Bab III: Tiga Angguk

205 29 3
                                    



Sebuah kamar bernuansa putih itu tampak lapang, hanya ada sebuah single bed, lemari, dan meja belajar yang terlihat sangat sederhana. Dahulu, kamar itu penuh dengan berbagai macam barang berbau basket. Saking penuhnya sampai membuat kebanyakan orang rasanya enggan untuk menetap terlalu lama. Namun, sekarang, sudah tidak lagi. Ruangan yang sempat menyesakkan sudah berubah menjadi kamar sederhana yang luas.

Pintu ruangan itu terbuka dari luar. Ada seorang laki-laki yang masih setia dengan celana kotak-kotak dan kaus hitam polosnya, Jeffrey. Ia memasuki kamar lalu menutup pintu kembali.

Jeffrey berjalan ke arah ranjang dan duduk di sana. Ia hanya memandangi bola berwarna oranye di tangannya dalam diam. Tadi, saat ia ingin berlatih seperti rencana yang sudah ia tetapkan, Bunda Linda justru tidak memperbolehkan. Jeffrey memang mendapat izin untuk ikut ekstrakurikuler basket. Namun, bukan untuk berlatih di hari yang mulai gelap sehabis pulang sekolah.

Berakhirlah Jeffrey di sini dengan pikirannya sendiri. Jeffrey tertawa kecil. Ia menyadari bagaimana dirinya yang sangat bersemangat untuk mulai bermain basket setelah sekian lama hanya karena seorang perempuan asing yang bahkan tidak pernah ia temui sebelumnya.

"Gak logis sama sekali," ucap Jeffrey pada dirinya sendiri.

Jeffrey memang pernah menjadi kapten basket, ia ingat itu. Namun, ada satu masa di mana perasaan dan ambisinya hilang, menguap begitu saja. Jeffrey bahkan masih berusaha untuk mengembalikan rasa cintanya terhadap basket, tetapi selalu gagal kala itu.

Semua yang Jeffrey alami di sekolah barunya terkesan di luar akal sehat. Bagaimana ia bisa terpana dengan seorang perempuan bernama Kayra, bagaimana ia bisa dengan mudah mengatakan akan ikut ke dalam ekstrakurikuler basket yang satu tahun belakang telah ia hindari, dan bagaimana ia dengan bodohnya mencari seorang perempuan dengan hanya bergantung pada takdir yang membantu.

Jeffrey memang bodoh jika mengingat bagaimana tindakannya yang ceroboh, tetapi Jeffrey yakin satu hal bahwa perasaannya tidak pernah seceroboh itu.









Kantin sekolah memang selalu ramai di waktu istirahat. Para murid berhamburan masuk untuk mengisi kembali energi mereka yang terkuras setelah melewati berbagai jenis pelajaran. Jeffrey pun sama. Beruntungnya, laki-laki itu sudah duduk di salah satu kursi kantin setelah mengantre cukup lama.

"Fathan kenapa gak ke kantin?" tanya seseorang yang sedang lahap menyantap mie ayamnya, Shankara Kaili Parama, akrab dipanggil Rama. 

"Mau tidur katanya," jawab Jeffrey.

"Kebiasaan," respons seseorang di samping Rama, Muhammad Evano Adhitama atau sering orang panggil Vano.

"Kalo si Naufal sama Reynand kenapa, Tar?" tanya Vano kepada Tara.

"Si Rey lagi nyalin tugas, Naufal nemenin."

Pantas saja, meja itu hanya diisi oleh empat orang ini. Rupanya, Fathan sedang sibuk dengan mimpi, Reynand masih berurusan dengan tumpukan tugas serta soal-soal yang belum diisi, dan Naufal yang selalu siap menemani. Soal Gibran, laki-laki itu memang tidak pernah meluangkan waktunya untuk beristirahat di kantin, mungkin sibuk melakukan meditasi.

Barisan BukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang