16 - Falling in ...

115 25 2
                                    

Hari pertama masuk sekolah akhirnya tiba. Waktu-waktu membosankan telah berakhir. Aku bisa melakukan berbagai kegiatan untuk mengusir kenangan yang tak jarang membuatku kembali sedih. Juga soal pertanyaan itu, aku sudah tahu jawabannya saat tidak sengaja menemukan ruang rahasia kemarin.

Pelajaran pertama telah berakhir, yaitu mata pelajaran ekologi. Memang sejak kelas satu, kami belum pernah memperlajari hal itu. Kata Miss Sophia, pelajaran itu baru saja dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran kali ini. Kata beliau, pemerintah ingin para generasi muda lebih peduli pada lingkungan setelah diadakannya pelajaran itu.

"Menurutku, itu ide yang sanagt bagus. Tapi, kenapa mereka tidak melakukannya sejak awal?" komentar Ray saat bel istirahat berbunyi dan separuh penghuni kelas memilih untuk keluar.

"Mungkin itu karena masalah politik. Yah, kalian pasti tahu sendiri. Beberapa bulan lagi kan pemilihan umum. Tentu saja mereka ingin mendapat banyak dukungan karena dianggap peduli terhadap lingkungan," sahut Sean. Baru kali ini Kayla benar-benar tidak menentang pendapat pemuda bermanik hijau kebiruan itu.

Gadis itu hanya mengangguk setuju. "Seharusnya tanpa pemilihan pun, pemerintah harus peduli terhadap lingkungan. Walaupun seandainya nanti mereka tidak  terpilih lagi, mereka harus tetap peduli pada lingkungan," sahutnya.

"Benar, itu benar sekali," balasku. "Sayangnya kita bukan kritikus yang biasa mengungkapkan pendapatnya di media."

"Ah, iya. Kau memberiku satu ide! Bagaimana jika kita usulkan pada mereka agar melakukan penghijauan dengan menanam beberapa pohon di jalan dan tempat-tempat umum. Jika mereka memang ingin menarik simpati warga dengan mencoba terlihat peduli pada lingkungan, mereka pasti tidak memiliki pilihan selain menyambut baik usul kita," jelas Sean.

Ray mengernyitkan dahi. "Kau yakin ini akan berhasil?" tanyanya. "Kita ini bukan apa-apa selain murid SMA yang sangat suka dengan jam kosong."

"Ini berdasarkan pengalaman kakakku yang mengirim proposal pada pemerintah kota agar sekolahnya mendapat bantuan. Dia melakukan itu bersama teman-temannya menjelang pemilihan umum seperti sekarang ini. Waktu itu, pemerintah membuat program yang seolah menunjukkan jika mereka peduli pada pendidikan. Jadi, usul mereka diterima," jelas Sean dengan bangga.

"Hmm ... benar juga, ya. Mereka kan tidak bisa mencabut kembali akar pohon itu seandainya mereka tidak terpilih. Kalau begitu, bisa kau yang buat proposalnya? Aku tahu kau bisa membujuk mereka. Belum ada orang lain yang bisa membujuk kepala sekolah selain kamu, Kayla," kata Ray.

"Iya, aku tahu itu keahlianku. Tapi, aku tidak ingin kita disebut kurang sopan oleh mereka. Jadi, bagaimana aku harus menyusunnya?" tanya Kayla dengan berbisik. Sontak kedua pemuda itu hanya bisa menepuk dahi.

"Kupikit saat kau mendapat nilai A+ pada saat Miss Viona memberi tugas menyusun teks persuasif, kau bisa menyusun apa saja yang berhubungan dengan hal itu," kata Sean. Kayla hanya tertawa kecil, memperlihatkan gigi serinya yang tersusun rapi.

"Oh ya, kalau dipikir-pikir, apa hanya kita di sini yang lebih memilih topik pembicaraan berat?" tanya Ray sambil memandangi sekitar. Kurasa benar. Hampir tidak ada siswa di SMA ini yang lebih memilih membicarakan masalah politik, selain kami berempat.

"Yah, ini lebih baik daripada aku harus membicarakan soal cintaku yang tak pernah terbalas," ujar Kayla. Ray memicingkan mata penuh selidik.

Jika aku perhatikan, mata berwarna kemerahan itu ... benar-benar mirip dengan Professor. Berbinar, indah sekali. Oh, perasaan apa ini? Akhir-akhir ini heart menjadi semakin aneh saja.

Tidak, bukan lagi kesedihan. Bukan juga kebahagiaan. Rasanya sangat aneh. Aku bisa merasakan keduanya dalam waktu bersamaan. Ah, apa ini?! Aku tidak bisa mengerti perasaanku khusus yang satu ini meskipun sudah berusaha mencari data selama berhari-hari.

"Baiklah, jika tak ada lagi yang bisa kita bicarakan, aku ingin keluar sebentar," kata Sean lalu berjalan mendekatiku. "Bisa kita bicara, Isabelle," bisiknya. Aku yang segera tersadar dengan suara bisikan itu mengangguk lalu mengikutinya keluar kelas.

"Jadi, apa yang ingin kau biacrakan?" tanyaku to the point. Sean menggaruk tengkuknya seolah bagian itu baru saja digigit oleh semut.

"Ergh ..., soal ledakan itu ... aku ikut berbelasungkawa. Maaf aku tidak sempat datang ke apartemenmu," ucapnya ragu-ragu. Aku menggeleng perlahan. Tidak apa-apa.

"Aku juga ingin minta maaf soal ... kata-kataku hari itu. Maksudku, maaf sudah mengira kau adalah android," ucapnya lagi. Aku kembali menggeleng. Untuk apa aku marah jika itu memang benar?

"Kau benar-benar tidak marah?" tanyanya. Aku mengangguk sebagai respons. "Walaupun aku membuatmu nekad berjalan di ruang loker sendirian karena ceritaku?" tanyanya lagi.

"Untuk apa aku marah? Karena ceritamu, setidaknya aku menjadi tahu sesuatu hal yang sangat penting," jelasku. Sean terlihat menghela napas lega.

"Jadi, jika hanya itu yang ingin kau katakan ..., aku ingin bertanya sesuatu," ucapku. Laki-laki itu bertanya penasaran. Dia memang pendengar yang baik.

"Beberapa hari ini ... aku sering merasa aneh," kataku. Sean mengernyitkan dahi. Mungkin penjerlasan ini belum cukup spesifik.

"Aneh seperti apa? Kau sakit?" tanyanya dengan nada cemas. Aku menggelang samar. Bukan itu yang aku maksud.

"Akhir-akhir ini ... setiap aku bertemu dengan Ray — atau hanya memikirkannya — aku merasa seperti .... Entahlah, aku tidak bisa menjelaskannya." Raut wajah antusias Sean tiba-tiba memudar.

"Kau merasa seperti ... bahagia sekaligus khawatir tidak bisa bersamanya?" tanya laki-laki itu tanpa intonasi. Aku mengangguk lemah. Mudah sekali ternyata menebak perasaan ini.

Pemuda itu menghela napas lalu menatap langit-langit koridor. Sesaat kemudian, dia kembali tersenyum ke arahku. "Isabelle, kau pasti sedang jatuh cinta," ucapnya. Eh! Jatuh ... apa tadi?

"Aku tidak pernah jatuh?" tukasku. Seolah melupakan insiden dimana aku terjun dari balkon. Ah, jangan bilang dia mengetahui rahasia itu. Aku malu sekali.

"Tidak, maksudku bukan jatuh dari tangga atau semacamnya. Tapi ... kau sedang jatuh cinta. Kau menyukai dia lebih dari sekadar teman," jelasnya. Aku terdiam. Menyukai Ray? Selama ini aku selalu menganggapnya sebagai teman, tidak lebih. Suka? Iya jelas aku suka, tapi tidak lebih dari sekadar teman.

"Aku tahu sebagian dari hatimu sedang berusaha menampikkan perasaan itu. Sebagian lagi setuju dengan apa yang baru saja kukatakan," katanya. Aku kembali terdiam. Apa yang dikatakannya tidak bohong?

"Lalu, apakah itu hal buruk?" tanyaku ragu-ragu. Takut jika dia menjawab 'iya' untuk pertanyaanku yang satu itu.

"Cinta adalah hal yang sangat indah. Jelas bukan hal buruk jika kau bisa mengendalikan perasaanmu," jawabnya. Aku merasa sedikit lega. Untung saja bukan hal buruk.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan?" tanyaku yang masih penasaran dengan perasaan yang satu ini. Sean menghela napas kemudian menghadap arah lain.

"Entahlah, pilihan ada di tanganmu. Kau bisa mengatakannya secara langsung, atau ... kau juga bisa memendamnya saja," jelasnya. Aku sedikit heran. Kenapa dia seolah menghindari kontak mata denganku?

"Sean, sebenarnya kau ini kenapa?" Aku memutuskan untuk bertanya daripada terus-menerus dihantui rasa bersalah. Laki-laki itu segera menoleh kemudian memaksakan diri untuk tersenyum.

"Hmm .... Yah, mungkin sebaiknya aku jujur saja. Tapi, aku ingin kau berjanji untuk tidak marah." Aku mengangguk setuju. Lagipula, kalau hanya masalah sepele, kenapa harus marah?

"Sebenarnya, aku ...." Aku semakin bingung. Sebenarnya apa yang ingin ia katakan hingga berkeringat dingin seperti orang yang sedang demam?

"Isabelle, kau ...." Aku memiringkan kepalaku. Menunggu hal yang ingin dia katakan namun tak kunjung terlontar.

"Katakan saja, tidak perlu takut, Sean," ucapku ramah.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang