🌹02🌹

59 9 0
                                    

Sebagai salah satu penghuni rumah Lucas, gue juga punya banyak kesibukan lainnya. Salah satunya adalah menjadi seorang mahasiswa.

Gue miskin, well, mantan orang kaya kalau bisa dibilang. Tapi bukan berarti otak gue sarat dengan kepintaran. Gue masih mampu melanjutkan pendidikan dalam bidang Akutansi gue sampai ke salah satu universitas ternama di USA.

Pandangan gue melebar saat melihat ruangan kelas masih kosong. Gue pun duduk, mulai menyalakan lagu dengan earphone, sebelum beberapa saat menikmati alunan nada lembut sebuah lagu dengan damai.

"You've already here, huh?"

Gue menoleh, mendapati sosok berjaket denim dipadu dengan kaus putih dan topi hitam, duduk di samping gue sambil tersenyum.

"Oh, Josh! Wow, it's not like you, usually."

Josh langsung ketawa. "You're funny. Stop dulu deh bercandanya. Tumben elo dateng duluan."

Meskipun sulit dipercaya, ternyata ada juga beberapa orang Indonesia yang mengemban pendidikan mereka di sini. Gue mah awalannya kaget, terus biasa aja. Meskipun heran. Tapi lama-kelamaan, gue terbiasa ngobrol santai pakai bahasa kasar. Begitupun mereka yang kadang ngelempar gue pake candaan kotor, nanyain pacar, dan lainnya. Seru, cuma agak annoying buat gue.

Beda sama Josh. Anggapannya adalah, dia adalah kakak gue saat gue ngampus di sini. Dia baik. Baik banget.

"Udah sarapan?" tanya Josh pas gue membuka lembaran binder di depan gue, berusaha mengingat-ingat pelajaran yang minggu lalu diberikan dosen.

"Udah. Lu udah?"

"Gue belum nih. Awalnya gue mau ke kantin," muka Josh tiba-tiba ngedeket ke gue. "Tapi gara-gara lo nggak bisa nemenin gue, nggak jadi sarapan deh."

Gue memandang Josh yang terkekeh dan nunjukkin senyumnya. Manis banget. Gemes, pengen gue unyel-unyel.

"Siapa bilang gue nggak bisa nemenin? Lagian kayaknya sarapan gue dikit banget tadi."

Mukanya Josh langsung semangat gitu. Aaaaa gemes deh.

Tahan, Leah. Lu nggak boleh begitu sama Josh.

Gue mendesah panjang, lalu berdiri dan naruh tas di bangku, sambil ngeluarin dompet dan ponsel. "Ayok gue temenin."

Josh langsung bangkit dan natep gue nggak percaya. "Serius? Oke deh!"

Josh naruh tasnya di bangku sebelah gue, langsung narik tangan gue keluar kelas. Gue mengikuti langkahnya yang riang, tersenyum gara-gara perilaku Josh yang kadang kayak anak kecil banget.

Pas kita sampai di kantin, dia nyuruh gue duduk di salah satu meja dan langsung pergi tanpa ngomong apa-apa. Emang suka nggak jelas itu orang.

Ketika gue mulai membuka ponsel, gue mendengar suara hiruk-pikuk samar dari pintu kantin. Gue mengerutkan dahi, buset pagi-pagi aja udah rame. Kenapa tuh?

Tiba-tiba meja sebelah gue yang isinya kebanyakan cewek-cewek, lagi ngobrolin tentang keramaian yang barusan gue perhatiin. Menurut suara yang kuping gue dengar, ada cowok-cowok yang populer di jurusan lagi makan di kantin

"They're cute, like really cute!"

Cewek-cewek sebelah gue pada bersorak, gue jadi pusing dengernya. Penasaran gue, yang mana dah orangnya?

Josh udah balik, bawa nampan isi bubur sama susu kotak, sementara dia bawa bungkusan plastik juga.

"Lama juga, Josh. Nggak bawa uang tunai ya?"

Josh ketawa kecil. "Iya, narik dulu di ATM. Eh, nih gue bawain roti sama susu."

Gue ngambil bungkusan yang dia bawa, terus mulai ngebuka isinya. Ada roti dua biji, susu putih, sama air putih.

Shouldn't Couldn't Wouldn't | ft. Lucas NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang