"Kok abang bisa sama Radi?" tanya Riana
"Udah mau manggil abang nih?" goda Abi
"Ish, ngapain telepon?"
"Kamu di chat enggak kamu baca, giliran Radi cepet banget bacanya," Omel Abi.
"Mana Riri tau kalau itu nomor Radi," kata Riana, ia melirik jam dinding di ruangan. Jam sebelas? "Kalian dimana sih kok bisa barengan?" tanya Riana penasaran.
"Jadi abang dimaafin enggak?" Abi yang enggan menjawab kembali bertanya.
"Jawab dulu yang Riri tanya."
"..."
"Bang Bi," panggil Riana
"..."
Riana mendesis kesal.
"Iya udah kalau enggak mau jawab, bye!" Riana mematikan panggilan tersebut, kalau kakaknya enggak mau memberitahu ya sudah, ia bisa cari tahu sendiri tanpa harus memberikan apa yang Abi minta. Toh, ia sudah beruntung mendapatkan nomor Radi yang segera ia save di kontak ponselnya.
Iya, sama-sama
Riana mengirim pesan balasan untuk Radi yang sebelumnya terabaikan.
==
Suasana bahagia hati Riana karena telah mendapatkan nomor handphone Radi musnah dalam sekejap ketika ia tiba di rumah sakit. Ia pikir Agung belum tiba disana, ia bahkan sudah bergegas menuju rumah sakit tempat zahira dirawat. Namun, semesta memang enggak selalu berpihak padanya, baru sampai di depan kamar, pintu sudah terbuka menampilkan Agung yang terkejut akan kehadiran Riana.
"Ikut saya dulu, Ri," kata Agung seraya meraih pergelangan tangan Riana. Riana enggak membantah, ia mengikuti kemana Agung akan membawanya.
"Ada apa sih, Mas?" tanya Riana ketika keduanya berada di lift yang kosong.
"Ada yang mau saya bicarakan sama kamu," kata Agung.
"Tentang abang saya?" tebak Riana.
Agung menoleh tapi enggan menjawab pertanyaan Riana.
Pintu lift terbuka, Riana cukup kesulitan mengikuti langkah Agung yang tergesa-gesa.
"Santai dikit lah, Mas," pinta Riana yang masih berusaha menyamakan langkah dengan Agung.
Namun lelaki itu enggak menuruti permintaan Riana, ia terus melangkah hingga sampai di kafetaria rumah sakit."Mau pesan apa?" tanya Agung.
"Mas Agung mau bicara tentang apa?" Balas Riana.
Agung menatap Riana kemudian menghela napas, ia lalu beralih kepada pelayan kafe memesan secangkir kopi dan satu jus mangga. Ia lalu berjalan ke salah satu kursi, menempatinya tanpa banyak bicara. Riana menarik kursi dengan kesal, ia yang kini berhadapan dengan Agung kembali menanyakan hal yang sama.
"Saya udah bicara sama Zahira," kata Agung. Jeda cukup lama, tapi Riana enggan menyela, ia diam menunggu Agung melanjutkan ucapannya.
"Zahira udah akuin semuanya," lanjut Agung.
"Akuin apa?" tanya Riana akhirnya.
"Semuanya," Jawab Agung. Riana mengerutkan dahi, bingung pada ucapan Agung. Namun Riana bisa melihat kepalan tangan Agung diatas meja mengerat.
"Keputusan yang saya buat semata-mata karena Zahira, saya enggak mau dia nekat lagi, tolong sampaikan pada Abi, saya menunggu dia," kata Agung, kemarahan tercetak jelas diwajah walaupun ia melembutkan suaranya.
Riana terdiam, ia tidak bodoh untuk sekedar mencerna perkataan Agung barusan. Ia mengerti betul, tapi menerimanya begitu saja tentu enggak mudah.
"Sebenarnya Za bilang apa? Apa yang dia akui ke Mas Agung?" tanya Riana.
KAMU SEDANG MEMBACA
halo tetangga
General FictionKampung beringin menjadi saksi bisu lahir dan besarnya Riana, gadis 24 tahun anak ketua rukun warga 06. Menjadi anak dari ketua RW membuat Riana dikenal oleh warga, apalagi parasnya yang manis dan sikapnya yang ramah pada setiap warga membuat ia dis...