🌹15🌹

38 5 1
                                        

"Kamu siap?"

Leher gue kok rasanya kayak kecekik, ya? "Darren," gue berbisik pelan sementara kita bertiga mendekati Lucas yang berdiri beberapa meter jauhnya, "kenapa gue merasa takut, ya?"

"Aku akan menjelaskan semuanya pada Lucas."

"Heh?!" desis gue sambil memukul lengannya, "setelah selama ini lo jadi bekingan gue, sekarang lo balik arah dan nusuk gue dari belakang?!"

"Leah, mending lo urusin dulu tuh 'tuan' lo."

Sebelum gue protes lebih parah lagi, Lucas sudah menggenggam tangan gue. Genggamannya keras, rasanya tangan gue nggak bakal dilepas sama dia.

"Kemana aja?"

Apakah gue memang serindu itu sama Lucas? Karena sekarang gue pengen menjatuhkan harga diri gue untuk memeluk dia. Tapi imajinasi tinggal harap, gue menjawab ketus, "nanti Darren yang jelasin. Kita pulang aja."

Gue dan Lucas lumayan berdebat untuk nentuin gimana Josh pulang. Akhirnya kita sepakat untuk nganter Josh pake pengawal dengan gue di mobil yang sama, sementara Lucas naik mobil yang dia bawa sendiri. Darren pun tahu diri, dia jadi ikut ke mobil Lucas.

Selama di perjalanan menuju rumah Josh, temen gue ini malah gerak-gerak nggak jelas. Kayak cacing kepanasan. "Lo kenapa?"

"Gue nggak nyaman kalau dianter pake mobil mahal. Le."

"Maksud lo apaan anjir HAHAHAHAHAHAHAHAHA."

Gue yakin, sopir dan pengawal pada nggak ngerti bahasanya Josh. Tapi gue malah ketawa, ngakak banget.

"Seriusan, Le. Gue takut kalau naik mobil yang kayak gini."

"Kocak banget," gelak gue tanpa berhenti. Sementara Josh malah nyender di punggung gue. "Pinjem bentar, ya. Gue ngantuk."

Meskipun Josh punya pacar, nggak bisa dipungkiri kalau dia memang sering manja ke orang lain. Ke gue pun sama. Gue nggak menjawab, cuma nepuk-nepuk pundaknya sambil nyanyi-nyanyi kecil.

Selagi bersenandung, gue kembali memikirkan kejadian sepanjang sore tadi. Kabur dari rumah sakit bareng Darren, ngobrol bareng Jaxon, lari-larian bareng Darren. Ketangkep sama Lucas. Dalam hati gue tertawa kecil. Apa siklusnya akan seperti ini?

Gue jadi mulai mikir, bagaimana kalau tiba-tiba Lucas ninggalin gue. Sangat bisa dipastikan kalau suatu saat nanti Lucas akan pergi selamanya dari hidup gue. Akan ada saatnya Lucas nanti menikah, punya anak-anak yang lucu, punya harta nggak abis-abis.

Apa gue akan dilupakan sebegitu mudahnya? Apa nanti... gue nggak akan punya kesempatan untuk hidup bahagia sama Lucas?

Ah, kayaknya gue terlalu banyak meminta. Bahkan mungkin Tuhan udah muak sama permohonan gue yang nggak ada habisnya. Panggil gue serakah, gue mengakui hal tersebut.

Apakah gue suka sama Lucas. Brur, dari awal gue ketemu sama dia aja gue udah deg-degan. Pas dia minta minum sama gue di club, rasanya kaki gue lemas nggak ada ampun. Ketika dia mengajak gue tinggal serumah, otak gue udah nggak bisa mikir lagi.

Dan puncaknya, ketika kita melakukan itu untuk pertama kali, hati gue udah sepenuhnya milik dia.

Gue nggak menyangkal maupun menerima kenyataan ini. Dan sebenarnya, gue juga nggak mau kayak cewek lemah begini. Tapi kalau sudah kejadian seperti ini, gue harus nyalahin siapa? Lucas? Nggak mungkin. Dia nggak ngapa-ngapain. Gue yang seharusnya tahu diri.

Iya, memang kodratnya begitu.

Haah, lama-lama kalau dipikir lagi kepala gue jadi suka pusing. Apa karena efek stress? Atau... karena lupa ingatan beberapa tahun yang lalu? Tentang itu, gue akan menanyakannya pada orang tua gue. Semoga mereka mau menjelaskan semuanya sama gue.

Shouldn't Couldn't Wouldn't | ft. Lucas NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang