Lari

207K 8.9K 91
                                    


Sepulang dari kampus, aku langsung pergi bersama Sandra. Dia mengajakku ke Cafe baru tak jauh dari Kampus. Bersama Cindy juga Cameron. Kami tak lama disana, seperti remaja pada kebanyakan. Kami memesan beberapa makanan, dan sisanya foto foto. Karena Cafe yang kami datangi memiliki konsep yang lumayan unik.

Setelah hari sudah mulai malam, barulah kami pulang ke rumah masing masing. Badanku rasanya sakit semua jika sehabis pulang dari pergi bersama Sandra dan lainnya. Padahal aku hanya ingin makan tenang, tanpa adanya foto foto.

Aku pulang dengan naik taksi, melihat pintu yang terbuka begitu saja. Aku langsung menghembuskan nafasku. Dia masih ada. Aku berusaha tak peduli, membayangkan kasur empukku membuatku ingin cepat cepat masuk kedalam rumah. Aku menatap sekeliling, tak ada orang. "Aku pulang!" teriakku. Sudah pasti tak ada yang menyahut, Memangnya David pernah membuka mulutnya untuk menyahutiku.

Aku lalu naik ke kamarku untuk meletakkan tas dan juga mengganti bajuku menjadi pakaian yang lebih nyaman, hanya sebuah kaos kebesaran sebatas pahaku. Lalu aku kembali turun, berniat mengambil segelas jus dan cemilan. Untuk teman mengerjakan tugas.

Aku membuka kulkas, mulai memilih jus apa yang aku mau minum. Dan pilihanku jatuh pada jus jeruk, aku mengambilnya dan hendak menempatkan nya pada gelas yang sudah aku siapkan. Tapi gerakkan ku terhenti. Telingaku menangkap suara. Aku yakin aku mendengarnya. Meski suaranya samar samar dan terdengar jauh, tapi aku tahu itu suara teriakkan seorang wanita.

Aku langsung menoleh ke arah lorong yang diujung nya terdapat ruang merah. Ingatan tentang kejadian delapan tahun lalu berputar kembali di ingatanku. Oh, shit! Aku ingin mengeluarkan isi perutku jika ingat itu. Bulu halus di sekitaran leherku mulai meremang. Aku ketakutan.

Aku menelan salivaku dengan susah payah. "Itu bukan urusan ku." aku berkata pada diriku sendiri. Lagipula, David, tidak bisakah dia lebih berhati hati sedikit?! Setidaknya jangan sampai aku mengetahui nya.

Kucoba untuk tidak peduli dengan yang aku dengar, aku tak jadi mengambil jus dan camilan ku. Karena aku yakin aku bahkan tak bisa menelan ludah di situasi seperti ini. Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku, meski rasanya langkahku sangat berat untuk meyakinkan diriku bahwa aku tak mendengar apapun. Juga perasaan ini. Aku mengepalkan tanganku. "Benar benar" runtukku yang lagi lagi tak bisa menahan rasa penasaran ini.

Ku putar langkahku menuju kamar merah. Meski sedikit gemetar, kupaksakan diriku melihat untuk kedua kalinya. Aku juga tidak tahu apa yang akan aku lakukan saat aku melihatnya lagi. Di situasi seperti ini, aku tidak bisa berfikir panjang. Aku hanya melakukan nya.

Aku berdiri di tempat yang sama, dengan posisi yang sama seperti delapan tahun yang lalu. Hanya saja mata ini belum siap terbuka, Kalau aku ketahuan, aku akan mati kan?, tanyaku dalam hati.

Aku memalingkan wajahku, dan mulai membuka mataku yang terasa sangat berat untuk di buka. Rasanya berat sekali, melebihi rasa kantuk saat menemani Sandra ke Club. Hanya modal tekad, aku berhasil membuka lebar mataku. Dan sekalinya membuka lebar, mataku terus membuka lebar, menatap membulat ke arah apa yang ingin aku ketahui.

David yang pertama kali aku lihat, lalu mataku beralih pada seorang wanita yang berumur sekitar dua puluh tahun. David disana, sedang berdiri memperhatikan sebuah tali yang menjerat leher wanita itu, tali itu mengarah pada sebuah alat yang terus berputar sehingga leher wanita tersebut akan makin tercekik. Wajahnya sudah membiru. Tapi David dengan santainya, hanya diam memperhatikan.

Mataku memanas, ku palingkan wajahku. "Sial!" aku tak bisa menahan tangisku, aku melangkah menjauh , tapi kakiku tak kuat menopang tubuhku yang bergetar hebat. Rasanya sangat sulit di gerakkan. Aku benci apa yang aku lihat.

Kaki ku, kupaksa bergerak. Aku harus lari! Sebelum ia melihatku, "ayo bergerak!" aku memukul mukul kaki ku sendiri.

Prangggg!
Aku tak sengaja berpegangan pada pajangan berbahan logam yang ada di dekatku, logamnya yang menyentuh lantai menimbulkan bunyi yang akan di sadari David, segera!

"Atlanta?" panggilnya. Tidak, tidak, jangan kemari. Aku belum sempat lari. Semakin aku berusaha berlari, kakiku semakin tak bisa di gerakkan, "Athlanta" panggilnya lagi, suara nya terdengar sangat dekat.

Aku berbalik, menatap David yang sedang menatap ke arahku, entah seperti apa ia memandang ku, aku tak tahu. "Dad?" ujarku dengan suara bergetar, setelah itu tangisku pecah. Tanganku sudah bergetar hebat. Sepertinya aku benar benar akan mati.

"Kau melihatnya?" tanya nya, tak kudengar nada cemas atau raut marah, karena aku melihat semua itu. Hanya suara berat, tanpa nada."A-aku" aku tak bisa menjelaskan nya. David hanya menatapku, membuatku makin menundukkan kepalaku.

CTAK!!

Suara keras itu berasal dari kamar merah, entah apa yang terjadi. Apa kepala wanita itu putus atau apa aku tak tahu. Pikiran itu hanya akan membuatku semakin ingin menangis dan takut. Aku sangat takut, jika aku selanjutnya.

"Pergi, kalau bisa lari jika itu yang kau mau." ucapnya padaku. Aku mengangkat pandanganku ke arah David. "Aku tidak akan mengulang perkataanku." ujar nya lagi. David langsung berbalik, masuk ke dalam ruangan. Dengan langkah tak pasti aku berlari atau berjalan, entahlah. Yang pasti aku terus berjalan ke arah kamarku.

Sesampai nya di kamar, aku langsung mencari handphone ku. Aku mengetik no polisi setempat. "Aku harus laporkan ini bukan?" tanya ku pada diriku sendiri. Tapi aku kembali ragu. "Atau kuberi tahu Sandra lebih dulu?" Aku menggeleng, Sandra bukan opsi yang bagus. Aku benar benar bingung, aku tak bisa menutup mata, tapi juga tak bisa melakukan apapun.

"Apa yang terjadi jika aku melaporkan Daddy ku sendiri?" Aku terus bertanya tanya kemungkinan apa yang akan terjadi jika aku gegabah dalam bertindak. Aku menatap ke tanganku yang menggenggam ponsel. Hanya sekali tekan, dan aku akan terhubung dengan polisi. Aku terus menatap benda pipih itu seiring dengan detak jantung ku yang memompa tak karuan.

"Lakukan."

Deg.

Aku mengangkat pandangan ku, dari arah ponsel ke arah seseorang yang tengah bersender pada pintu. Reflek langsung ku lempar handphone ku ke arah kasur. "A-aku tidak bermaksud me-melakukan nya. Pikiran ku hanya sedang kacau." jelasku, lebih tepatnya aku ber alasan.

David menghampiriku, ku perhatikan seluruh tubuh serta pakaian nya. Tak ada bercak darah, dia bersih. Tidak seperti pembunuh yang sering ku pikir. Atau karena dia belum memulainya? Aku tak tahu dan tak mau tahu.

David menarik kursi single yang biasa ku pakai untuk belajar, ia memposisikannya di hadapan ku. Aku memegang dada kiri ku, aku benar benar merasa takut, hingga jantungku sedikit ngilu rasanya. "Kubilang lakukan, lakukan di depanku" ujar David lagi, terdengar seperti nada perintah.

Aku mengambil kembali handphone yang sempat ku lempar, aku menelan salivaku yang terasa sangat sulit di telan. Aku menatap David dengan mata berkaca kaca. Tapi yang di tatap hanya menatap ku dalam diam. Aku benar benar serba salah bukan?

Dengan tangan bergetar hebat, aku mulai menekan tombol untuk menelfon, "Halo, kami dari kepolisian, ada yang bisa di bantu?" ujar seorang wanita dari seberang sana. Aku menatap David sekali lagi, ia tak terlihat panik, atau melakukan gerakan gusar lainnya. Dia hanya tetap diam, memperhatikan.

"A-aku." lidahku kelu. Aku mencengkram kuat ujung bajuku, aku menarik nafas dalam dalam, "Maaf, seperti nya aku salah sambung."

Pip.

Sudah kupikirkan, hanya ini balas budi yang bisa kulakukan untuk David. Lagipula, David sudah merawatku dan memberikan segala fasilitas ini. Jika aku sudah bisa mencari uang sendiri, mungkin lain lagi cerita nya.

David menaikkan sebelah alisnya, "Kau benar benar akan menyesal seumur hidup mu, kau tahu?"

Benar, mungkin aku akan merasa bersalah setiap waktu mulai saat ini, dan entah pilihan ku ini membawa diriku kemana. Aku juga penasaran.

PSYCOPATH IS MY DADDY✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang