Part 32

585 28 0
                                    

Orang bilang cinta itu tumbuh karena terbiasa. Lalu bagaimana jika setelah terbiasa, kemudian berpisah?

Apa harus kembali pada titik, di mana sebelum cinta itu tumbuh?

Seminggu sudah, Dimas mendiamkan Nikita. Tidak menemuinya, tidak menelepon. Bahkan tak menyapa sedikit pun, saat beberapa kali berpapasan di kampus.

Lalu Nikita, seakan bertahan pada egonya. Menunggu sebuah kepastian, tanpa ingin mencari tahu jawabannya.

Nikita menyesap lemon tea di gelasnya, mengaduk dengan sedotan, kembali menyesapnya. Dengan tatapan yang ... gugup.

"Lagi marahan, ya?" Tukas Sisil, menyadari gelagat tidak normal Nikita.

"Siapa?" Nikita balik bertanya.

"Tuh!" Tunjuk Sisil dengan lirikan mata. Ke arah di mana Dimas sedang duduk-duduk bersama kawannya.

Nikita melengos, lalu membuka layar ponselnya.

Tak ada pesan, yang mewarnai harinya. Kata-kata manis dan romantis Dimas, yang bisa membuat senyum terus berhias di bibir Nikita.

"Hei!" Nuri datang, lalu duduk di salah satu kursi kosong.

"Abis dari mana aja?" Nikita berusaha bersikap biasa.

"Perpus lah, mana lagi?" Nuri menjawab tak acuh.

Nikita dan Sisil hanya memberi ekspresi 'oh', lalu kembali menikmati minuman mereka.

"Hei, boleh ikut duduk?"

Ketiganya menoleh, Randy berdiri memegang mangkuk di tangan kanan lalu sirup di tangan kiri.

"Semua kursi penuh, cuman ini yang kosong," lalu duduk di sebelah Nikita.

"Boleh, Kak! Milik umum, kok!" Kelakar Sisil.

"Kecuali cewek manis ini, udah ada yang jabel!" Nuri menambah candaan, dengan mata memberi isyarat.

Nikita mengikuti arah yang ditunjuk Nuri. Di sudut sana, Dimas menatap intens Nikita. Seakan memberi penjagaan siaga, atas serangan musuh pada wilayah kekuasaannya.

Randy tertawa kecil, "daftar lah, siapa tau bentar lagi ikatannya dilepas!" Lalu menikmati mie ayam di depannya.

Nikita terdiam. Entah itu hanya sebuah godaan, canda, atau serius dari Randy. Yang pasti, ada yang berdenyut di dalam hatinya.

Segera tangannya merogoh dompet, lalu mengeluarkan selembar uang. "Gue duluan, ya!" Lalu berdiri, meraih tasnya.

"Lho, kok gitu? Ga asik banget kamu, Nik!" Protes Sisil.

Nikita hanya tersenyum kecut, lalu melambaikan tangan tanpa banyak tanya. 

"Kalo lagi marahan, emang gitu kali ya, bawaannya?" Seloroh Sisil, masih sempat didengar oleh Nikita.

Tapi tak dihiraukan. Nikita lebih memilih pergi dengan langkah cepat, menuju area parkir.

Klik ....
Tangannya memasukkan anak kunci. Tapi, ada sebuah tangan yang menahan saat Nikita akan memutarnya.

Jangan tanyakan lagi, tangan siapa itu?

"Yan!"

"Oiii!"

"Bawain ya, ke rumah gue aja?"

"Sip!"

Nikita mendongkak segera, "apaan sih, Kak?"

"Ikut!" Dengan gaya cueknya Dimas menarik tangan Nikita.

"Ga mau, aku mau pulang!" Nikita berusaha melepas genggaman Dimas.

My Boy (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang