"Gimana ceritanya bisa naksir Radi?"
Riana menelan lidah dengan susah payah, pertanyaan dilontarkan Bu Cempaka sukses membuat jantung berdebar tidak karuan, perut mules, dengkul lemas, suhu tubuh meningkat, serta produksi keringat berlebih.
"Eee." Riana kesulitan menjawab. Kini, gadis itu malah menggaruk-garuk pelipisnya.
Bu Cempaka masih menunggu jawaban Riana dengan wajah tersenyum. Tapi Riana pikir senyum tetangga barunya itu hanya usaha untuk menahan tawa.
Riana kini menggaruk kepala, lebih keras. "Biasa Bu, anak muda jedag jedug hatinya enggak bisa di kontrol kalau lihat cowok ganteng," sahut Riana, akhirnya semakin melantur.
Bu Cempaka tertawa, menepuk bahu Riana pelan. "Kamu bisa aja sih jawabnya," ucap Bu Cempaka.
Riana ikut tertawa walaupun sangat canggung. Ia pikir akan ada pertanyaan berikutnya, ia bahkan sudah siap siaga menjawab, tapi respon bu Cempaka yang diluar dugaannya membuat Riana mati gaya sekarang ini.
Bu Cempaka berusaha mengontrol dirinya, tawanya mulai mereda, perlahan ia mengarahkan Riana agar masuk ke teras rumah. Riana duduk di salah satu bangku, tempat yang diduduki Radi saat memetik gitarnya waktu itu.
"Ibu tahu anak muda selalu penuh asmara," ucap bu Cempaka yang mengambil tempat di sebelah Riana. Riana diam, menerka-nerka akan dibawa kemana perbincangan pagi ini oleh bu Cempaka. "Tapi asmara itu selalu erat dengan luka," Sambung bu Cempaka.
Kening Riana berkerut.
"Semakin membara asmara biasanya luka makin pedih," lanjut bu Cempaka. Bu Cempaka melirik Riana, meneliti reaksi Riana. Tapi gadis itu masih setia menyimak.
"Sebelumnya Ibu minta mbak Riana ejangan salah paham ya, ibu bicara begini demi kebaikan mbak Riana," kata Bu Cempaka
Kenapa situasinya jadi begini sih?
"Santai aja, Bu, saya malah senang diajak ngobrol begini," sahut Riana, ada sedikit kebohongan disana. Senang dari mana? Keringatnya saja sudah mengalir di sekitar anak rambut.
Bu Cempaka tersenyum. " Dua bulan lalu Radi sudah tunangan," ucap Bu Cempaka.
💞
Sudah dua jam Riana berbaring di ranjangnya matanya terbuka pandangannya hanya tertuju pada jam dinding di atas pintu kamar. Tidak ada suara, tidak ada kegiatan berarti. Ia diam, menghabiskan waktu.
Riana baru bergerak saat ponselnya bergetar, layarnya yang menyala membuat dirinya mengalihkan fokus. Diambil gawai yang berada tak jauh darinya. Nama zahira tertera.
"Hemh."
"Kok gitu sih sahutannya ,Ri?" Protes Zahira
Menghela napas. "Iya Zahira, ada yang bisa Riana bantu?"
"Gue di depan rumah lo nih, kok sepi, udah ketok-ketok pintu pagar enggak ada yang buka, lo dimana?"
"Ngapain ke rumah gue?"
"Enggak ada perlu sih, cuma butuh tempat singgah."
Riana menghela napas panjang. "Ya udah tunggu bentar," katanya seraya bangun dari kasurnya.
Bapak dan ibu sedang pergi menghadiri acara pernikahan, Angga belum pulang kerja, sedangkan Abi pamit ke supermarket setengah jam yang lalu. Riana hanya sendiri dirumah hingga punya waktu untuk memikirkan ucapan bu Cempaka tadi pagi.
"Kenapa enggak bilang kalau mau kesini?" tanya Riana dari balik pagar.
"Buka dulu dong pagarnya, masa ngobrol terhalang pagar besi gini," sahut Zahira.
KAMU SEDANG MEMBACA
halo tetangga
Ficção GeralKampung beringin menjadi saksi bisu lahir dan besarnya Riana, gadis 24 tahun anak ketua rukun warga 06. Menjadi anak dari ketua RW membuat Riana dikenal oleh warga, apalagi parasnya yang manis dan sikapnya yang ramah pada setiap warga membuat ia dis...