3 - Wishes

188 36 0
                                    

Pintu apartemen Professor terbuka secara otomatis setelah mendeteksi keberadaanku. Kulihat sekarang seluruh ruangan tampak lebih rapi dari sebelumnya. Kurasa, Professor mungkin pulang lebih awal.

"Aku pulang," ucapku singkat sambil meletakkan tas ranselku di atas sofa yang kemudian disambut dengan sebuah senyuman dari wajah yang mulai menampakkan tanda-tanda penuaan itu.

"Selamat datang," balasnya ramah lalu kembali fokus menatap layar komputernya. Aku memperhatikan dengan saksama. Sesekali, tangan kirinya memijat pelipis yang mungkin terasa pening.

Selama beberapa bulan ini, aku semakin penasaran pada proyek yang sedang dikerjakannya. Sebuah program yang selalu ia rahasiakan dariku semakin hari semakin membuatku bingung. Kulirik arloji kecil yang melingkar di pergelangan tanganku. Pukul 17:30. Aku harus segera memberitahu Professor.

"Emm ... Isabelle, besok kau tidak sekolah kan?" tanya Professor tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer. Seakan pekerjaan itu benar-benar menentukan masa depannya.

"Tidak," jawabku singkat. Professor tidak berkomentar. Hanya mengangguk samar kemudian kembali terdiam, tenggelam dalam pemikirannya.

"Professor, aku ada janji dengan teman-temanku," ujarku tanpa ragu sedikit pun. Jemari Professor yang bergerak lincah di atas keyboard tua itu sejenak terhenti. Beliau memang masih saja memakai keyboard itu meskipun ada banyak inovasi yang lebih canggih. Professor juga pernah berkata jika keyboard itu adalah peninggalan almarhum ayahnya.

Hmm ... menurutku, Professor juga tidak kalah aneh.

"Melihat hujan meteor?" tebaknya. Aku hanya mengiyakan. Sama sekali bukan hal aneh jika dia sudah mengetahui hal itu sejak awal. "Baiklah, cepat pulang ya. Jangan memberiku pekerjaan. Program auto repair-mu masih baru, masih masa percobaan."

Program auto repair adalah sebuah program yang bisa  memperbaiki kerusakan pada sistem secara otomatis dalam waktu yang sangat singkat. Dengan kata lain, aku tidak bisa terluka. Namun sebagai gantinya, energiku bisa terkuras habis dalam waktu yang lebih cepat, tergantung seberapa parah kerusakannya.

"Baik," ucapku singkat.

*

Pukul delapan lebih tiga puluh menit, aku turun dari kereta yang mengantarku sampai stasiun dekat rumah Sean. Kami bertiga memang berjanji untuk datang pukul delapan, tetapi ada sedikit masalah yang membuatku harus datang terlambat.

Kereta yang kumaksud bukan kereta api biasa yang umum digunakan di negara ini pada tahun 2015. Melainkan kereta magnetically levitated yang diterbangkan kurang lebih sepuluh milimeter di atas relnya dan menggunakan prinsip gaya tolak menolak magnet serta didorong dengan menggunakan motor induksi sehingga dapat melaju hingga 650 km/jam.

Singkatnya, kereta ini mirip kereta shinkansen yang ada di Jepang.

Pemerintah melakukan ini demi memenuhi keinginan para warga yang sempat protes karena meroketnya harga bahan bakar minyak untuk kendaraan bermotor. Memang sempat terjadi perdebatan panjang tentang kebijakan pemerintah yang begitu absurd bagi mereka. Namun pada akhirnya, semuanya bisa merasakan manfaat dari kereta ini, terutama para pelajar dan lansia yang ingin bepergian dengan cepat tetapi dengan biaya yang relatif lebih murah daripada angkutan umum.

Langit begitu cerah dengan taburan bintang yang mebghiasi langit. Udara yang tergolong sejuk menerpa wajah para pejalan kaki di trotoar. Termasuk aku, andai aku bisa merasakannya. Tetapi, aku hanyalah sebuah android.

Aku berjalan cepat menuju sebuah rumah yang terletak di sudut perempatan jalan. Sebuah rumah bertingkat bercat abu-abu dengan sebuah taman kecil di halamannya.

Semoga saja aku tidak terlambat.

Namun sayangnya, aku salah. Kayla dan Ray sudah bersiap-siap pulang sejak beberapa menit sebelum aku tiba. Terbukti ketika aku berpapasan dengan mereka tepat di depan rumah Sean.

"Lho, Isabelle?" Kayla tampak keheranan begitu melihatku. "Kukira kau tidak jadi datang," ucapnya. Aku tidak merespons. Ray yang berdiri di sampingnya tampak menggelang perlahan.

"Sayang sekali. Kau tidak bisa melihat hujan meteornya," katanya sambil menyilanglan kedua tangannya di depan dada. "Ya sudah, kalau begitu. Mau pulang bersama kami?" tawarnya. Aku mengiyakan tanpa berpikir panjang.

"Apa kalian tau? Ada legenda yang mengatakan, 'jika kita mengucapkan permintaan ketika melihat bintang jatuh, maka permintaanmu akan terkabul'," terang Kayla dengan begitu riang. Namun sebaliknya, Ray tampak biasa saja.

"Aku tidak percaya," sanggah laki-laki itu. "Meteor itu kan hanya benda langit yang kebetulan bergesekan dengan lapisan atmosfer bumi hingga menghasilkan percikan api. Sejak kapan batu seperti itu bisa mengabulkan permintaan?"

"Kau tidak mengerti, Ray! Dan tentu saja itu karena kau tidak pernah mencobanya!" seru Kayla kesal. Ray hanya berdecak kesal. Kenapa karena hal semacam itu saja dia sampai berteriak marah, mengagetkan para pejalan kaki.

"Dan karena aku tidak egois, saat melihat bintang jatuh tadi, aku berharap semoga permintaan Isabelle terkabul, apapun itu," jelasnya tanpa diminta. Namun, diantara kami berdua, tidak ada yang memperhatikan ocehan Kayla.

Permintaan? Aku tidak tertarik untuk melihat permintaanku terkabul. Lagipula, tidak ada permintaanku yang terlalu besar. Semuanya hanya hal remeh.

"Kenapa kau tidak berharap bumi kembali sepert dulu?" tanya Ray dengan nada malas. Bahkan, matanya sama sekali tidak menatap Kayla. "Bukankah itu tujuan 'RISK'?"

"Karena aku tahu, Isabelle menginginkan hal itu juga," jawab Kayla mantap. Tidak tahu jika aku sana sekali tidak tertarik dengan bumi di masa lalu. Menurutku, masa sekarang tidak terlalu buruk. Jika tidak ada teknologi, maka aku tidak akan pernah ada.

*

Jangan lupa vote dan comment ya 😊

[END] Mechanical HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang