PART 2

3.8K 221 3
                                    

Setelah semua acara selesai, orang tua kami pun pamit pulang.

"Kami pulang dulu, kalian hati-hati di jalan ya?"

"Iya, Mah. Hati-hati di jalan juga ."

Aku dan Refan pun memasuki mobil lain. Bukan, ini bukan mobilku. Melainkan sewaan. Kemarin Bunda berjanji akan meminjamkan motornya. Lumayan, daripada susah kemana-mana.

Setelah sampai di kontrakan, kami melihat foto yang Bunda Mamah kirim lewat Whatsapp. Namun, aku keheranan karena foto dan aslinya sungguh berbeda.

"Ini beneran rumahnya?" Kataku pada Refan.

"Iya. Alamatnya benar kok."

Aku menggaruk kepala yang tak gatal.

"Ya sudah kita masuk aja dulu. Siapa tau di dalam sudah lengkap peralatannya."

Kami pun masuk. Harapan hanya tinggal harapan. Rumah ini kosong melompong. Tak ada barang satu pun yang tergeletak. Kecuali satu tikar usang. Di atasnya terdapat surat.

"Sayang, maafkan Mamah, Papah, dan Bunda ya. Bukan tega, tapi kami ingin kalian mandiri. Di dalam amplop ini, terdapat uang dua juta rupiah. Terserah kalian mau di belikan apa. Jangan datang ke rumah untuk meminta bantuan, cobalah hidup mandiri. Fighting!"

Hatiku mencelos membaca isi surat. Allah, ini baru di mulai ya? Tapi rasanya aku sudah ingin melambai pada kamera saja, eh.

"Dua juta cukup buat beli apa?" Tanya Refan.

Aku mulai berpikir. Bagaimana caranya menyulap uang ini untuk kebutuhan kami. Lama ...  lalu aku menemukan ide.

"Gini aja, aku kayaknya masih ada tabungan satu juta di rumah. Nanti aku ambil. Kalau kamu masih ada tabungan, kamu ambil juga. Yang penting kita bawa yang punya kita. Baju jangan lupa. Nanti kita ketemu lagi di sini. Oke?"

Refan mengangguk.

"Ya sudah, aku ganti baju dulu, terus ke rumah Bunda."

Kami lalu bergantian mengganti baju. Lalu berangkat sendiri-sendiri ke rumah orang tua.

Sambil berjalan, aku merasa bahwa keputusan untuk menikah tidaklah buruk, bisa lebih menghargai hidup.

"Assalamu'alaikum, Bunda."

"Wa'alaikum salam. Lho, pengantin baru kok ke sini? Sendirian lagi."

"Ish, Bunda. Anaknya dateng bukannya seneng."

"Ya kan kita baru ketemu tadi pagi, Sayang."

"Hehehe. Bun, Lina mau ambil uang dulu."

"Eh, uang apa?"

"Tabungan Lina lah."

"Ada berapa?"

"Satu juta."

"Nih, Bunda kasih dulu. Nanti biar Bunda ambil dari kamar kamu. Dan ini, baju kamu sudah Bunda siapkan."

Aku melongo melihat Bunda yang sepertinya sangat telah siap melihat aku tak di sini lagi.

Aku membuka tas, melihat apa saja isinya. Hanya baju?

"Kok cuma baju, Bun?"

"Lalu apa lagi? Kan kamu butuhnya baju."

"Sepatu, parfum, lipstik, bedak, kok gak ada?"

"Beli aja dari uang yang di amplop itu."

"Tapi, Bun, itu cuma dua juta. Cukup buat beli apa?"

"Ya kamu pikir sendiri. Inget sayang, sekarang kamu sudah menjadi ibu rumah tangga. Yang pinter mengelola keuangan ya!"

Aku hampir menangis melihat ketegaan Bunda. Meski aku tau, beliau hanya ingin mengajarkan kemandirian dan tanggung jawab pada anak manjanya ini.

"Ya sudah, Lina pulang ya, Bun."

"Hati-hati ya."

🌸🌸

Aku sampai rumah lebih dulu. Refan belum kelihatan. Baiklah, sambil menunggu dia datang, aku mencatat beberapa peralatan yang harus kubeli.

Kompor, pisau, talenan, baskom, ember, kasur, kursi kecil, dan lain-lain. Rasanya uang yang di amplop dan uangku ini sudah cukup. Semoga Refan mempunyai tabungan juga. Lumayan buat modal usaha kecil-kecilan.

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara Refan memasuki rumah.

"Wa'alaikum salam." Reflek aku mencium tangannya.

"Eh, maaf. Reflek." Duh, malu!

"Iya, gak apa-apa, is-tri-ku."

Pusssh!
Rasanya pipiku hangat bahkan mungkin sudah memerah. Kami jadi salah tingkah.

"Hem, maaf, aku cuma bawa segini." Refan mengulurkan amplop berisi uang satu juta lima ratus. Total semua empat juta lima ratus. Baiklah, ini lebih dari cukup.

Aku mengulurkan kertas berisi daftar belanjaan, "Ini, nanti kita beli ini dulu saja." Kataku, masih sambil deg-degan.

"Piringnya gimana? Kok belum di tulis?"

"Oh iya, kalau piring kita beli setengah lusin dulu aja ya? Begitupun gelas."

"Ya sudah, ayo kita berangkat ke pasar. Kebetulan tadi aku melewati dan masih buka"

Baru satu langkah kami keluar, tiba-tiba kami di kejutkan oleh suara petir. Lho, hujan? Perasaan tadi masih terang.

"Gimana ini? Hujan."

"Ya sudah kita tunggu sampai hujannya reda."

Kami duduk di dalam beralaskan tikar. Ah, andai saja Bunda kasih honeymoon satu hari, pasti enak tidur di hotel. Eh? Ngomong-ngomong tidur, apakah nantinya kami akan tidur satu ranjang? Duh! Mikir apa sih, Lin?

🌸🌸

Hari sudah malam, namun hujan tampaknya belum mau pergi. Kami mulai gelisah, karena tidak mungkin kami paksakan untuk pergi juga.

"Bagaimana ini? Hujan. Kalau di tunda sampai besok, kita tidurnya di atas tikar ini? Mana cukup." Aku mengeluh.

"Ya gimana lagi, Lin. Kita ga punya pilihan."

Aku menghela napas panjang. Baiklah, untuk satu malam saja.

"Hem, kita ... Em, tidur ... Bareng?"

Refan nampak salah tingkah. Begitupula aku yang langsung menyesali pertanyaanku.

"I-iya. Ta-tapi kamu gak perlu khawatir. Aku gak akan macem-macem kok. Janji!"

Aku mengangguk percaya. Karena kami memang sudah berteman lama. Jadi aku paham betul karakternya.

Kami tidur bersisian, memandang ke langit-langit rumah.

"Kamu menyesal?" Tanya Refan tiba-tiba.

"Menyesal pun tak ada untungnya. Yang penting tinggal kita jalanin dengan benar ke depannya. Kamu besok kuliah?"

"Ya ... Mungkin."

"Ya sudah, selamat tidur." Aku memiringkan tubuh, berharap cepat terlelap dan gemuruh di dada cepat menghilang.

Aku belum bisa tidur. Waktu seakan berjalan sangat lambat. Selain karena aneh dengan situasi, juga karena kedinginan. Apalagi di luar habis hujan.

Aku menghembuskan nafas panjang.

"Belum tidur, Lin?"

"Eh? Kamu juga?"

"Kamu kedinginan ya?"

Aku mengangguk, tanpa menoleh ke arahnya. Lalu tiba-tiba, Refan merapatkan badannya ke arahku. Memelukku dari belakang.

"Hanya peluk, Lin. Aku tidak mau kamu sakit. Maaf, sudah membawamu dalam situasi sulit."

Bersambung...

NIKAH MUDA (THE LOVE STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang