PART 3

3.6K 202 2
                                    

Keesokan harinya, kami berangkat ke kampus seperti biasa. Dari rumah aku sudah bisa menduga, pasti mereka akan menghina kami lagi.

"Eh, penganten baru. Kok kuliah? Nggak honeymoon?" Tanya beberapa teman yang masih mau bicara dengan kami.

Refan menggenggam tanganku erat, lalu mengedipkan matanya, memintaku untuk bersabar

Aku hanya diam, toh dari awal memang pasti akan begini kan? Tatapan jijik mereka masih lekat disana, tanpa ada maksud untuk mengurangi.

"Ya sudah, kita ke kelas dulu ya."

Kebetulan, kami sama-sama anak akutansi. Jadi tidak terlalu memberatkan untukku, karena akan ada Refan.

"Jangan di ambil hati. Biarkan saja mereka."

🌸🌸🌸

Setelah pulang dari kampus, kami akhirnya dapat pergi ke pasar. Mencari barang untuk kebutuhan di rumah.

"Piringnya mau yang motif atau polos?" Tanya Refan.

"Yang murah pokoknya. Kita cari yang harganya lebih murah."

"Oke."

Kami melanjutkan kegiatan memilih barang. Hingga akhirnya tiba jatah untuk memilih kasur. Seketika, canggung menguasai kami.

"Ehem, ini gimana, Lin? Mau beli yang single bad atau yang agak besar?"

"Kita beli kasur matras aja ya? Yang kecil aja jadi murah. Beli dua, aku belum siap untuk tidur satu ranjang denganmu."

"Eh? Oh, baiklah." Tampak raut wajah Refan berubah muram. Dia tidak sedang berpikir bahwa kita akan tidur bersama, kan?

Setelah puas memilih, akhirnya kami pulang. Barang akan di antarkan oleh orang yang bekerja di toko perkakas tadi.

"Sisa uang satu juta tujuh ratus enam puluh lima ribu. Kita harus berhemat dalam memakai uang ini. Nih, aku kasih kamu tiga ratus ribu untuk pegangan. Dua ratus buat beli bensin selama sebulan. Sisanya, buat jatah makan kita. Nanti aku akan cari kerjaan. Minimal jadi guru les privat." Kataku.

"Iya, aku juga bakal cari kerja sampingan. Tapi kalau gajinya ga banyak, nggak papa ya?"

"Iya, Fan. Yang penting kita saling jujur."

"Oke, sip."

"Ya udah, aku mau ke warung dulu. Beli telor, beras, mie, sama bumbu-bumbu. Kamu mau nitip?"

"Engga. Apa mau bareng?"

"Nggak usah. Kamu ga liat warungnya persis di depan rumah kita?" Aku berusaha menahan tawa. Mungkin dia grogi karena harus berduaan denganku mulai sekarang.

"Hehehe, ya udah."

Aku melangkah menuju warung. Jalanan tampak lenggang. Tetapi kalau sore hari, banyak anak main. Apa aku jualan aja ya? Yang sekiranya di sukai anak-anak.

"Permisi, Bu. Saya mau beli beras lima kilo, minyak dua liter, mie goeng lima, mie kuah lima, saus, telur setengah kilo dan garam ya." Pintaku pada ibu warung.

"Orang baru, ya, Neng? Kayaknya baru lihat."

"Iya, Bu. Baru pindah kemarin. Jadi semua berapa?"

"Seratus tiga puluh ribu."

"Makasih ya, Bu." Ucapku setelah mendapat uang kembalian.

Kubuka pintu rumah, tampak sepi. Kemana Refan? Atau mungkin sedang di kamar mandi?

"Fan, mau makan?"

"Boleeh."  Teriaknya dari kamar mandi. Nah kan, benar.

Aku membuka aplikasi Gofid, mencaru menu makanan murah, tapi kenyang. Lalu meluncurlah dengan kata kunci warteg. Berbagai macam pilihan tersedia di sana. Hanya sekali klik, abang driver akan siap mengantar makanan. Eh, kok kaya iklan? Hihi

"Assalamu'alaikum, apa benar ini rumah Pak Refan?"

"Wa'alaikum salam. Iya benar. Dari toko perkakas ya, Pak?" Tanyaku pada bapak-bapak sekitar umur empat puluh tahun.

"Iya, Bu."

"Mari, Pak. Tolong hati-hati ya."

Si bapak hanya tersenyum, lalu memaggil temannya untuk membantu mengangkat barang.

Setelah semua selesai, tak lupa kuberi uang tip sebagai ucapan terima kasih.

"Gejok!"

Alhamdulillah, akhirnya makananku datang. "Fan, ayo makan. Maaf, aku cuma pesan telur dadar sama orek tempe."

"Its okay, Lin. Yang penting ini perut isi makanan."

Aku tersenyum.

"Fan, niatnya aku pengen jualan nasi uduk kalau pagi-pagi. Kan kita kuliah biasanya  jam sembilan atau jam sepuluh tuh. Jadi paginya aku pengin jualan. Gimana?"

"Boleh sih. Tapi di sini udah ada yang jualan belum?"

"Ga tau juga. Ya udah, besok aku liat-liat dulu deh siapa tau belum ada yang jualan "

"Pinter." Puji Refan sambil mengelus rambutku.

Ah, gemuruh ini lagi. Kenapa sekarang aku selalu deg-degan terhadap perlakuan manis Refan.

Apakah aku jatuh cinta padanya?

🌸🌸🌸

Malam ini kami hanya berbincang seperti biasa, karena belum ada televisi. Dulu, kami bisa bercanda sambil pukul-pukulan. Tapi sekarang, rasanya malu untuk melakukannya. Bahkan aku masih belum percaya jika dia telah jadi suamiku. Su-a-mi.

"Besok, kita ke Bunda yuk." Ajak Refan, memecah keheningan.

"Tumben. Mau pendekatan ya? Hihi"

"Apa sih. Ya kan, aku belum terlalu kenal dengan keluargamu."

"Oke, ya udah met tidur."

Malam ini, kami tidur masing-masing. Dengan sekat kain jarik pemberian Bunda.

Keesokan paginya, kami libur kuliah. Tak ada jadwal. Jadi kami berangkat lebih pagi ke rumah Bunda. Mungkin akan menginap. Eh, tapi tak apa kan ya?

"Assalamu'alaikum, Bunda."

"Wa'alaikum salam. Eh Kak Lina." Jawab  Doni.

"Salim sama Kak Refan, Don. Kamu ga sekolah?"

"Abis demam, Kak. Jadinya besok baru berangkat."

"Ah alesan aja kamu. Jangan manja. Kalau udah sembuh ya berangkat."

"Kamu juga sama aja, Lin. Dulu bahkan kamu berpura-pura sakit hanya untuk tidak berangkat sekolah. Paginya akting sakit, siangnya makan dua piring. Duh Gusti! Herannya kok Bunda masih aja suka percaya gitu."

"Bundaaa."

Padahal ada Refan, tapi Bunda malah membuatku malu. Aku tak berani menatapnya sekarang. Pasti dia sedang menertawaiku.

"Eh, Refan. Tumben kalian ke sini? Lina ga macem-macem kan, Nak? Bilang sama Bunda kalau dia berulah."

"Bunda, anaknya itu aku atau Refan sih?"

Fix, Bunda lebih sayang sama mantu daripada anak sendiri. Sebel, sebel, sebel!

NIKAH MUDA (THE LOVE STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang