AWAL MULA (LAGI)
Elzia duduk dengan gelisah siang itu, sementara Divia duduk di hadapannya dengan tenang sambil menyesap espresso yang ada di tangannya.
"Aku tak bermaksud mengganggumu El..., aku hanya ingin meluruskan masalah," ujar Divia.
"Kau tak punya masalah apapun denganku Div...," potong Elzia.
"Aku tak membawa oleh-oleh...," ujar Divia lagi.
"Kau tak perlu membawa apapun," balas Elzia, merasa tak enak hati.
"Bahkan jika yang kubawa adalah cerita bulan maduku dengan Dimas?," goda Divia dengan senyuman jahil di wajahnya.
HAHAHAHAHAHAHA!!!
Elzia tak akan pernah mampu menahan tawanya saat menghadapi Divia. Sejak mereka menjadi akrab beberapa bulan yang lalu, Elzia sudah tahu betul bagaimana prilaku Divia, termasuk kekonyolan yang disembunyikannya selama ini.
"Wah..., bagaimana ceritanya??? Apakah luar biasa???," tanya Elzia, antusias.
"Jadi begini...," Divia akan memulai.
"Ekhm!!! Kalian yakin akan membicarakan bulan madu di depanku???," tanya Bryan, berusaha mencegah.
Divia menatapnya dengan puppy eyes.
"Pergilah menunggu di mobil..., nanti aku menyusul kalau sudah mau pulang," pintanya.
Bryan meringis.
"Andai aku tahu bahwa kau akan menjemurku di bawah sinar matahari, maka aku akan mengajukan cuti hari ini dan bermain dengan Sherryn," gerutunya.
Divia dan Elzia hanya terkikik geli mendengar omelan Bryan. Ketika pria itu pergi, Divia menatap Elzia dengan lembut.
"Aku tahu maksud kedatanganmu," ujar Elzia.
"Aku takkan memaksamu. Harus aku akui bahwa apa yang Yudha lakukan memang salah di matamu. Tapi, apakah kau tahu bahwa aku juga pernah melakukan hal yang sama seperti yang Yudha lakukan?," Divia terlihat seperti sedang mengenang sesuatu.
"Kau pernah melakukannya? Kau pernah berbohong tentang siapa dirimu sebenarnya?," Elzia sedikit terkejut.
Divia tersenyum lalu menganggukan kepalanya.
"Aku buta warna, lahir dengan kondisi seperti ini membuatku menjadi sangat peka terhadap apapun yang ada di sekitarku. Mulai dari orang-orang yang hanya berpura-pura senang bermain denganku, orang-orang yang berpura-pura ingin menjadi temanku dan bahkan orang-orang yang berpura-pura mencintaiku. Maka dari itu aku tidak pernah mengatakan siapa diriku sebenarnya di depan semua sahabatku saat aku SMA," jawab Divia.
"Bahkan Dimas???," Elzia penasaran.
"Ya..., termasuk Dimas. Tapi nyatanya dengan kebohonganku, aku menjadi tahu dengan siapa aku berhadapan. Apakah benar-benar teman, atau hanya pura-pura berteman," Divia kembali menyesap kopinya.
Elzia terdiam.
"Aku tidak suka di bohongi. Mungkin karena trauma..., dulu Ayahku pernah melakukan kebohongan besar sehingga keluarga kami berantakan dan Ibuku bunuh diri. Sejak itu aku benci pembohong," jelas Elzia.
"Tapi apakah Yudha pernah membohongimu soal kepribadiannya? Apakah menurutmu Yudha menjadi orang lain dan tidak menjadi dirinya sendiri saat berhadapan denganmu? Yudha pasti banyak bercerita tentang kami, adik-adiknya. Yudha juga pasti sering bercerita tentang kehidupannya padamu."
"Apakah Yudha memberitahumu?."
Divia menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu persis bagaimana karakter Kakakku. Dia bahkan bercerita tentang kami pada koleganya saat sedang bersantai. Dia merahasiakan jati dirinya darimu, hanya karena tak ingin kau berlari menjauh. Dia mau kau tetap mencintainya bahkan jika dirinya bukanlah Putera keluarga Lee," jelas Divia.
Elzia menarik nafasnya dalam-dalam dan berusaha mencerna apa yang Divia katakan. Ia benar-benar berada dalam dilema.
"Cassey tak berhenti menangis ketika memikirkanmu. Mikail sampai dibuat pusing ketika membujuknya untuk berhenti menangis," ujar Divia.
Elzia tersenyum.
"Beri saja anak anjing, dia akan diam kalau diberi anak anjing," saran Elzia.
Divia meringis.
"Aku yakin Mikail sudah sering cemburu buta ketika Cassey menghabiskan waktunya dengan Marco..., jadi..., menambah satu anak anjing lagi akan membuat dirinya tereliminasi dari hati Isterinya," balas Divia.
"Kalau begitu aku akan membawakan dua ekor anak anjing ketika bertemu dengan Cassey," Elzia memasang wajah jahilnya.
Divia terkekeh.
"Jadi..., kapan kau akan kembali?," tanya Divia.
Elzia hanya tersenyum.
* * *
Brakkk!!!
Kardus terakhir berisi barang-barangnya sudah ia letakkan di tengah rumah susun tempat tinggalnya dulu. Kini ia kembali berada di tempat yang sama.
Elzia duduk di kursi ruang makan dan meneguk habis segelas air putih yang tadi ia tuang sebelum bekerja keras. Tujuh bulan telah berlalu, dan rumah itu masih sama seperti dulu. Tenang.
Ia tersenyum beberapa saat sebelum akhirnya meraih handuk dan bergegas untuk mandi. Ketika ia baru saja akan melangkah, bel pintu depan pun berbunyi. Ia menghentikan langkahnya dan memilih berjalan ke depan pintu.
"Siapa?," tanya Elzia, ia tak langsung membuka pintunya.
"Aku...," jawab suara yang begitu dikenal oleh Elzia.
Ia pun membuka pintu dan pandangannya tertuju tepat pada kedua matanya.
"Kau pulang...," bisiknya, lembut.
Elzia menganggukan kepalanya, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam sebuah pelukan yang hangat.
"Aku merindukanmu...," sebuah ungkapan yang membuat hati Elzia begitu bahagia.
"Aku juga merindukanmu...," balas Elzia, tanpa kebohongan.
"Jangan pergi lagi, aku mohon," pintanya.
"Ya..., aku akan menetap di sini jika kau juga menetap. Jangan tinggalkan aku, dan jangan bohong lagi!," tegas Elzia.
Dia menatap kedua mata Elzia dengan penuh rasa sayang.
"Aku takkan berbohong lagi," janjinya.
Elzia tersenyum padanya dan kembali memeluknya.
Dia...,
Yudha Yudhistira Lee.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mrs. Lee (Sequel Of Divia ; Cinta Tak Berbatas)
Teen FictionAku melihatmu, bukan karena siapa dirimu, berasal darimana, pantas atau tidak. Tapi aku melihatmu, karena hatiku menginginkan demikian. - Yudha Yudhistira Lee - Aku masih tak mengerti, pertemuan pertama kita bahkan jauh dari kata mengesankan. Bagaim...