18 - Feeling

134 21 2
                                    

"Ray ...?" tanyaku tidak percaya dengan mata membelalak. Heart kembali bekerja dengan sangat aneh. Membuat perasaan yang seolah bergelora di dalam dadaku.

"Iya, ini aku. Kau ini kenapa?" pemuda itu bertanya tanpa intonasi. Entah mengapa aku menjadi seperti terpojok karena nada bicaranya. Kemampuan bicaraku mendadak lenyap, atau mungkin memang aku yang tidak bisa menggunakannya.

"Nah, baiklah. Aku hanya ingin membaritahu kalian jika ... idemu berhasil Sean! Pemerintah kota fast respons terhadap proposal yang dikirimkan Kayla. Dan kalian tahu, mereka menyetujuinya," jelas Ray. Sean tersenyun bangga.

"Nahkan, sudah kukatakan jika itu pasti berhasil. Mereka pasti akan kehabisan kata-kata untuk menolaknya," sahut Sean dengan nada bangga.

"Wah, itu bagus," pujiku. Tidak bsia berkata banyak hal.

"Ray, Isabelle ingin mengatakan sesuatu," kata Sean. Aku kembali membelalak. Kenapa anak ini malah memberitahunya?!

"Oh ya? Apa yang ingin kau katakan?" tanya Ray penasaran. Aku semakin gugup. Apa yang harus kukatakan? Masalahnya, aku tidak punya cukup keberanian untuk mengatakan hal ini seperti Sean.

"Ray, a-ku ...." Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Apa yang harus aku katakan. Sekarang aku mengerti kenapa Sean terus-menerus menggaruk tengkuknya yang tidak gatal kemarin.

"Iya, ada apa?" tanyanya. Sean yang berada tepat di belakang Ray mengepalkan tangan seperti suporter sepak bola sebagai pengganti kata 'ayo, kau pasti bisa!'

Tetapi, semakin Sean melakukan hal gila itu, heart membuat perasaan itu bergejolak. Rasa senang bercampur khawatir, aku bisa merasakannya sekaligus. Oh, jika begini aku lebih baik meledak saja.

"Ray, kau ... tidak akan marah ... atau benci padaku?" tanyaku samar. Laki-laki itu juga menganggik meyakinkan. Ah, payah! Sekarang aku tahu persis bagaimana perasaan Sean.

"Aku ... tidak tahu bagaimana harus menjelaskan ini?!" aku berteriak. Beberapa mata menjadi tertuju ke arahku. Aku gugup sekali. Lirikan matanya membuatku semakin salah tingkah.

"Jika kau saja tidak bisa menjelaskannya ... bagaimana aku bisa mengerti?" Ray mengusap rambutnya yang sedikit berdebu sembari menoleh ke arah lain. Jika kupikirkan, kalimar Ray benar. Dia tidak akan mengerti jika aku tidak mengatakannya.

Argh! Rasanya aku seperti akan meledak! "Ray, s-sebenarnya ... aku—"

Ucapanku mendadak terhenti ketika suara dentuman keras terdengar dari bagian utara bangunan sekolah, diikuti oleh teriakan panik serta jeritan alarm bahaya. Derap langkah kaki mengisi setiap celah kesunyian.

Tanpa pikir panjang, kami bertiga segera mengikuti para siswa yang berlari menuju pintu keluar. Tanpa banyak bertanya apa yang sebenarnya terjadi, kami tahu jika itu pasti sebuah kecelakaan di ruang server yang memang berada di pojok utara.

Asap mengepul membuat suasana panik memuncak. Entah mengapa aku tiba-tiba merasa deja vu. Suasana ini mirip seperti ... kecelakaan di laboratorium hari itu. Tiga orang, Ray, Sean, dan aku.

Argh! Hetikan pikiran bodohmu ini, Isabelle!!

Akhirnya, setelah berlari sejauh tujuh puluh meter yang terasa seperti tujuh kilometer, kami berhasil menemukan jalan keluar. Kami berhasil selamat di lapangan sekolah. Beberapa mobil pemadam kebakaran mulai berdatangan. Syukurlah, tetnyata tak seburuk pikiranku.

"Kalian tidak apa-apa?" tanya Sean. Kami berdua hanya mengangguk samar seraya berusaha mengatur napas — maksudku itu Ray yang bernapas.

"Oh ya, Ray. Kau tahu dimana Kayla?" tanya Sean lagi. Tiba-tiba, Ray membelalak. Napasnya semakin menderu.

"Dia ada di ruang kesenian! Ruang itu dilengkapi dengan peredam bunyi. Di sana juga tidak ada alarm bahaya. Artinya, Kayla tidak akan tahu tentang bahaya ini!" serunya sedikit panik.

"Apa?!"

Baiklah, Isabelle. Kau tidak boleh diam saja. Aku harus menyelamatkan Kayla, meskipun aku harus melakukan aksi paling nekad yang pernah ada. Aku tidak ingin kehilangan, lagi.

"Isabelle, kau mau kemana?! Itu berbahaya!" teriak Ray. Aku tidak peduli, nekad berlari melawan arus orang-orang yang mencoba menyelamatkan diri.

"Akan lebih berbahaya jika aku tetap diam!" pikirku. Aku tidak boleh terlambat. Aku harus bisa menyelamatkan dia. Aku memang tidak fireproof, tapi aku masih punya cukup energi untuk auto repair.

Ruang kesenian terletak di lantai dua sayap kiri, antara ruang laboratorium dan ruang kesehatan. Artinya, itu lebih rawan terbakar daripada ruangan lainnya jika mengingat posisinya yang cukup dekat dengan sumber api.

Asap tebal menghalangi jarak pandangku. Tidak ada fitur tambahan yang bisa membuat penglihatanku lebih tajam dari ini. Karenanya, aku harus berusaha lebih keras untuk menembus asap.

Konstruksi beberapa ruangan di sayap kiri tidak terlalu bagus karena belum pernah direnovasi. Langit-lagit ini tampak tidak terlalu kokoh dan tampak akan runtuh dalam waktu yang tidak lama.

Aku sangat bersyukur karena pintu ruang kesenian tidak terkunci sehingga aku bisa dengan mudah membukanya. Di sana hanya ada seorang gadis yang tak lain adalah Kayla. Dia tampak sangat terkejut melihatku.

Tanpa pikir panjang, aku segera menarik lengannya keluar menyelamatkan diri. Berlari di bagian depan menembus asap yang semakin tebal dan membuat Kayla mulai terbatuk. Aku semakin meperceat langkah, menarik lengan gadis itu apa pun yang terjadi.

Aku harus bisa sampai di lapangan, menyelamatkannya. Tinggal sedikit saja lagi. Tidak apa walaupun Ray tidak pernah tahu tentang perasaanku. Asalkan Kayla selamat, sudah cukup membuatku merasa lega.

Sayangnya, langit-langit koridor yang sudah retak tidak mampu untuk bertahan lebih lama lagi hingga jatuh tepat di depan mata kami, menghalangi jalur evakuasi. Aku menoleh ke arah sebaliknya, runtuh juga. Tidak ada jalan lain.

"Isabelle, matilah kita," lirih Kayla. "Tolong jangan ajak aku melompat," katanya. Ah, itu ide yang bagus. Tim pemadam kebakaran sudah siap dengan rescue set-nya. Satu-satunya cara adalah melompat dari sini.

"Tidak, Isabelle. Aku takut ketinggian!" jeritnya. Aku tersenyum meyakinkan jika ini adalah cara terbaik.

"Tidak ada cara lain, Kayla. Kita harus melompat," ucapku. Kayla menggeleng, tetap keras kepala karena kalah oleh phobia-nya.

Suara aneh terdengar dari atas kepalaku. Langit-langit di sini juga akan roboh. Jika tidak cepat melompat, kami bisa mati tertindih di sini.

"Ayo, Kayla. Tidak ada cara lain!" seruku. Kayla tetap menolak, takut mengambil resiko. Baiklah, ini adalah satu-satunya cara yang tersisa sebelum mati tertindih langit-langit.

Tanpa pikir panjang, aku segera mendorong tubuh Kayla hingga jatuh dari lantai dua dan tepat mendarat di rescue set yang telah disiapkan. Teriakan sempat terdengar melengking sebelum akhirnya, langit-langit koridor runtuh tepat di atasku.

Tubuhku kian melemah. Energi semakin habis karena auto repair berusaha keras memperbaiki sistem yang rusak. Sayangnya tidak berhasil, kerusakannya terlalu parah.

"Isabelle!!" Suara itu ... entah milik siapa. Aku tersenyum tipis. Setidaknya, itu membuatku sedikit senang.

Tidak apa-apa walaupun aku harus mati ... di sini.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang