6

3.6K 540 11
                                    

Seminggu sudah kaki Riana berbalut perban, bukannya sedih atau kesal karena aktivitasnya jadi terhambat, Riana justru bahagia, ia harap kakinya sembuh sedikit lebih lama lagi.

Riana menuruni anak tangga sudah siap berangkat bekerja. Wajahnya yang berseri penuh semangat membuat kedua orangtuanya beradu pandang, ada apa gerangan dengan anak mereka?

"Good morning," sapa Riana riang

"Happy banget, ada apa nih?" tanya ibu yang sedang menata menu sarapan di meja makan.

"Enggak ada apa-apa, kita 'kan harus mengawali hari dengan senyuman bu," jawab Riana sambil menarik salah satu kursi lalu mendudukinya.

Seperti biasanya pagi ini mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan sebelum masing-masing dari mereka melakukan aktivitas. Angga sudah duduk di hadapan Riana sambil menikmati roti panggangnya, sesekali menyahuti bapak yang membahas berita pagi ini.

"Buat Bang Bi, Bu?" tanya Riana begitu melihat ibunya membawa sepiring nasi goreng dan telur mata sapi.

"Iya." Ibu berjalan menuju kamar Abi yang berada di depan ruang makan. Kemarin sepulang bekerja Abi diantar seorang temannya dengan kepala dan tangan berbalut perban. Motor yang biasa di pakainya mengantar sang adik enggak terlihat, "disehatkan" dulu di bengkel pasca kecelakaan yang melibatkan kakaknya dan sepeda motor lainnya.

Belum sempat ibu membuka pintu, Abi sudah muncul, berdiri dengan pakaian rapi.

"Mau kemana lo?" tanya Angga.

"Makan di meja aja bu," kata Abi sebelum menjawab pertanyaan kakaknya. "Mau anter si bontot lah," lanjut Abi menjawab pertanyaan Angga.

"Eh eh eh apa apaan?" sambar Riana, mendelik. "Muka bonyok, tangan di perban, jalan aja gak lurus  gaya-gayaan mau anter adek, no no no," kata Riana.

"Kamu istirahat dulu aja Bi, biar adek di anter Angga," kata bapak lalu menyeruput teh hangat.

"Mas Angga 'kan arahnya beda sama adek Pak," sahut Riana.

"Ya enggak apa-apa, nanti Mamas anter kamu dulu," sahut Angga.

"Nanti kalo Mas telat gimana?"

"Enggak," jawab Angga membuat adiknya berdecak kesal. Melirik Abi, Angga bertukar senyum puas dengan Abi, keduanya tahu akal bulus Riana.

🦋

Riana masih dalam posisi nyamannya, duduk membungkuk dengan kepala diatas meja. Kekecewaan masih terasa dihatinya setelah gagal menjadikan Radi kang ojeknya pagi ini, kakak-kakaknya yang terlalu sulit disiasati. Ia jadi enggak bersemangat beraktifitas, padahal rencananya menjadikan Radi akang ojeknya pagi ini sudah ia susun sejak malam. Sudah happy membayangkan berboncengan dengan si pemilik suara merdu tersebut sampai sulit tidur, hasilnya malah gagal total.

Tepukan keras dibahu membuat Riana bereaksi setelah berkali-kali colekan enggak ia hiraukan.

"Apaan sih, Za, mengertilah Adinda ini lagi mager, bete," kata Riana masih dengan posisi yang sama.

"Lo lagi kenapa sih? Kayaknya akhir-akhir ini naik turun banget moodnya," tanya Zahira sambil mengaduk jus tomat. Keduanya sudah lima belas menit di kantin kantor, sejak datang sampai sekarang Riana masih saja dalam posisi yang sama, sehingga Zahira yang melihat merasa enggak nyaman.

"Bete gue, punya kakak laki-laki dua biji enggak ada yang pengertian banget, enggak memahami adik bontotnya ini lagi berusaha menggapai yang diinginkan," curhat Riana.

"Radi?" tebak Zahira

"Hooh," sahut Riana sambil mengangguk. "Emang cuma lo Za yang memahami keinginan gue, kalo aja abang abang gue itu bisa ditukar sama lo aja Za...,"

"Gue siap jadi kakak ipar lo," sela Zahira. Matanya berkedip genit

Riana memperbaiki posisi duduknya. "Gih sana lamar salah satu, biar hidup gue agak longgar dari jeratan mereka," kata Riana bersemangat. "Eh lo enggak mau nengokin abang gue?"

"Kenapa?" tanya Zahira kaget berlebihan

"Bang Bi kecelakaan kemarin..."

"Bebep gue kecelakaan? Kok lo enggak cerita sih Riana, terus kondisinya gimana? Enggak dirawat 'kan?" tanya Zahira beruntun. Riana samapi memutar bola mata mendengar kepanikan Zahira yang berlebihan tersebut.

"Dia baik baik aja, tadi pagi aja masih berniat nganterin gue padahal tangan udah diperban muka bonyok..."

"Bonyok? Ilang dong kegantengan bebep gue."

Riana menghela napas.

"Tengokin aja biar tau kondisinya langsung," sahut Riana
"Boleh?" tanya Zahira antusias

Riana mengangguk.
Mengetahui Zahira yang tergila-gila pada Abangnya terlintas ide dibenaknya.

Semoga aja Zahira bisa bikin Bang Bi sibuk, sampai enggak punya waktu buat gangguin perjuangan gue lagi.

🦋

Mas enggak usah jemput, ade bareng Zahira. Mau nengokin Bang Bi.

Naik go-car aja ya

Iya

Ok

Riana memasukkan ponsel ke saku blazernya sambil berjalan. Di sampingnya Zahira masih sibuk dengan smartphonenya.
"Lo beneran suka sama abang gue, Za?" tanya Riana saat menuju lift.

"Naksir dikit boleh 'kan?" Tanya balik Zahira. Senyum tipisnya muncul, manis sekali. Ia lalu kepambali menatap layar ponsel.

"Sejak kapan?"

Bukannya menjawab Zahira hanya tersenyum.
"Sejauh mana perkembangan lo sama Radi?" tanyanya.

"Gitu-gitu aja, enggak ada yang spesial, dia terlalu beku." Begitu mudahnya Zahira mengalihkan perbincangan dengan Riana. Sekali sebut nama Radi, Riana seolah lupa apa yang sebelumnya terjadi. Lihat saja, saat ini anak gadis pak RW itu menyerocos tiada henti menceritakan penghuni ganteng depan rumahnya. "Heran gue, masa tiap diajak ngobrol enggak ada nyautnya, berasa ngobrol sama batu es gue."

Zahira tertawa. "Tapi nanti pasti mencair 'kan"

"Iya tapi lama,  kayaknya gue mesti lebih membara biar dia cepat cairnya," sahut Riana.

"Caranya?"

"Itu dia gue lagi mikir Ceu*," Jawab Riana

"Butuh saran?" tanya Zahira menawarkan bantuan yang langsung disambut anggukan antusias Riana.

❣❣

Sedikit-dikit dulu updatenya sambil balikin kebiasaan nulisnya.
Semoga yang menunggu terlalu lama update cerita ini merasa senang.

See you guys.
Love
Gikel 😘



halo tetanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang