memberi petunjuk teman seperjalanan yang terdesak.

Biar pun mereka memberi petunjuk, namun di dalam hati mereka tidak berpihak, bahkan selalu menjaga untuk segera turun tangan mencegah kalau sampai ada yang terancam bahaya terluka. Tetapi, tanpa mereka sadari, sikap mereka ini makin menghancurkan hati dua orang dara itu yang terus bertanding mati-matian dengan hati dibakar cemburu dan kebencian!

Kalau dibuat perbandingan tingkat kepandaian silat antara dua orang dara itu, harus diakui bahwa tingkat kepandaian Hwee Li sedikit lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Siang In. Hwee Li semenjak kecil sudah digembleng oleh seorang yang amat tinggi kepandaiannya seperti Hek-tiauw Lo-mo. Sebagai anak angkat yang dicintanya, tentu saja kakek iblis itu menurunkan semua ilmunya kepada Hwee Li.

Kemudian, Hwee Li menjadi murid dari Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Sungguh pun menurut janjinya dahulu Hwee Li hanya akan berguru tentang racun dan pukulan beracun, akan tetapi karena Ceng Ceng kini tidak lagi menyukai ilmu itu, guru ini telah menurunkan ilmu-ilmu silat, bahkan telah 'membersihkan' ilmu silat dari kaum hitam yang dipelajari oleh dara itu dari ayah angkatnya.

Maka tidaklah mengherankan apa bila dalam pertempuran ini, akhirnya Hwee Li yang dapat mendesak Siang In dengan sinar pedangnya yang memang hebat sekali itu. Sifat dari ilmu pedang yang dimainkan oleh Hwee Li masih amat ganas dan dahsyat, sungguh pun Ceng Ceng sudah banyak menyuruhnya membuang bagian-bagian yang terlalu ganas dan keji.

Karena memang kalah dalam hal mainkan senjata, akhirnya Siang In yang sudah marah dan tak mau kalah itu kemudian menggunakan kekuatan sihirnya. Dia berkemak-kemik, mengerahkan kekuatan batinnya dan memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar, lalu terdengar dia bersuara seperti orang bersenandung, "Nona pakaian hitam yang galak, engkau sudah lelah dan menyerahlah kepada nonamu, berlututlah..."

Aneh sekali, mendengar senandung ini, tiba-tiba saja Hwee Li merasa tubuhnya lemas dan kehilangan tenaga. Pada saat itu, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut kalau saja tidak terdengar suara Kian Bu yang mengeluarkan bunyi melengking panjang. Suara lengking yang aneh dan perlahan, akan tetapi penuh getaran dan seketika Hwe Li merasa biasa kembali dan pedangnya kembali menjadi ganas. Kembali Siang In merasa hatinya tertusuk, karena untuk ke sekian kalinya Kian Bu membantu Hwee Li.

Tadinya, kedua kakak beradik ini hanya ingin menonton permainan silat yang indah itu dan saling membantu supaya tidak sampai ada yang celaka, akan tetapi lambat-laun mereka berdua terseret pula dan masing-masing merasa heran.

Kian Lee mulai memandang dengan terheran-heran dan dengan hati penuh pertanyaan. Adiknya itu membela Hwee Li mati-matian, dan mereka berdua juga sudah melakukan perjalanan bersama, kelihatan begitu mesra! Dan memang adiknya itu mempunyai watak yang cocok sekali dengan Hwee Li. Ah, mengapa dia begitu bodoh? Tidak salah lagi, adiknya itu, Kian Bu, tentu jatuh cinta kepada puteri Hek-tiauw Lo-mo ini!

Dia tidak tahu bahwa diam-diam Kian Bu juga menduga demikian. Kakaknya melakukan perjalanan bersama dengan Siang In dan kakaknya membantu Siang In mati-matian. Siang In memang cantik jelita dan demikian menarik, maka sudah sepatutnyalah kalau kakaknya itu jatuh cinta kepada dara itu. Diam-diam dia merasa bersyukur sungguh pun ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya.

Mengapa tidak kepada Hwee Li kakaknya mencinta? Dia tahu benar bahwa Hwee Li cinta kepada kakaknya! Hwee Li telah begitu berterus terang kepadanya bahwa dara ini amat mencinta Kian Lee, kakaknya. Dan kini melihat gejala-gejalanya, agaknya Kian Lee jatuh hati kepada dara berpayung yang memang sejak dulu pandai bergaya itu, cantik jelita, manis dan memikat sehingga sukar mencari keduanya dara seperti Siang In!

"Cukuplah, In-moi, cukuplah... kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu berkelahi...!" Akhirnya Kian Lee meloncat di antara kedua orang dara itu dan melerai. Juga Kian Bu meloncat di depan Hwee Li.

Melihat betapa Kian Lee menyebut 'ln-moi' demikian mesranya kepada dara itu, Hwee Li tak dapat menahan lagi kemarahannya dan dia lalu membalikkan diri dan lari dari situ sambil terisak menangis! Melihat ini, Kian Bu menjadi khawatir sekali dan juga mengejar dengan cepat. Akan tetapi Hwee Li tidak mau berhenti dan terus berlari, biar pun dihibur dan dibujuk oleh Kian Bu untuk berhenti.

"In-moi, mereka itu bukanlah orang lain..."

Akan tetapi baru berkata sampai di sini, Siang In yang hatinya makin panas melihat Kian Bu mengejar Hwee Li, juga membalikkan tubuhnya dan lari sambil menangis pula. Kian Lee terkejut dan cepat mengejar. Demikianlah, dua orang gadls itu melarikan diri ke jurusan yang berlawanan, dikejar oleh kedua orang pemuda itu yang tidak sempat untuk bicara lagi. Dua orang pemuda yang menjadi bingung sekali.

Setelah napasnya hampir putus karena berlari terus sambil menangis, akhirnya Siang In berhenti dan menjatuhkan dirinya di atas rumput. Muka dan lehernya penuh peluh dan mukanya agak pucat. Kian Lee juga duduk di atas rumput, hatinya menyesal sekali mengapa pertandingan itu berakibat sedemikian berlarut-larut.

"Jadi... jadi Siluman Kecil itu adalah adikmu, Suma Kian Bu itu?" Akhirnya Siang In berkata dengan terengah-engah.

"Benar, sudahkah engkau mengenalnya?" Kian Lee balas bertanya.

"Dan dara itu..., siapakah dia?"

"Ahh, dia itu bernama Kim Hwee Li, dia... puteri dari Hek-tiauw Lo-mo."

"Hemmm, pantas! Dan adikmu itu... Siluman Kecil itu agaknya jatuh cinta kepadanya, ya?"

Kian Lee merasa sukar untuk menjawab. Dia tidak tahu dengan pasti, tetapi melihat betapa tadi Kian Bu membantu dara pakaian hitam itu...! "Yah, agaknya begitulah," jawabnya tanpa dipikir panjang karena apa salahnya menjawab demikian, pikirnya. "Mari kita jumpai mereka."

"Tidak sudi! Kalau aku bertemu dengan perempuan itu, akan kubunuh dia!" tiba-tiba Siang In berkata, suaranya penuh kebencian.

Kian Lee terkejut bukan main dan mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu dengan penuh selidik. Tidak biasa Siang In marah-marah seperti ini! Maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak mempertemukan kedua orang dara yang sedang diamuk kemarahan itu.

Memang Hwee Li telah berlaku keterlaluan, pikirnya, melemparkan batu itu sehingga pakaian Siang In menjadi kotor. Dia tidak mengerti mengapa dara itu berbuat seperti itu. Dia menarik napas panjang karena menduga bahwa Hwee Li masih berwatak kekanak kanakan dan mungkin ketularan watak Hek-tiauw Lo-mo! Sayang, pikirnya. Dara itu tidak jahat seperti ayahnya, mudah-mudahan saja Kian Bu akan dapat mendidik dan menuntunnya ke jalan benar.

Sementara itu, Hwee Li akhirnya juga berhenti karena kehabisan napas. Dia duduk menangis. Kian Bu duduk di depannya, tidak dapat membuka mulut karena dia tahu bahwa Hwee Li marah bukan main. "Dia... dia telah jatuh cinta kepada gadis siluman itu!" teriaknya dan kembali dia menangis.

Kian Bu menarik napas panjang. Dia sendiri juga meragukan kakaknya, mungkin saja kakaknya jatuh cinta kepada Siang In. Memang dara itu amat cantik jelita! "Belum tentu, hanya dugaan saja...," katanya menghibur Hwee Li.

Dia tahu kini bahwa Hwee Li marah-marah karena cemburu, "Lebih baik kita jumpai mereka dan kita bicara dengan baik-baik. Gadis itu bukan musuh..."

"Hemmm, agaknya engkau sudah kenal dia. Siapakah dia?"

"Namanya Teng Siang In, dia murid dari See-thian Hoat-su..."

"Hemmm, kakek tukang sihir itu? Pantas saja dia menjadi siluman! Kalau aku bertemu dengan dia, harus kubunuh siluman itu!"

Melihat kemarahan dan kebencian Hwee Li, Kian Bu beranggapan bahwa memang belum waktunya menemui kakaknya dan Siang In, karena kalau hal itu terjadi, sukarlah untuk menahan gadis ini mengamuk! "Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau engkau tidak dapat menemukan jalan rahasia itu, sebaiknya kita langsung saja naik ke atas tembok benteng."

Pada saat Kian Bu bicara dengan Hwee Li dan Kian Lee bicara dengan Siang In itulah tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk dari jauh. Itulah suara pasukan-pasukan dari kerajaan yang mulai menyerbu benteng dan seperti kita ketahui, penyerbuan dua kali dalam sehari yang diatur oleh Puteri Milana itu mengalami kegagalan.....

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang