#𝕱𝖆𝖓𝖙𝖆𝖘𝖎 #𝐒𝐢𝐜𝐤𝐥𝐢𝐭
Juno tidak punya banyak pengalaman soal cinta. Tapi begitu dia jatuh cinta dunianya ikut jatuh semua.
Si Ganteng kalem yang melankolis ini tak pernah menyangka akan terjebak dalam cinta yang begitu fantasi. Cinta mema...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
CHAPTER 04 [Estu Herjuno]
Ketemu Lana di parkiran Nuski adalah kebetulan aneh yang tanpa sadar ternyata gue mengharapkannya. Kikan menaruh helmnya di spion motor gue sebelum turun dan mulai berkelakar dengan Lana. Ritual cewek pun dimulai.
"Lo cantik banget, sih, gwela!" puji Kikan yang sama sekali nggak pernah gue dengar dari mulutnya untuk cewek lain.
Lana mengibaskan tangannya. "Ini kali keberapa kamu bilang gitu." Lana terkekeh sambil bikin manufer tangan yang uwu ke Kikan.
"Lah, emang cantik. Ya, nggak, Jun?" si Kampret.
Gue mendadak gugup seolah mau jawab pertanyaan senilai satu milyar dolar. Gue berusaha mengalihkan pandangan ke arah selain Lana. Tapi magnet itu menggeret fokus mata gue ke wajahnya. Satu, dua, tiga, empat detik. Dalam diri gue ingin mengangguk sekencang mungkin. Tapi gengsi gue memilih untuk mengangkat kedua bahu. Lalu berjalan mendahului mereka.
Kikan dan makhluk surgawi itu berjalan di belakang gue. Ngobrolin entah apa.
Karena beda kelas, jadi kami bertiga akan berpisah di persimpangan pintu masing-masing. Kikan di sebelas XI IPS 2, gue di IPA 2, dan Lana di IPS 1 sekelas sama Sidney. Itulah kenapa Sid wadul ke gue tentang cendrawasih di kelasnya udah kayak apa reportasenya. Lana ini lah, itu lah. Dan sekarang, Sid yang gue maksud itu sedang berlari mendekat dari arah koridor kelas sepuluh. Palingan habis dari kelas gebetannya.
"Sup!" Sidney merangkul dan segera gue tepis.
"Sepagi ini lo udah ngebucin?" tanya gue kalem sambil lanjut berjalan. Entah, nggak bisa sebebas itu sekarang. Rasanya gue harus jaga sikap kalau di depan Lan-, di depan orang baru.
"Bukan ngebucin. Cuma ngelakuin tugas seorang pencinta. Dan cinta gue buat Sahnaz itu seperti bunga yang harus disiram tiap waktu."
Gue mengangguk. "Kayaknya bungamu itu bakal subur. Karena tiap waktu disiram sama pupuk kandang."
"Maksud lo gue pupuk kandang?"
"Yes, and you must be proud for that."
"Why? Kenapa gue harus bangga jadi pupuk kandang?" Kami berjalan pelan. Gue paling geli kalau ngobrol sama orang yang dosis ekstrovernya kebanyakan seperti Sid. Dan gue curiga ada satu lagi ―cowok yang kemarin ngajak gue bikin channel.
Sementara itu gue jalannya setengah nunduk karena menghindari beberapa anak cewek kelas sepuluh yang kadang suka diem-diem memfoto gue. Tau-tau ada aja notifikasi menandai di instagram. Beberapa dari mereka ada yang pembaca gue. Dan gue nggak pernah siap untuk berinteraksi dengan mereka. Kapan pun, di mana pun. Girls, just leave me alone, please.
"Karena dengan pupuk kandang bunga cinta Sahnaz akan tumbuh subur. Dan lo harusnya bangga jadi pupuk kandangnya," kata gue lagi.
Sidney diam, mungkin dia sedang berpikir. "Jun, gue pupuk kandang banget?"