Akhirnya kami putuskan untuk menginap di rumah Bunda selama dua hari. Selama itu pula, aku harus menahan kesal karena Bunda lebih perhatian kepada Refan daripada aku. Seperti siang ini, ketika beliau baru saja siap masak.
"Eh, ngapain kamu?"
"Makan lah, Bun."
Dengan sigap, Bunda memisahkan beberapa potong ayam dan semangkok penuh sayur bening. Aku mengernyitkan dahi, tidak biasanya.
"Buat apa itu?"
"Buat Refan." Jawab Bunda sambil berjalan menuju lemari penyimpanan makanan, lalu menguncinya.
"Inget ya, Nduk. Bunda kaya kie udu karena lewih sayang maring Refan. Tapi Refan kue mantu. Aja maning dia wong lanang. Bunda ganu pas Ayahmu esih urip ya cokan kaya kue. Panganane di pisahna, ben aja mangan bekase dewek. (Inget ya Nduk, Bunda seperti ini bukan karena lebih sayang ke Refan. Tapi ya dia itu Mantu. Apalagi dia laki-laki. Dulu waktu Ayahmu masih hidup juga Bunda seperti itu. Makanannya di pisah, supaya tidak makan sisa makanan kita) Paham?" Jelas Bunda.
"Duh, mulai lagi ngapak-nya. Iya-iya, ngerti inyonge (paham aku-nya) Bun. Hehe."
"Alah kamu taunya cuma inyong-inyong doang aja." Jawab Bunda sambil berlalu.
Aku tertawa mendengar jawaban beliau. Bunda asli Jawa Tengah, sedangan Ayah Sunda. Tapi aku tak menguasai bahasa keduanya. Karena selalu di ajarkan bahasa indonesia. Alasannya, supaya kalau dulu mereka berantem jadi kami tak mengerti artinya. Tapi nyatanya, kami bahkan belum sempat berkumpul, Ayah sudah lebih dulu berpulang. Rindu...
🌸🌸🌸
Selepas Maghrib, Refan tak kunjung pulang. Hari ini memang rencananya dia mau melamar pekerjaan. Dan kami sudah mengajukan cuti dua semester. Yah, setidaknya untuk sekarang, kami harus memikirkan cara supaya bisa bertahan hidup tanpa menyusahkan orang tua.
"Kak Refan belum pulang?" Nila datang membawa novel kesukaannya.
"Belum ini. Makanya Kakak lagi nungguin."
"Udah di telpon?"
"Gak aktif."
Lalu aku berinisiatif menelpon Mamah, siapa tau dia disana, kan?
Tut ... Tut ...
Lama tak terdengar jawaban dari sana."Assalamu'alaikum, Lina."
"Wa'alaikum salam, Mah. Lina mau nanya, Refan ada di sana?"
"Nggak ada. Memangnya dia nggak pamit?"
"Pamit sih, Ma. Mau melamar pekerjaan. Tapi sudah maghrib gini belum pulang. Di telpon juga nggak di angkat."
"Coba nanti kamu tunggu sampai jam sembilan. Kalau belum pulang juga. Kita cari ya. Kamu jangan khawatir."
"Baik, Ma. Makasih."
Klik.
Panggilan terputus. Refan, kamu di mana?Aku menunggunya sampai tak terasa mata ini sudah mulai mengantuk. Kulirik jam, sudah jam setengah sembilan. Akhirnya, mata ini tertutup juga, kalah akan kantuk yang mendera.
Ceklek.
Samar kudengar orang menutup pintu. Apa itu Refan?Belum sempat kubalikkan badan, sebhah tangan dalam keadaan dingin dan basah menyentuh tanganku. Bulu kudukku meremang, jangan-jangan...
"Maafkan aku, Lina. Telah menyeretmu dalam keadaan seperti ini. Hari ini aku sudah melamar kesana kemari, tapi tak kunjung dapat. Do'akan aku, supaya cepat dapat kerja dan membahagiakanmu."
Lalu terdengar langkah kakinya menuju kamar mandi. Memang, aku sudah merenovasi kamar ini supaya sebagian bisa di ubah menjadi kamar mandi.
Sejenak aku termenung. Dari awal, aku tak pernah memintanya untuk berusaha sekeras ini. Tangannya dingin dan basah. Apa dia kehujanan? Kenapa tidak menelponku?
Kuubah posisi menjadi duduk. Di kamar mandi, suara kucuran air sudah berhenti. Lalu tak berselang lama, muncul lelaki hanya dengan menggunakan handuk saja. Debaran dada kian menyergap. Allah, apakah ini waktunya?
"Hem, maaf, Lin. Aku kira kamu sudah tidur, jadi aku sengaja tidak membawa baju ke kamar mandi."
"Eh iya, nggak apa-apa kok." Aku menundukkan pandangan. Jangan sampai ia melihat raut wajahku yang mungkin sudah berubah seperti kepiting rebus.
Langkah kaki itu mendekatiku. Aku semakin deg-degan tak karuan. Apa aku telah siap?
"Lin?"
"I-iya."
"Apa kamu sudah siap menjadi istri yang sepenuhnya?"
Aku tau, Refan tengah meminta hak-nya. Lalu aku harus bagaimana?
"Maaf." Hanya itu yang mampu kuucapkan.
"Hah?"
"Aku belum bisa. Maaf."
"Oh, iya tak apa. Aku juga minta maaf, karena tak sabar sehingga bertanya seperti ini."
"Ti-tidak apa-apa."
Kuangkat mata, sedetik kemudian aku terpaku. Jarak antara wajahku dengannya sangatlah dekat. Dia semakin mendekat, aku refleks menutup mata. Tiba-tiba...
"Lin, Refan belum pulang juga?"
Kami langsung terjungkal. Dia ke kanan, dan aku ke kiri. Bunda! Kenapa masuk gak ketok pintu dulu sih? Kan malu!
"Eh..." Bunda pun sepertinya terkejut.
"Ehm, maaf. Bunda tidak tau kalau kalian sedang...."
"Bundaaa!" Aku berteriak.
"Iya-iya. Silahkan di lanjut." Bunda nyengir sambil mengedipkan sebelah matanya. Sial! Beliau salah paham.
"Ehm, ya udah. Aku ti-tidur dulu ya."
Tanpa mendengar jawabannya, aku segera merebahkan badan. Berharap ia tak mendengar, bahwa di dalam sini, sudah ada bom yang siap meledak. Malu!
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH MUDA (THE LOVE STORY)
RomanceRefan dan Lina, 22 tahun, harus menikah karena di tuduh menjadi pelaku video tak senonoh. setelah diketahui siapa sebenarnya pelaku tersebut, keduanya pun tetap menikah. kehidupan yang sebenarnya telah menunggu mereka untuk berjalan.. baca terus ke...