Jilid 52/62

2K 21 5
                                    

Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw Nionio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan juga dia sendiri sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar emas dan sinar perak melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas, menyambar turun di kedua tangan nenek itu yang sudah terlepas dari tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan sambil berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.

Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap, tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si nenek yang lihai.

"Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan sampai di mana kelihaiannya!" kata Sam-ok sambil tertawa.

Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang bergerak maju mundur.

Dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk menghantam atau menotok. Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan.

Kini nenek Kim-mouw Nionio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya sehingga sukar pula di jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia menjadi korban tendangan.

Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nionio menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu tahu kedua tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel merah! Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nionio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!

Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, lalu dia menyiramkan minyak dan membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun. Kini dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal.

Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran itu. Andai kata kegagalan itu membuat dia tidak disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya dalam kedudukan mereka sebagai Ngo-ok.....

JODOH RAJAWALI (seri ke 9 Bu Kek Siansu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang