17 - Love

110 22 0
                                    

Aku merebahkan tubuhku di atas sofa. Energiku benar-benar terkuras habis karena kegiatan sekolah. Tapi, itu lebih baik daripada energiku habis karena heart yang boros sekali dalam pemakaiannya.

"Kau sudah pulang, Isabelle?" tanya Billy. Sama persis seeprti yang selalu dilakukan Professor saat mendengar langkahku mendekat.

"Kenapa kau baru bertanya? Aku sudah di sini sejak sepuluh menit yang lalu," sahutku, alih-alih menjawab dengan ramah. Billy tidak marah, dia hanya tertawa kecil seraya memindahkan masakannya ke dalam sebuah wadah. Tentu saja itu hanya untuk dirinya.

"Kau lelah?" tanyanya lagi. Aku hanya menjawab dengan anggukan yang jelas tidak bisa ia lihat. "Oh, kau terlalu lelah sampai-sampai tidak bisa menjawab."

"Billy, apa kau ... pernah jatuh cinta?" tanyaku penasaran. Yang ditanyai tiba-tiba berbalik menghadapku kemudian menatapku penuh selidik.

"Bertanya dengan anda innocent seperti itu .... Apa yang kau inginkan dariku?" tanyanya. Aku tertawa. Hanya nada seperti itu dia sebut innocent?

"Tidak ada. Aku hanya ingin tahu, apakah kau pernah mengalaminya juga?" tanyaku lagi. Billy memicingkan matanya, benar-benar curiga padaku. "Aku ingin tahu ... apa yang kau lakukan pada wanita itu," lanjutku.

"Dia sudah menikah dengan pria lain, dan tolong jangan bahas itu lagi!" ancamnya sembari mengacungkan sendok sayur ke arahku.

"Oh, jadi benar kau menyukai dokter Alissa?" tanyaku tanpa intonasi. Tanpa kuduga, raut wajah laki-laki itu berubah drastis, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri permen.

"Darimana kau tahu?!" sergahnya. Aku hanya mengedikkan bahu sebagai jawaban. Tidak pernah kusangka jika tebakanku benar.

"Iya ... sejujurnya iya. Aku memang menyukainya. Tapi, aku terlalu takut untuk mengungkapkan perasaanku," paparnya sedikit lesu. Urusan perasaan ini memang rumit ya?

"Oh, begitu ya. Kuharapa kau segera menemukan yang lebih baik," ucapku Billy hanya mengangguk samar lalu kembali fokus pada sup buatannya.

Aku masih bingung soal cinta ini. Mengapa harus ada perasaan serumit ini? Tadi siang, aku masih ingat akan kata-kata Sean di koridor. Masih terekam dengan jelas dalam memoriku.

Flashback on

"Katakan saja. Tidak perlu takut, Sean," ucapku ramah. Sean masih saja bertingkah seolah sedang menunggu giliran ujian lisan. Menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Isabelle, sebenarnya .... A-aku ... aku juga tertarik padamu. Maksudku, aku menyukaimu seperti kau menyukai Ray," jelasnya. Dia terlihat masih takut-takut melakukan kontak mata.

"Jadi begitu ya?"

"Kau ... tidak marah padaku?" tanyanya lagi. Pertanyaan yang lagi-lagi selalu sama. Jawabannya juga akan selalu sama.

"Untuk apa aku harus marah? Hanya saja, aku tidak tahu harus bagaimana sekarang," kataku ragu-ragu.

"Tidak apa-apa, Isabelle. Kau tidak perlu memaksakan perasaan itu. Aku tahu, Ray mungkin jauh lebih berarti bagimu," lirihnya.

"Sean ...."

"Tidak masalah. Aku akan membantumu dalam urusan ini. Aku bisa membuat Ray tidak punya alasan untuk menolakmu." Sean tiba-tiba memegangi kedua bahuku. Tersenyum hangat, meskipun justru terlihat hambar karena posisi alisnya yang sedikit turun.

"Sungguh?" tanyaku tidak percaya. Tidak, maksudku dia berkata jika seseorang yang jatuh cinta akan merasa khawatir tidak bisa selamanya bersama dengan orang yang ia cintai. Lalu kenapa dia ....

"Iya, aku serius. Tidak apa-apa jika kau lebih memilih dia daripada aku yang tidak punya apa pun untuk dibanggakan." Apa aku tidak salah dengar? Ah, tidak! Dia pasti bercanda. Dia itu sudah kaya, genius, pandai dalam beberapa jenis olahraga, baik, kritis, dan ... tampan. Bagiamana mungkin dia bilang tidak ada yang bisa dibanggakan?

"Aku tahu apa yang kau pikirkan, Isabelle. Tapi ... cinta tak pernah melihat pada siapa dia akan datang. Jangan khawatir, tidak perlu salahkan perasaanmu," ujarnya lalu berjalan menjauhiku.

"Oh ya, jika kau memilih untuk mengungkapkan perasaan itu, aku bisa membantumu besok," tawarnya sebelum benar-benar pergi. Sesaat kemudian lenyap di antara kerumunan.

Flashback off

*

Aku sungguh sangat tidak mengerti. Mengapa Sean yang biasanya menjadi incaran para gadia normal terlihat tidak apa-apanya dibandingkan Ray yang bisa dikatakan tidak memiliki banyak keistimewaan sejak kecelakaan yang menimpa keluarganya?

Walaupun begitu, dia selalu kuat menghadapi semuanya. Walau hidupnya bergantung pada uang yang dia dapatkan dari kerja paruh waktu. Dia bahkan menolak bantuan Professor dan memilih menjalani semuanya sendiri. Dia sungguh kuat.

Matanya selalu saja membuatku seperti berhadapan langsung dengan Professor yang sudah tiada. Sangat jernih, membuatku bisa melihat pantulan wajahku yang sedikit malu-malu di sana.

Jika aku ingat pada Sean, aku menjadi sedikit merasa bersalah. Tapi, kurasa apa yang dia katakan memang benar. Aku tidak bisa menampikkan perasaan ini. Aku takut jika tak bisa bersamanya lagi. Aku tidak ingin berpisah dengannya.

Namun di sisi lain, aku tidak ingin membuat Sean sakit hati. Jadi, apa yang harus aku lakukan? Mungkin lebih baik aku pendam saja untuk menjaga perasaan Sean. Tapi, jika terus diam saja, Ray pasti tidak akan pernah tahu jika aku menyukainya.

"Bagaimana? Sudah kau putuskan?" tanya Sean yang tiba-tiba menadatangi mejaku. Kali ini, ekspresinya terlihat biasa saja, seolah tidak ada masalah.

"Entahlah, Sean. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak ingin menyakitimu. Tapi, aku juga tidak ingin berpisah darinya," lirihku. Laki-laki itu tersenyum tipis.

"Jangan hiraukan soal aku, Isabelle. Sudah kubilang, aku juga tidak bisa memaksa. Jadi, bagaimana?" tanyanya lagi. Aku tetap terdiam. Rasanya aku tidak tega.

"Mungkin harus aku beritahu, ya. Kayla menyukai Ray juga, lho. Kalau kau terlambat, dialah yang akan mendapatkannya," kata Sean dengan nada seperti sedang menceritakan kisah seram.

"Bagaimana? Ayolah, setidaknya kita bisa tahu jawabannya, kan? Ayo!" ajaknya. Aku memandang lurus ke arah lantai, tidak tahu harus berbuat apa.

"Hei, ternyata kalian di sini. Aku ingin meberitahu kalian sesuatu," kata seorang penuda dengan suara yang sangat familier. Aku hampir saja terjatuh dari kursi saat menyadari jika orang yang sedang kupikirkan ada di sini.

"Ray ...?"

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊.

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang