Waktu istirahat tiba. Seluruh siswa bergegas keluar untuk menikmati waktu lima belas menit yang begitu berharga. Aku? Rasanya tanganku tiba-tiba lebih tertarik untuk memainkan pc tablet daripada keluar dengan cuaca panas menyentuh angka 40°C karena pemanasan global.
Sejak tahun 2021, suhu bumi memang mulai meningkat secara signifikan. Membuat es di kutub mencair sehingga sampai sekarang, tercatat ratusan pulau-pulau kecil di dunia tenggelam. Negara kepulauan seperti Filipina, banyak kehilangan wilayah-wilayah paling berpotensinya.
Hal itu membuat seluruh warga dunia memilih untuk bersatu. Bumi ini milik bersama yang harus diselamatkan dari kehancuran. Tidak boleh ada lagi peperangan. Sebagai contoh, perang dingin antara Amerika Serikat dan Rusia yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Praktek korupsi di negara kami yang sempat marak pada tahun 2019 juga tidak tersisa walau hanya sekecil debu. Para generasi muda mulai bangkit demi menjunjung masa depan dunia. Tidak ada lagi narkoba, pergaulan bebas, kenakalan remaja, atau apapun yang sempat dikhawatirkan akan membuat negara ini hancur.
Hutang luar negeri yang dulunya membludak, kini sudah lunas. Teknologi yang dulunya seperti bintang yang tak mungkin digenggam, sekarang sudah seperti oksigen dalam udara. Bahkan, negara kami tercatat sebagai salah satu negara yang berpotensi menjadi negara dengan Human Development Index urutan pertama dalam beberapa tahun mendatang.
Ah, seandainya para pahlawan bangsa yang telah gugur bisa melihat ini, mereka pasti akan sangat bangga.
"Hai, Isabelle. Kau tidak keluar?" tanya Kayla ramah. Aku hanya menggeleng pelan. "Cuaca memang panas sekali. Aku penasaran, bagaimana rasanya hidup di tahun 2005. Aku dengar, suhu bumi masih belum terlalu panas waktu itu," keluhnya sambil mengipas-ngipaskan kedua tangan meskipun kelas ini sudah dilengkapi pendingin ruangan.
Sejujurnya, aku tidak biaa menyebut mesin itu sebagai pendingin ruangan karena fungsinya yang sama sekali tidak membuat udara menjadi lebih dingin dari temperatur normal bumi, yaitu sekitar 20°-23°C.
Namun, jika dibandingkan dengan suhu bumi saat ini, tentu saja itu sudah cukup dingin. Bukan karena apa-apa. Hanya saja, para ahli harus memanfaatkan sumber energi fosil yang tak banyak tersisa dengan seefisien mungkin, salah satunya dengan cara menciptakan alat itu. Jika tidak, kehidupan di bumi diperkirakan akan musnah dalam beberapa dekade mendatang.
"Suhu bumi tahun 2005 kira-kira sama dengan suhu ruangan ini," jelasku. Kayla tampak tidak percaya. Aku tahu, itu mungkin memang sulit baginya.
"Sungguh? Wah, manusia zaman itu benar-benar beruntung, ya?" komentarnya seraya menyisipkan rambut hitamnya ke telinga. "Sayangnya aku ini lahir tahun 2029."
"Kau sendiri tidak keluar?" tanyaku. Kayla menghela napas berat sambil menunjukkan angka yang tertera di jam tangan serbaguna miliknya, 40°C. Bumi memang bertambah panas setiap tahun. Apalagi saat bulan Juni seperti sekarang.
"Oh, ternyata kalian dari tadi di sini ya? Pantas saja. Aku bisa mati kepanasan jika diam di bawah sinar matahari terus-menerus." Sean menghempaskan tubuhnya di atas kursi yang sengaja didesain senyaman mungkin. Jadi, dia tidak akan merasa kesakitan meski terhantuk.
"Lagipula, siapa yang menyuruhmu untuk keluar. Bahkan, kau kan tahu sendiri jika sekolah melarang para siswa untuk berlama-lama di bawah sinar matahari." Kayla melemparkan sebuah stylus pen yang akhirnya tepat mengenai wajah Sean.
"Diam saja di dalam kelas rasanya membuatku seolah menjadi seorang nerd," ujar Sean sedikit kesal sembari memungut stylus pen yang dilempar Kayla.
"Oh, jadi kau mencoba mengataiku nerd ya? Enak saja. Awas kau!" seru Kayla sambil melepas salah satu sepatunya lalu mengangkatnya tinggi-tinggi tepat di depan Sean.
Manusia sungguh membuatku bingung. Apa kata nerd saja sudah cukup untuk membuat mereka menjadi lebih aneh.
"Isabelle, bantu aku menghajar anak ini!" Aku tetap bergeming. Menghajar? Apa maksudnya? Apa aku perlu mengaktifkan mode penyerang-ku hanya karena masalah seperti itu?
"Ah, ampun Nona Kayla! Aku tidak bermaksud!" Kayla tetap pada saja mengancam Sean dengan sepatunya, tidak peduli pada panggilan kehormatan yang baru saja dilontarkan padanya.
"Hei, hei, apa kalian tidak bisa akur sehari saja?" tanya seorang laki-laki bermata kemerahan dengan wajah yang juga terlihat basah oleh keringat. Seketika, perkelahian itupun segera berakhir dengan saling melempar tatapan tajam.
"Kalian ini, bumi sudah panas. Jangan memanaskannya lagi," ucap laki-laki itu lagi sambil mengambil sebuah kursi di dekatku. "Andai saja buni bisa menjadi seperti dulu, sebelum global warming." gumamnya.
"Kau benar, Ray. Aku juga berpikiran sama denganmu," sahut Kayla dengan raut wajah yang kembali ceria. Aku bisa melihat hormon dopamine-nya yang meningkat signifikan melalui scanner. "Apa kita benar-benar bisa melakukan itu?"
"Itulah yang sedang kupikirkan. Bagaimana caranya mengembalikan bumi kita seperti dulu." Dahi Ray tampak sedikit berkerut. Tampaknya, dia sedang berpikir keras.
"Ah, aku punya ide. Bagaimana jika kita berempat membuat tim untuk itu. 'RISK,' nama itu sepertinya cocok untuk tim kita. Risk itu memiliki arti 'resiko.' Sepertinya itu cocok karena ada banyak resiko yang harus kita hadapi dalam misi ini," jelas Kayla panjang lebar dengan nada berapi-api. "Selain itu, RISK adalah singkatan dari nama kita. Ray, Isabelle, Sean, Kayla."
"Bagaimana Isabelle, kau setuju, kan?" tanya Kayla. Aku hanya mengiyakan dengan nada datar. Sementara kedua laki-laki di hadapannya menampakkan sedikit raut wajah keberatan.
"Hahh ... kau selalu saja membuat keputusan tanpa mendengarkan kami," keluh Sean. Kayla yang mendengarkan kalimat itu menatap tajam hingga perkelahian antara dua sahabat kecil itu tak terhindarkan.
Sekali lagi, manusia memang aneh sekali.
*
Author's note:
Maaf kalo cerita ini sedikit kerasa hambar (kok kyk masakan aja 😂). Nulis POV1 Steve yang nggak kenal istilah kasih sayang masih lebih gampang daripada POV1 Isabelle yang nggak punya emosi sama sekali.Bagaimana pun, Ichi akan usahakan yang terbaik 😊.
See you on the next chapter!
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Mechanical Heart
Science FictionTahun 2043, kemajuan teknologi berkembang pesat di seluruh penjuru dunia. Menyusul perubahan iklim dunia yang semakin tak dapat dikendalikan hingga menenggelamkan sebagian besar pulau kecil di dunia. Manusia berbondong-bondong menciptakan suatu ino...