PART 13

3K 202 22
                                    

Setelah mengumpulkan keberanian, aku akhirnya meminta izin sama Mamah untuk pulang ke rumah Bunda tanpa Refan. Ini tidak mudah, sungguh berat.

"Tolong, Mah. Jika nanti Refan sudah bangun, bilang aja kalau Lina pulang ke rumah Bunda. Jangan ijinkan dia nyusul ya, Mah. Lina perlu berpikir."

"Kamu tidak berpikir meninggalkannya kan, Nak?" Mamah bangkit, lalu menggenggam tanganku. Ada secercah harapan, juga ketakutan di bola mata indah itu.

Kini hanya kami bertiga di kamar ini. Rafa sudah pergi, entah kemana.

"Mah, kenapa tega lakuin ini sama Lina? Padahal Mamah tau kalau waktu itu kalau Lina itu pacar Rafa?"

Mamah hanya mengangguk, tanpa menjawab sepatah katapun.

"Kenapa, Mah? Padahal Rafa kan sama-sama anak Mamah. Kenapa tega? Mamah tahu, Lina sangat mencintai Rafa."

"Karena Rafa itu kuat. Sedangkan Refan dulu sewaktu lahir hampir tak tertolong. Maka dari itu, Mamah mohon, jangan tinggalin dia."

"Mamah egois."

Tanpa banyak kata, kuambil tas berisi bajuku. Hanya beberapa lembar yang tersisa. Biarlah yang lainnya tersimpan di sini.

"Lina pamit." Kataku tanpa menunggu jawaban. Memang tak sopan, tapi hati ini sedang tak bisa berkompromi.

Aku memacu mobil dalam kecepatan sedang. Alunan musik mellow semakin membuat air mataku lolos tanpa cela.

Aku menangis ... Meratapi kesialan dan kebodohanku. Kuputar arah menuju pemakaman. Sudah lama aku tak ke pusara Ayah.

Sepi. Hanya ada penjaga makam dan anaknya yang sedang istirahat.

"Assalamu'alaikum, Pak. Numpang lewat, ya." Aku menunduk memberi salam.

"Silahkan, Neng."

Aku berlalu menuju makam Ayah. Rapi. Tak ada rumput yang tumbuh. Apakah penjaga makam merawat dengan baik?

Aku berjongkok di samping makam, lalu mengusap nisan.

"Ayah, seandainya masih ada, aku pasti tak akan hilang arah seperti ini. Kenapa hidupku sulit seperti ini? Apa salahku? Bahkan kuliah saja tertunda, agar bisa menata hidup usai menikah menjadi lebih baik. Namun nyatanya, orang yang mulai aku cintai itu, tega membohongi. Bukan hanya dia, tapi seluruh keluarganya. Kenapa, Yah?" Aku tergugu, terisak begitu dalam. Sungguh, sakit hati ini menerima kenyataan.

Tak lama kemudian, terasa pundakku di tepuk seseorang. Aku tersentak. Rafa?

"Kamu ngapain di sini?" Aku menghapus air mata. Lalu kembali menatap makam.

"Aku hanya rindu Ayah." Terukir senyum di bibirnya. Memang dulu, Rafa sering kuajak ke sini. Hubungannya dengan keluargaku begitu baik. Tapi, aku memang belum pernah bertemu dengan keluarganya. Jadi wajar, jika aku tak tau kalau Refan itu adiknya Rafa. Sial emang!

"Sudah lama?"

"Iya, habis cabutin rumput. Tadinya mau sama Bapak itu, tapi aku larang." Katanya sambil menunjuk penjaga makam.

Aku terkejut, jadi tadi yang bersihin Rsfa?

"Makasih ..." Ucapku sambil tersenyum.

"Sama-sama."

Sejurus kemudian, aku jadi teringat tentang Astrid. Siapa dia sebenarnya? Dengan hati-hati, ku tanyakan hal ini pada Rafa.

"Fa, jadi Astrid itu siapa?"

"Temanku satu universitas. Awalnya aku tak menyukainya. Dia selalu datang jika aku sedang di kontrakan. Dulu, dia bahkan tak pernah menyapaku. Sebelumnya, sewaktu Refan berkunjung, kami bertemu di sebuah Mall. Aku kira dia tertarik sama Refan karena sempat mengobrol berdua. Nggak tahunya, dia nembak aku. Karena terpikir sudah waktunya move on dari kamu, akhirnya diterima. Lama kelamaan, terbuka lah kedoknya. Ternyata, dia bekerja sama dengan Refan. Supaya aku tak mengingatmu lagi. Saat itu juga aku putuskan dia. Tapi dia memohon, katanya dia sudah terlanjur cinta sama aku. Lama berpikir, aku mengajaknya pulang ke sini untuk berpura-pura sebagai calon istri. Agar Refan tak curiga dan terus mencecar Astrid."

Aku manggut-manggut mendengar penjelasan panjang nan lebar dari Rafa. Jadi ini juga ulah Refan? Aku tersenyum sinis. Selicik ini dia? Bahkan sangat berbeda dengan perlakuan dia setelah menikah denganku. Apa dia mulai berubah? Atau hanya berpura-pura saja?

Aku pamit pulang lebih dulu ke Rafa. Terserah ia jika ingin lebih lama di sini. Awalnya, ia meminta ikut ke rumah. Tapi aku larang. Tak enak dengan Bunda.

"Assalamu'alaikum, Bunda ..."

"Wa'alaikum salam. Dari mana?"

Aku mencium tangan beliau, lalu memeluknya. Sesak sekali. Tapi aku harus tahan, Bunda tak boleh mengetahui masalah ini.

"Kenapa? Tumben pake acara meluk gini." Bunda mengelus punggungku. Ah, nyaman.

"Aku dari rumah Mamah. Lanjut nginep sini ya, Bun?"

"Refan mana?" Duileeh, mantu mulu yang di tanyain.

"Di rumah Mamahnya. Masih kangen katanya."

"Berantem, ya?"

Aku menggeleng.

Masuk ke kamar, lalu mandi. Kemudian merebahkan diri di ranjang. Seketika, muncul keinginan pulang kampung ke Purwokerto. Aku langsung duduk, memikirkan kembali.

"Apa lebih baik aku pulang kampung aja, ya? Kangen juga sama Mbah. Sekalian menenangkan pikiran." Kataku.

Setelah menimbang, akhirnya kuputusman pulang, tanpa memberi tahu Refan.

Maaf, Fan. Aku hanya ingin sendiri. Nanti akan ada waktunya kita bertemu dan membicarakannya. Sekarang, aku terlalu hilang arah, untuk mendiskusikan sesuatu.

Bersambung.

🌼🌼🌼🌼

NIKAH MUDA (THE LOVE STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang