Jilid 56/62

931 8 1
                                    

Getaran-getaran cinta yang tak perlu lagi dinyatakan dengan kata-kata, yang dalam keadaan seperti itu sudah kehilangan arti dan fungsinya, bahkan hanya mendatangkan kecanggungan belaka. Bahasa cinta melalui getaran sentuhan, melalui senyum dan terutama melalui sinar mata sudah lebih dari cukup mewakili suara hati masing-masing, jauh lebih sempurna dari pada kata-kata yang biasanya hampa dan dibuat-buat. Getaran dan sinar mata tak mungkin dapat dibuat-buat seperti suara melalui kata-kata.

"Kian Bu, sebelum aku menjawab, aku ingin lebih dulu mengetahui isi hatimu. Jawablah, adakah engkau merasakan sesuatu dalam... dalam... ciuman tadi?"

"Ahhh...!" Dengan mesra Kian Bu merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya, jantungnya berdegup dekat telinga Siang In yang seolah-olah mendengar bisikan hati melalui degup jantung itu. "Siang In... aku merasakan sesuatu yang ajaib, seolah-olah langit terbuka dan kita berdua terbang ke angkasa, aku... aku... ah, sukar menceritakan apa yang kurasakan tadi sampai... sampai aku terkejut melihat engkau terkulai..."

Siang In menyandarkan kepalanya di dada yang kuat itu, kemudian dia berbisik halus, "...lanjutkan... lanjutkan..."

"Mula-mula aku merasa heran dan terkejut, lalu takut-takut untuk menciummu seperti yang kau minta, Siang In. Akan tetapi ketika aku melakukannya, ahhh... dunia seakan kiamat! Aku merasa seperti tidak berpijak di atas bumi lagi... dan... dan pada detik itu juga tahulah aku..." Kian Bu berhenti dan menunduk, mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu.

"Tahu apakah, Kian Bu...?" Suara itu makin lirih, berbisik dan gemetar.

"Aku tahu dan yakin benar, pada saat aku menciummu tadi, bahwa aku cinta padamu, Siang In."

Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Pengakuan inilah. Sungguh pun tadi dia telah merasakan cinta pemuda itu melalui ciuman, melalui tatapan mata, melalui sentuhan ujung jari-jari tangan, melalui degup jantung di dekat telinganya, namun belum puas hatinya kalau belum mendengar pengakuan itu melalui mulut.

Memang demikianlah keadaan kita manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita sudah terdidik dan terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata hingga kita semua terjerumus ke dalam dunia penuh kepalsuan yang tersembunyi di balik kata-kata manis! Dan kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata manis dan senyum buatan ini oleh kita dinamai peradaban. Sesungguhnya peradaban yang tidak beradab. Kita namakan pula kesopanan. Kesopanan yang tidak sopan.

Kita sudah terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah yang menyebabkan kita sering tergelincir oleh kemanisan kata-kata dan sikap palsu. Kita tidak lagi peka untuk mengenal keadaan yang lebih mendalam, karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral oranglah kata-kata 'aku cinta padamu' sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu, sikap menghormat, menjilat, yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan palsu adanya. Hal ini dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita, bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau membuka mata memandang dan mengamati apa adanya. Dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan ini?


Demikianlah pula dengan Siang In. Dia sudah yakin benar akan perasaan Kian Bu kepadanya, namun tidak puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu melalui kata-kata, padahal pernyataan macam ini sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa dibandingkan dengan perasaan yang murni dan agung itu?

Cinta asmara lautan rahasia kemesraan sejuta.
Menciptakan embun sakti menembus lubuk hati.
Anggur semanis madu bunga dan lagu merdu.
Kepuasan yang nikmat sorga yang memikat.
Namun juga membawa bara api menghanguskan hati.
Sepahit empedu maki kutuk menggebu.
Kekecewaan mencekam neraka jahanam!
Cinta asmara, lautan suka-duka
...

Sampai lama rasanya ucapan Kian Bu dalam kalimat terakhir tadi, yaitu 'aku cinta padamu' bergema di dalam ruang hati Siang In, membuat dia seperti terlena, seperti terayun dalam buaian kasih sayang yang membawanya terbang ke sorga ke tujuh!

"Sekarang akan kuceritakan padamu, Kian Bu. Dengarlah akan tetapi jangan menatap wajahku, aku... aku malu sesungguhnya untuk menceritakan. Tetapi karena engkau cinta padaku, seperti yang baru saja kau katakan, biarlah kuceritakan kepadamu juga." Siang In memejamkan matanya dan masih bersandar di dada Kian Bu, kemudian dia melanjutkan dengan suara lirih berbisik-bisik.

"Semenjak engkau menciumku di dalam hutan beberapa tahun yang lalu itu, aku... tidak pernah lagi dapat melupakanmu, tak pernah dapat melupakan saat engkau menciumku itu. Ada dua macam perasaan selalu berperang di dalam hatiku, yaitu perasaan terhina yang menimbulkan benci serta perasaan gembira yang sukar dilukiskan. Perasaan perasaan yang berperang itulah yang menimbulkan suka dan benci pada bayanganmu. Maka setelah aku selesai mempelajari ilmu dari suhu, aku lalu pergi mencarimu, sampai aku tiba di Bhutan dan di tempat-tempat jauh. Aku mencarimu dengan dua macam niat, yaitu membunuhmu atau memaafkanmu. Dan dua niat itu hanya dapat ditentukan oleh perasaan hatiku padamu, apakah benci ataukah cinta! Maka aku mengambil keputusan, yaitu kalau aku bertemu denganmu, sebelum melakukan sesuatu, aku harus lebih dulu yakin, apakah aku benci atau cinta kepadamu, apakah ciumanmu itu mendatangkan duka atau suka. Dan untuk dapat merasa yakin, aku harus minta kau cium sekali lagi! Nah, sekarang engkau mengerti mengapa aku minta cium padamu." Siang In masih memejamkan mata karena dia menceritakan ini dengan perasaan malu sekali.

Kian Bu tahu betapa berat dan malu rasa hati kekasihnya itu untuk menceritakan semua ini, maka dia pun tidak mau menambah beban itu dengan menatap wajahnya, tetapi mencium rambut kepala itu dengan mesra. "Ahh, engkau memang seorang dara yang luar biasa, aneh, berani, jujur dan... hebat!"

Biar pun yang dicium hanya rambut kepalanya, akan tetapi Siang In sudah merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar dan jantung berdebar. "Dengarkan dulu ceritaku, Kian Bu." Dia mengeluh dan agak menjauhkan kepalanya untuk menghentikan pemuda itu menciumi rambutnya.

"Lanjutkanlah, Siang In."

"Ketika engkau menciumku untuk kedua kalinya, aku diam-diam sudah mempersiapkan pisau itu. Kalau dari ciuman itu aku menjadi yakin bahwa aku benci padamu, maka pisau itu akan menewaskanmu di saat itu juga, karena hanya saat itulah kesempatan satu-satunya bagiku untuk membalas dendam. Dalam keadaan biasa, mana mungkin aku dapat menandingimu? Nah, itulah sebabnya mengapa aku memegang pisau itu."

"Hebat! Engkau memang pintar sekali!" Kian Bu memuji dan hati Siang In merasa senang sekali. Ahh, betapa cinta asmara membuat orang menjadi buta akan kenyataan.

Andai kata pada saat itu perasaan Kian Bu terhadap Siang In lain, tentu bukan pujian yang keluar dari mulut pemuda ini. Mungkin sebutan pintar itu akan berubah menjadi sebutan curang atau pengecut! Jelaslah bahwa penilaian terhadap suatu tindakan atau perbuatan itu tergantung dari keadaan batin seseorang. Bagi seorang yang sedang mencinta, maka segala macam perbuatan orang yang dicintanya itu akan nampak baik dan benar belaka. Sebaliknya, bagi seorang yang sedang membenci, maka segala macam perbuatan orang yang dibencinya itu akan nampak jahat dan salah belaka.

Oleh karena itu sudah jelas pula bahwa penilaian adalah palsu, karena penilaian didasari atas rasa suka atau tidak suka. Penilaian hanya mendatangkan konflik, karena yang dinilai baik oleh A, belum tentu dinilai baik oleh B, dan mungkin dinilai jahat oleh C, dan selanjutnya. Apa adanya dan yang sesungguhnya tidak baik tidak pula jahat, tidak bagus dan tidak pula jelek, karena baik dan buruk hanyalah hasil penilaian dan kita sudah tahu bahwa penilaian adalah palsu. Pengertian yang mendalam dan menyeluruh tentang kenyataan ini akan membuat kita hanya mengamati belaka tanpa penilaian sehingga kita tidak terseret untuk mengambil kesimpulan, pendapat, melainkan mengamati saja penuh kewaspadaan
.

"Sekarang tentang mengapa aku menjadi pingsan. Ohhh, Kian Bu, bagaimana aku dapat menjelaskan itu? Ketika engkau menciumku, aku... aku merasa... seperti yang kau rasakan pula, aku merasa bahwa itulah sesungguhnya yang kurindukan selama ini, pelukan dan ciumanmu, dirimu... dan aku tahu bahwa aku cinta padamu, Kian Bu. Mengingat betapa pisau sudah di tangan, betapa hampir saja aku membunuh satu satunya pria yang kucinta semenjak bertahun-tahun yang lalu, membuat aku begitu tegang dan terharu sampai aku tidak ingat apa-apa lagi..."

"Siang In, dewiku... pujaan hatiku..."

Kian Bu merasa terharu sekali dan kini dia mendekap lebih erat, mengangkat wajah ayu itu dan menciuminya dengan sepenuh perasaan cintanya.

Siang In mengeluh lirih dan mandah saja, bahkan kadang-kadang membalas ciuman itu, terdorong oleh perasaan hatinya yang mencinta. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman Kian Bu makin lama makin panas, dara itu lalu menarik dirinya, mukanya merah sekali, pandang matanya setengah terpejam, mulutnya setengah terbuka dan terengah. Ketika Kian Bu hendak merangkulnya, dia menolak halus dengan kedua tangannya.

"Jangan... sudah cukup, Kian Bu, jangan...," bisiknya di antara napasnya yang terengah.

Wajah Kian Bu juga merah padam, matanya mengeluarkan sinar aneh. "Kenapa, Siang In? Kenapa...? Bukankah kita saling mencinta...?"

Siang In melangkah mundur dua langkah. "Justeru karena cinta kita, maka kita harus tidak melanjutkan itu, Kian Bu. Tidak baik kalau dilanjutkan. Karena cinta kita, maka kita harus saling menjaga, kita harus mempertahankan, menunda dan menyimpan itu sampai pada saatnya yang tepat, yaitu... kelak kalau kita sudah menjadi suami isteri, sudah menikah!"

Mendengar ini, seketika sadarlah Kian Bu dan dia merasa malu sendiri. Memang tadi, setelah menciumi wajah Siang In, setelah merasa betapa bibir yang lunak itu membalas ciumannya, dia tenggelam dalam gelombang nafsu birahi yang mendorong-dorongnya untuk bertindak lebih jauh, untuk memuaskan gelora nafsu birahinya! Celaka, semua ini adalah gara-gara Siluman Kucing, keluhnya dalam hati. Dia lalu memandang wajah kekasihnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut karena merasa berdosa sekali.

"Ahh, betapa bijaksana engkau, dewiku. Betapa murni hatimu, dan aku... aku memang bersalah. Aku bersumpah tidak akan berani mengganggumu lagi sampai... sampai kita menikah kelak."

Siang In tertawa, suara ketawanya sangat merdu dan nyaring karena semua itu amat menyenangkan hatinya. Dia mengulurkan tangan, memegang tangan pemuda itu dan menariknya bangun.

"Sudah, kalau kelihatan orang lain, disangka kita ini sedang berlatih main sandiwara! Kita saling mencinta, dan kita akan menikah! Dua hal ini merupakan rahasia besar dalam batin kita, Kian Bu. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah bundamu."

"Benar, memang aku pun ingin membawamu pulang ke Pulau Es."

"Kalau begitu, mari kita pergi. Eh, apakah perutmu tidak lapar?"

Ditanya begitu, Kian Bu terbelalak, lalu tertawa. "Ha-ha-ha, memang benar kata orang bahwa cinta membuat kita lupa makan lupa tidur. Aku sampai lupa bahwa sejak kemarin perutku belum kemasukan apa-apa dan setelah sekarang kau peringatkan, baru terasa betapa lapar perutku!"

"Aku lebih percaya kepada kata-kata orang bahwa cinta membuat kita selalu merasa lapar!"

"Ehh, mengapa begitu?"

"Habis, cinta membuat hati menjadi senang, dan hati senang membuat perut selalu merasa lapar dan apa pun yang kita makan terasa lezat. Pendapat ini kudukung karena lebih sehat dari pada pendapatmu tadi yang membuat kita kelaparan dan kecapaian. Kalau menurut pendapatmu itu, bisa-bisa orang yang jatuh cinta lekas mati karena kurang makan dan kurang tidur, bukan?"

Kian Bu tertawa. Kekasihnya ini selain cantik jelita, gagah perkasa, penuh keberanian, baik budi dan jujur, juga lincah jenaka dan pandai bicara! Pendeknya, segala macam kebaikan wanita terdapat lengkap dalam diri kekasihnya ini, pikirnya bangga!

"Kau memang hebat, Siang In. Hebat segala-galanya!"

"Hi-hik, engkau belum merasakan masakanku! Kalau engkau sudah menikmati lezatnya masakanku, engkau akan kehabisan kata-kata untuk memujiku. Tunggu saja. Mari kita mencari bahan-bahannya dulu dalam hutan itu." Digandengnya lengan Kian Bu dan dua orang muda itu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu sambil tersenyum dan tertawa gembira.

Dunia seolah-olah berubah dalam sekejap mata bagi mereka berdua. Penuh keindahan, penuh kegembiraan, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk.....

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang