"KYAA ...! Jangan makan aku!! Aku ini tidak enak!" jeritku tanpa peduli ada orang yang merasa ngeri karena mendengarnya. Namun, sang pemilik tangan sama sekali tidak berniat untuk pergi dari tempatku.
"Isabelle," ucapnya lirih. Sengatan sejuta voltase listrik itu kembali terasa di tubuhku yang hampir semuanya terdiri dari bahan konduktor.
"Apa?!" teriakku sambil menepis tangan itu sekeras yang kubisa. Hasilnya, orang misterius itu langsung meringis memegangi tangannya yang terasa sakit karena berbenturan dengan tanganku yang terbuat dari logam.
"Isabelle, ini aku ... Ray," ucapnya lagi. Aku memberanikan diriku untuk melihat kakinya — oh, ternyata menyentuh lantai. Perlahan, tangan yang tadinya membuatku berteriak panik mengusap bahuku dengan lembut.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya laki-laki itu dengan nada cemas. Aku masih menatap tak percaya. Mengapa anak ini tidak pulang? Apa dia sengaja mengikutiku?
"Ehm ... kau sendiri kenapa?" aku balik bertanya. Sejujurnya itu kulakukan agar dia tak mencari tahu alasanku lebih jauh. Ray terdiam beberapa saat, memperhatikan sekeliling yang mulai gelap.
"Aku ... aku hanya ingin mengambil barangku yang tertinggal, lalu kebetulan bertemu denganmu," papar Ray seadanya. Bahkan anak sekolah dasar saja tahu jika dia sedang berusaha untuk berkata bohong.
Sebuah suara langkah kaki mendekati kami terdengar semakin lama semakin jelas. Heart kembali bekerja seperti sebelumnya, seperti ketika aku menjerit karena Ray. Membuat sejuta voltase listrik kembali terasa menjalar di tubuhku.
Krieek ....
Suara pintu loker di dekat kami yang terbuka sendiri menambah dramatis keadaan. Perlahan, aku berjalan mendekati Ray hingga kami hanya berjarak selangkah. Suata langkah kaki itu semakin terdengar jelas. Tiba-tiba, sebuah cahaya terang sekali muncul di depan mataku.
"Huwaaa ...!! Ray tolong aku!" jeritku, lagi. Aku mendekap sekaligus membenamkan wajah di tengah dada bidang laki-laki itu secara spontan.
"Hei, kenapa kalian masih ada di sini?!" Suara serak penjaga sekolah yang sedang menyalakan lampu memenuhi ruangan. Membuatku sedikit tenang lalu mengangkat wajah, memberanikan diri melihat yang sebenarnya terjadi.
"Anak zaman sekarang memang keterlaluan. Masa' pacaran harus di tempat gelap," gerutu pria paruh baya itu. Aku terkesiap kemudian buru-buru melepaskan Ray.
"Kami tidak sedang pacaran, Pak," tukas Ray. Aku hanya bisa menggangguk mendukung. Namun, tetap saja penjaga sekolah itu menatap kami penuh selidik.
"Lalu apa yang kalian lakukan di tempat gelap, hah?! Apa kalian tidak tahu tentang mitos hantu di sekolah ini?" tanyanya dengan nada yang sedikit lebih bersahabat.
"Kami tahu itu, Pak. Hanya saja, headphoneku tertinggal di loker." Ray mencoba berbohong. Pria itu tampak menimbang-nimbang. Aku sangat cemas menunggu jawabannya.
"Baiklah. Kalian cepatlah pulang. Saya tidak ingin orang tua kalian marah," katanya. Ray menghela napas lega. Heart juga bisa bekerja sedikit lebih baik daripada lima menit yang lalu.
Andai aku juga bernapas, mungkin aku akan melakukan hal yang sama seperti Ray.
*
"Sebaiknya kau jujur saja, Isabelle. Apa sebenarnya alasan kau melakukan hal gila itu?" tanya Ray di dalam kereta cepat yang sedang melaju. Aku yang sedari tadi sibuk mandangi langit yang mulai gelap seketika itu juga menoleh.
"Aku hanya ingin membuktikan apakah mitos itu benar atau tidak. Itu saja," jawabku seadanya. Ray menepuk dahinya frustasi.
"Iya, aku tahu itu Isabelle. Tapi apa yang membuatmu ingin melakukannya?" tanya laki-laki itu lagi. "Apa itu karena kata-kataku tadi pagi?"
"Sebenarnya ... bukan karena itu." Aku menundukkan wajah. Memikirkan bagaimana harus menjelaskan ini padanya. "Aku ... aku tidak tega melihat Kayla paranoid. Aku ingin sekali mengatakan padanya jika mitos itu tidak benar."
Ray kembali menghela napas panjang. Ikut melihat langit yang mulai berubah dihiasi bintang. "Kau kasihan padanya?" tanya laki-laki itu. Aku hanya mengangguk lemah. Sejujurnya, aku belum terlalu mengerti. Tapi dalam basis dataku, kata itu memiliki definisi yang mirip dengan apa yang aku rasakan.
"Itu bagus," ujarnya. Aku mengalihkan padanganku ke arahnya, menatapnya lamat-lamat. "Empati, sangat jarang dimiliki orang di zaman ini."
"Empati?" Aku masih bingung. Itu karena definisi kata itu tidak tersedia di dalam basis dataku. Baru kali ini aku menyadari jika informasi yang kumiliki belum terlalu lengkap.
"Jika kau bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain, kemudian kau berniat ingin membantunya, itulah empati," terangnya. Baru kali ini aku mendengar kata itu. Apa kita benar-benat bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain.
"Aku sendiri sebenarnya belum memiliki hal itu secara utuh. Budaya individualisme benar-benar sudah mengakar di setiap sudut kehidupan modern ini," keluhnya. Aku menatap Ray sedikit tertarik.
"Setelah kupikirkan lagi, misi RISK sama sekali tidak buruk. Mengembalikan bumi seperti dulu, memang sudah lama kuimpikan. Bukan tentang global warming. Tetapi lebih kepada nilai kebersamaan yang selalu ditanamkan orang tua sebelum kita." Ray menghela napas, kembali menatap langit.
"Aku sangat prihatin. Memang angka kemiskinan di negara kita turun drastis hingga angka 0,5%. Tapi tetap saja, individualistis membuat sekitar kita terasa dingin. Menyapa orang lain dalam perjalanan sangat jarang kita lihat. Semua orang hanya peduli pada urusannya sendiri. Hanya masalah waktu hingga kata 'teman' atau 'sahabat' lenyap dari kamus. Saat itu, tidak akan ada orang yang saling menyapa. Dan aku sangat tidak ingin itu terjadi," paparnya lagi. Aku sangat kagum melihat hasil pemikirannya yang begitu kritis.
"Kau sangat luar biasa, Ray. Pemikiran yang sangat kritis," pujiku. Ray menoleh, beberapa saat kemudian tertawa kecil. Begitu menyenangkan melihat ekspresinya.
"Ah, kau ini. Itu hanya hasil pemikiranku yang sedang bosan mengerjakan tugas pelajaran robotik yang itu-itu saja," katanya. Aku tidak bisa menahan tawa mendengarnya, beberapa detik kemudian mengancam akan melaporkan ucapannya tadi pada Mr. Bryan, guru mata pelajaran robotik.
Ray sama sekali tidak takut, bahkan tertawa mendengar ancamanku. "Laporkan saja kalau kau berani." Bukannya takut, laki-laki itu justru mengedikkan bahu tidak peduli.
Benar-benar menyenangkan.
*
Jangan lupa vote dan comment ya 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Mechanical Heart
Science FictionTahun 2043, kemajuan teknologi berkembang pesat di seluruh penjuru dunia. Menyusul perubahan iklim dunia yang semakin tak dapat dikendalikan hingga menenggelamkan sebagian besar pulau kecil di dunia. Manusia berbondong-bondong menciptakan suatu ino...