Part 35

536 35 8
                                    

Bandung di pagi hari. Mentari yang masih bersembunyi di balik awan, membiarkan embun-embun masih bergelantungan di ujung dedaunan. Beberapa ekor burung hinggap di atas pohon jambu air di depan rumah berlatarkan rumput hijau. Rumah Nikita.

Harum tumis bawang menguar dari dapur bernuansa hijau. Mama Arin memang suka warna hijau. Di balik warna teduh dan menenangkan itu, juga tersimpan kenangannya bersama almarhum suaminya. Awal pertemuan mereka di kampus karena mereka terlalu sering bertemu saat sedang sama-sama memakai kaos berwarna hijau. Mulanya Mama Arin kesal melihat Papa Afnan yang seperti meniru, bahkan beberapa teman sempat menggoda. Kebetulan mereka ikut organisasi yang sama.

Hingga suatu hari, dalam sebuah acara kampus. Mereka bertemu kembali memakai kemeja berwarna sama. Kali ini tidak ada kekesalan lagi. Papa Afnan meminta maaf dan Mama Arin tertawa menyadari kekonyolan sikap mereka. Dari situlah akhirnya mereka mulai dekat.

Dua piring nasi goreng kecap bertabur sosis sudah siap di atas meja. Setelah mencuci tangan Mama Arin melangkah menuju kamar Nikita. Dibukanya pintu kamar, sang penghuni masih asyik bergelung di bawah selimut. Semalam memang Nikita bergadang, katanya ada tugas. Jelas terlihat dari sisa-sisa kekacauan ; buku-buku tergeletak di atas meja juga laptop yang masib menyala.

Mama Arin membereskan buku, menumpuknya menjadi satu. Menatap layar laptop di mana terlihat Dimas dan Nikita yang duduk berdua di kursi besi. Foto yang diambil sebelum keberangkatan Dimas ke London. Mama Arin tersenyum, melihat raut dua insan itu. Tak terasa, sudah beberapa bulan ini mereka menjalani hubungan jarak jauh.

Terkadang ada rasa sedih yang dipendam oleh Mama Arin, melihat Nikita yang terbiasa berangkat dan pulang kampus diantar Dimas. Setiap Sabtu malam mereka berdua akan duduk-duduk santai di halaman belakang. Juga hari Minggu yang mereka lewati bersama, entah itu di rumah atau berjalan-jalan keluar. Sekarang, Nikita lebih sering sendiri.

Mama Arin tak pernah bertanya tentang perasaan Nikita. Lagi pula tak ada hak mencampuri urusan perasaan putrinya. Nikita dan Dimas sudah bisa berpikir dewasa, pikirnya. Selama mereka nyaman, Mama Arin akan mendukung. Namun, bila salah satu dari mereka mulai goyah. Mungkin ia akan merundingkan jalan terbaik bagi mereka.

Nikita menggeliat, mengerjapkan mata ketika Mama Arin menyingkapkan kain tirai. Membebaskan cahaya matahari yang mulai menghangat untuk menembus kaca jendela. "Mama ...," gumam Nikita.

Mama Arin duduk di tepian ranjang. Mengelus kepala Nikita, "Kebiasaan. Kalau enggak solat susah bangun pagi."

"Ngantuk, Ma," sanggah Nikita. Perlahan menarik tubuh untuk bersandar. "Jam berapa?"

"Baru jam enam lewat lima," sahut Mama Arin. "Masih ngantuk?"

"Maunya tidur lagi, tapi ada kuliah pagi."

"Tugasnya udah beres?"

Nikita mengangguk setelah menguap panjang.

"Teleponan sampai jam berapa semalam sama Dimas?"

"Sampai jam dua belas malam, terus ngerjain tugas sampai jam tiga." Nikita menjawab masih dengan suara serak. Lalu menengadahkan kepala menatap langit-langit kamar. "Tata cape, Ma," gumamnya serupa bisikan.

"Maksudnya?"

Nikita menarik napas, mengembuskannya cepat. "Benar kata orang, hubungan LDR bukan cuma masalah menjaga kesetiaan dan kepercayaan. Tapi juga menyesuaikan. Tata mau tidur, Kak Dim telepon. Giliran Tata telepon buat nanyain soal tugas, Kak Dim lagi sibuk."

"Tapi kalian enggak ada masalah, 'kan?" tanya Mama Arin intens.

"Enggak, kalau untuk masalah perasaan kita masih bisa jaga. Masalahnya, menjaga perasaan ini agar tidak mengeluh ... yang susah."

My Boy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang