"Bibi Syanti Dewi, apakah kau ingin agar aku memukul remuk kepala Mohinta itu?" tanya Hwee Li ketika dia melihat wajah puteri itu pucat dan tubuhnya agak menggigil.
"Jangan, Hwee Li. Hal itu berbahaya sekali. Kau sendiri seorang tawanan."
"Aku yakin mudah saja bagiku untuk membunuh pengkhianat itu, Bibi. Dan kalau Liong Bian Cu menjadi marah kepadaku, biarlah, malah kebetulan, biar dia benci padaku dan mengurungkan niatnya yang gila untuk menikah dengan aku!"
Syanti Dewi merangkulnya. "Tenanglah, Hwee Li. Kita semua berada di dalam keadaan yang amat gawat. Lihat betapa Jenderal Kao Liang sendiri tidak berdaya, keluarganya masih ditawan di sini semua. Lihat betapa benteng ini dibuat amat kuatnya dan Liong Bian Cu mengumpulkan banyak orang pandai. Bahkan orang-orang Liong-sim-pang itu pun menjadi sahabat mereka! Akan ada peristiwa besar, kegegeran besar dan ancaman berbahaya bagi kerajaan bangsamu. Jangan pikirkan urusanku, urusan kecil saja. Baik sekali engkau telah mendengarkan tadi sehingga aku tahu akan isi perut pengkhianat Mohinta itu. Kalau tiba saatnya Bhutan terancam, aku dapat bertindak dengan tepat. Yang penting, kita harus dapat lolos dari sini, Hwee Lee, itulah yang penting, bukan membunuh orang rendah macam Mohinta itu."
Hwee Li mengangguk dan berbisik, "Ahhh, kalau tidak terjadi sesuatu yang mukjijat, bagaimana mungkin kita dapat lolos? Penjagaan terlampau ketat, orang-orang sakti terlampau banyak di sini dan setelah benteng ini selesai dibangun oleh Jenderal Kao yang amat ahli dalam hal itu, lenyaplah harapan kita untuk dapat lolos dan keluar dari dalam benteng."
"Kita tidak boleh putus harapan. Banyak sekali teman-teman kita yang gagah perkasa di luar benteng. Aku yakin bahwa sewaktu-waktu mereka tentu akan muncul, seperti pada waktu yang sudah-sudah. Mereka tidak akan membiarkan kita celaka."
"Hemmm, mereka siapa?" tanya Hwee Li.
"Pertama-tama tentulah Siang In yang cantik dan cerdik, dan... Tek Hoat..."
"Dan Siluman Kecil! Juga Suma Kian Lee! Ah, kenapa aku lupa bahwa mereka itu tentu tidak akan diam saja melihat kita ditawan orang-orang jahat?"
"Dan di sana masih ada pula adikku, Candra Dewi atau Ceng Ceng, dan suaminya yang amat sakti..."
"Ahh, kenapa aku pun lupa kepada Subo dan Suhu? Hi-hik, betapa tolol aku. Tentu saja Subo dan Suhu akan dengan mudah mengobrak-obrik mereka semua ini!"
"Dan masih ada lagi Bibi Puteri Milana! Dan pendekar sakti Paman Gak Bun Beng, dan keluarga Pulau Es..."
"Wah-wah, kita mengharap terlampau jauh dan terlalu banyak, Bibi. Bagaimana kalau tidak ada seorang pun di antara mereka yang mempedulikan kita dan tidak ada yang datang menolong?"
"Mustahil... akan tetapi... setidaknya harapan itu menghibur hati kita...," jawab Syanti Dewi sambil menarik napas panjang lalu duduk termenung, ditemani oleh Hwee Li yang di tempat itu menjadi temannya yang paling baik, paling akrab sehingga dapat saling menghibur.
Memang benar seperti yang dikatakan oleh dua orang dara itu. Setelah Liong-sim-pang bersekutu dengan Pangeran Liong Bian Cu, pembangunan benteng itu menjadi makin lancar karena anak buah Liong-sim-pang ikut dikerahkan pula untuk membantunya. Dan juga Hwa-i-kongcu Tang Hun tidak sayang-sayang atau segan-segan untuk membantu dengan keuangan, membeli bahan-bahan bangunan secara royal.
Mohinta dan para pengawalnya juga tinggal di benteng lembah itu, akan tetapi dia selalu bersembunyi dan tidak mau bertemu dengan Syanti Dewi karena dia menganggap belum waktunya untuk bicara dengan puteri itu, sungguh pun hatinya merasa amat rindu terhadap dara yang dianggapnya pasti akan menjadi isterinya itu. Rencananya bersama Pangeran Nepal untuk memberontak dan menggulingkan Raja Bhutan, yaitu ayah dari Puteri Syanti Dewi, membuat dia merasa tidak enak untuk bertemu dan bicara dengan Syanti Dewi karena puteri yang menjadi tawanan itu tentu akan merasa heran dan akan mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijawabnya, di antaranya mengapa dia justeru berada di situ dan menjadi teman dari Pangeran Nepal dan yang menawan puteri itu.
Hwee Li adalah seorang dara yang amat cerdik. Setelah usahanya yang gagal untuk membunuh Liong Bian Cu, dan melihat betapa pangeran itu tidak mendendam dan tetap mencintanya, dia tahu bahwa usahanya telah mencapai puncak dan jalan buntu. Dia tidak boleh mencoba lagi karena kalau sampai dia menimbulkan rasa benci dalam hati pangeran itu, dia tidak akan tertolong lagi. Kalau hanya dibunuh saja bukan apa-apa baginya, tetapi dia merasa ngeri kalau membayangkan betapa dengan kekuasaannya, pangeran itu bisa saja memaksanya dan memperkosanya.
Dia kini mengandalkan cinta kasih pangeran itu untuk berada dalam keadaan aman dan tidak terancam keselamatannya. Dia yakin bahwa karena cintanya, pangeran itu tidak akan memaksanya menyerahkan diri sebelum menikah, dan sebagai seorang pangeran negara besar, tentu pangeran itu akan melaksanakan pernikahannya di negerinya, di Nepal. Maka masih banyak waktu baginya dan masih banyak harapan untuk meloloskan diri, asal dia pandai membawa diri dan tidak memancing kebencian pangeran itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak boleh bersikap terlalu manis karena kalau sampai pangeran itu memuncak rindu dan birahinya terhadap dia, bisa berabe dan berbahaya!
Karena sikap Hwee Li yang tidak memberontak lagi, juga Syanti Dewi bersikap tenang dan sabar, maka kini mereka diperbolehkan untuk mengunjungi keluarga Jenderal Kao Liang di dalam rumah tahanan mereka. Pertemuan yang amat akrab dan mengharukan dan kini pertemuan-pertemuan itu merupakan hiburan besar bagi kedua pihak.
Kao Kok Tiong sering kali nampak termenung di rumah tahanan itu, diam-diam dia amat mengkhawatirkan keadaan ayahnya. Jenderal ini tidak boleh menemui keluarganya, hanya diperbolehkan melihat dari jauh bahwa keluarganya selamat dan diperlakukan dengan baik. Kok Tiong maklum betapa hati ayahnya tersiksa hebat. Ayahnya terpaksa membantu pemberontak! Demi keselamatan keluarganya!
Dia tahu bahwa andai kata ayahnya belum dipecat dan kini masih menjadi Panglima Kerajaan Ceng, sampai mati pun ayahnya tidak akan tunduk kepada pemberontak. Biar andai kata seluruh keluarganya disiksa dan dibunuh di depan hidungnya, ayahnya pasti takkan sudi untuk membantu pemberontak. Dan sekarang, karena dia bukan Panglima Ceng lagi, dia terpaksa tunduk, untuk menyelamatkan keluarganya, akan tetapi tentu saja dengan batin tersiksa. Kok Tiong sendiri sangat dicurigai oleh Pangeran Nepal sehingga dia dimasukkan dalam rumah tahanan keluarganya, tidak diperkenankan keluar dan bicara dengan ayahnya.
Keadaan seperti itu lewat sampai berbulan-bulan dan benteng besar yang dibangun atas petunjuk Jenderal Kao Liang itu, yang dikerjakan siang malam, mulai mendekati kesempurnaannya. Hati para tawanan itu jadi semakin gelisah, harapan mereka untuk memperoleh pertolongan dari luar semakin menipis, sungguh pun belum habis sama sekali. Selama waktu-waktu itu, untuk menghibur diri, Syanti Dewi memperdalam ilmu silatnya dari Hwee Li, sebaliknya, Hwee Li mempelajari banyak hal dari sang puteri, dari menyulam, melukis, menari dan bernyanyi.....
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)
Action(seri ke 7 Bu Kek Siansu) Jilid 1-62 Tamat